Bab 2 : Be Mine

1835 Words
# Dimas Windardi menatap pria yang duduk di depannya. "Ada urusan apa hingga orang sekelas anda harus datang menemuiku di tempat ini?" Tanyanya sinis. Mahesa tertawa. "Bagaimana rasanya berada di dalam sana? Oh ya, aku turut berduka cita atas kecelakaan pesawat yang menimpa kedua orang tuamu. Mungkin itu hukuman Tuhan untuk keluarga Windardi." Ucapnya sarkastis. Dimas mengetatkan rahangnya menahan amarah. Ia gusar tapi ia tahu, posisinya saat ini bukanlah posisi yang menguntungkan untuk meladeni pria dihadapannya. "Kita tidak punya urusan lagi." Ucapnya sambil bangkit berdiri. "Kau tidak ingin tahu keadaan kedua adikmu? Yang satu tengah berjuang bertahan hidup di rumah sakit, dan yang satu lagi berjuang bertahan hidup di tanganku." Kali ini Mahesa menampilkan senyuman yang sama sekali tidak terlihat seperti sebuah senyuman. Dimas Windardi berhenti melangkah tepat di depan pintu keluar. Ia berbalik menatap Mahesa, kedua bola matanya tampak berkaca-kaca. "Kau...jangan sentuh kedua adikku. Atau aku akan membuatmu menyesal." Ancamnya. Wajahnya memerah menahan amarah. Mahesa mendengus. "Jika bukan karena aku, adik bungsumu sudah tewas. Dan jika bukan karena aku, adik perempuanmu sudah dijual menjadi p*****r di tangan mafia. Bahkan jika bukan karena aku, kau sudah dihukum mati. Hidup keluarga Windardi ada di tanganku." Dimas terdiam. Mengapa orang sekelas Mahesa harus tertarik dengan keluarganya? Mereka bahkan tidak pernah berurusan sebelumnya. "Jangan kedua adikku. Apapun dendammu pada aku atau ayahku, kumohon jangan lampiaskan kepada kedua adikku, mereka sama sekali tidak bersalah. Allana dan Dio sama sekali tidak tahu apa-apa." Ucap Dimas. "Duduklah dulu. Aku tidak suka bicara dengan orang yang terlihat lebih tinggi dariku. Tidak nyaman." Ucap Mahesa. Dimas kembali duduk di hadapan Mahesa. Mahesa mengeluarkan sebuah amplop cokelat dan melemparkannya ke atas meja di hadapan Dimas. "Panti asuhan Surya Cita dua puluh dua tahun yang lalu." Ucap Mahesa. Dimas meraih amplop cokelat itu dengan kedua tangannya yang masih terborgol. "Rheina Anggara." Ucap Mahesa lagi. Kali ini Dimas tampak membeku untuk sejenak. Wajahnya tampak pias menatap foto-foto yang menampilkan kebakaran sebuah panti asuhan kecil dua puluh dua tahun yang lalu. "Rheina Anggara, yang dinodai ayahmu yang terhormat itu. Anak dari pengelola panti asuhan Surya Cita. Dia kakakku...kakak angkat kami..tidak...dia lebih dari itu. Rheina dan ibu panti adalah satu-satunya yang kami miliki...yang kumiliki." Ucap Mahesa dingin. Dimas mengangkat wajahnya dengan ekspresi kaget. Pantas saja wajah pria di hadapannya ini sekilas terasa familiar. Kilasan bayangan masa lalu kembali berputar di benaknya. "Sudah ingat? Baguslah. Kita sama-sama masih bocah saat itu. Tapi aku tidak akan pernah lupa, siapa dirimu dan apa yang sudah kau serta keluargamu lakukan kepada kami," ucap Mahesa. "Ambil nyawaku, tapi lepaskan kedua adikku. Tolong biarkan mereka hidup dengan bebas. Allana dan Dio bahkan belum lahir saat kejadian itu," ucap Dimas dengan gemetar. Ia tidak akan pernah menyangka sama sekali, anak lelaki Kumal yang dua puluh dua tahun lalu menangis memohon di hadapannya akan menjadi sangat berkuasa seperti sekarang. Mahesa tersenyum sinis. "Aku mengasihani kedua adikmu. Tapi dendam tetap harus dibalas. Mata ganti mata, gigi ganti gigi, dan nyawa....ganti nyawa," ucap Mahesa sambil bangkit berdiri. Dimas berlutut di hadapan Mahesa. "Aku mohon....aku mohon...aku akan membayar perbuatanku di masa lalu. Yang kuinginkan adalah membunuh Rheina Anggara, akulah yang bersalah. Tolong lepaskan kedua adikku. Aku mohon." Mahesa terdiam. Ia tidak pernah menyangka sebelumnya kalau orang se-b******k Dimas Windardi ternyata sangat perduli dengan kedua adiknya. "Sebelum kau memohon untuk kedua adikmu, apa kau pernah berpikir sebelumnya tentang perasaan orang lain yang pernah kau lukai di masa lalu? Tidak bukan? Kau sama saja dengan ayahmu. Hanya perduli pada keluarga kalian sendiri. Ayahmu menyingkirkan kakakku seperti itu di saat ia tengah mengandung calon anaknya. Bukankah, anak di dalam kandungan kakakku waktu itu, juga adikmu? Apa kau akan perduli pada anak itu seperti kau perduli pada kedua adikmu sekarang? " tanya Mahesa. Dimas mengepalkan kedua tangannya. Dia tentu saja perduli, tapi Mahesa bukanlah orang yang berhak untuk menghakiminya untuk hal yang satu ini. "Kau...kau tidak tahu apa-apa," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. "Apa yang tidak aku ketahui? Kalau kakakku, dibunuh oleh orang suruhan ayahmu demi menutupi kebejatannya? Atau....kalau kau juga sama bejatnya dengan ayahmu? Kau melakukan persis dengan apa yang dilakukan ayahmu. Buah memang tidak akan jatuh jauh dari pohonnya." Kali ini Mahesa menatap Dimas dengan sorot penuh kebencian. "Kalau begitu....kalau begitu apa yang kau inginkan?... Selama kau berjanji untuk melepaskan kedua adikku...aku akan melakukannya....kumohon....kumohon...aku yang salah...aku dan almarhum ayahku yang bersalah....." Dimas masih berlutut di hadapan Mahesa. Mahesa kembali mendengus. "Tidak ada yang perlu kau lakukan selain membusuk di penjara ini. Itu cara untuk membayar sebagian dari dosa-dosamu, karena nyawa kakakku dan kehilangan yang kami rasakan, tidak bisa ditebus oleh apapun," ucap Mahesa dingin sambil berlalu meninggalkan ruangan itu. Dimas terduduk lemas sepeninggal Mahesa. "Kau tidak tahu apa-apa, anak Rheina masih hidup. Anak Rheina masih hidup," keluh Dimas seorang diri. Ia menampar pipinya sendiri berulang-ulang. # Allana membuka matanya perlahan. Ia tersentak kaget saat menyadari kalau dirinya tidak sendirian di dalam kamar. Mahesa duduk menatap Allana dengan tatapan setajam elang. "Tertidur saat membaca buku. Menungguku?" tanya Mahesa datar. Allana menggenggam erat ujung cardigan yang menutupi tubuh atasnya. Semua baju di lemarinya hanya terdiri dari terusan mini sebatas paha dan itu membuatnya agak tidak nyaman. "Aku tidak menunggu siapapun," ucap Allana segan. Ia sungguh sungguh merasa tidak nyaman dengan pria itu. Pria yang baru kemarin merenggut hal paling berharga untuk seorang wanita seperti dirinya. Mahesa tersenyum miring. "Kau sudah menandatangani kesepakatan itu. Berarti kau sudah tahu apa yang harus dilakukan." Allana membeku. Mahesa tertawa. "Berdiri dan buka bajumu," ucap Mahesa. Allana berdiri dengan patuh, namun ia masih terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Meski ia sudah mempersiapkan diri untuk menerima penghinaan seperti ini, tetap saja ia merasa tidak nyaman. "Kenapa? Tidak nyaman?" Mahesa bangkit berdiri dan mendekati Allana. "Perlu aku bantu melepaskan pakaianmu?" tanya Mahesa sekali lagi, kali ini tangannya bergerak meraih cardigan Allana. Allana menepis tangan pria itu. Ia menatap Mahesa dengan tatapan marah. "Akan kulakukan sendiri," ucapnya dingin. Wajah Mahesa mengeras. Ia mendorong Allana hingga terjatuh ke atas tempat tidur dan mencekik leher Allana. "Jangan pernah menatapku seperti itu! Paham?!" ucap Mahesa. Allana kaget. Pria ini sangat kasar dan jahat. Ia berjuang berusaha melepaskan diri dari Mahesa. "Sa....kit," keluhnya tertahan. Mahesa perlahan melepaskan tangannya disaat Allana hampir kehabisan napas. Ia membuka kemejanya dan melemparkannya sembarangan. Sebuah luka bakar tampak memanjang di area perutnya, diantara otot perutnya yang terbentuk sempurna. Allana terpaku pada luka itu. Tapi sekali lagi Mahesa meraih dagunya dan mencengkeramnya erat hingga rahangnya serasa mau lepas. "Kau benar-benar harus belajar bagaimana caranya menatap orang lain yang lebih dominan dari dirimu. Tatapan itu membuatku teringat pada orang yang sangat kubenci," ucap Mahesa. Allana tetap menatap Mahesa dengan mata berkaca-kaca tapi juga disertai sorot penuh kemarahan dan cerminan harga dirinya yang tinggi. Mahesa melepaskan cengkeramannya. Ia kemudian mengambil dasinya dan menutup mata Allana dengan dasi miliknya. "Kau yang meminta ini," ucap Mahesa. Allana tahu, dia tidak mungkin bisa menolak. Nasib kakak dan adiknya ada di tangan pria ini. Ia hanya diam saat Mahesa melucuti pakaiannya begitu saja dan memasuki dirinya dengan terburu-buru. Dibanding kemarin, saat ini ia sadar dan bisa merasakan apa yang tengah terjadi. Air mata mengalir ke pipinya diantara ikatan dasi yang menghalangi pandangannya bersamaan dengan rasa perih dan sakit diantara kedua kakinya. Ia sadar, malam-malam seperti ini akan terus datang kepadanya hingga ia memenuhi apa yang tertulis dalam perjanjian itu. Pria yang tengah mendominasi dirinya ini hanya membutuhkan seorang anak. Hanya seorang anak yang bisa menjadi kunci kebebasannya dan juga nyawa kedua saudaranya. # Di penjara, Dimas Windardi duduk meringkuk di sudut selnya sambil menatap foto Rheina Anggara yang tengah tersenyum. Ingatannya kembali kemasa lebih dari dua puluh tahun lalu, saat dirinya yang berusia tiga belas tahun baru pulang dari sekolah dan mencuri dengar percakapan ibunya dengan seorang wanita muda. Itulah pertama kalinya ia menyadari kalau wanita muda baik hati yang ia kenal sebagai Puteri pemilik panti asuhan yang sering dikunjungi oleh ayahnya dan dirinya tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah selingkuhan sang ayah. Ia tidak bisa terima saat melihat bagaimana ibunya menangis di hadapan Rheina Anggara yang tengah berlutut di hadapan ibunya. Dimas menghapus air matanya. Ia meremas erat foto Rheina Anggara sambil membenamkan wajahnya diantara kedua lututnya. Ia tahu siapa Mahesa. Ia tahu dirinya tidak mungkin bisa lolos dari cengkraman pria itu jika memang dirinya telah menjadi target pria itu. Akan tetapi. Kedua adiknya. Allana dan Dio sama sekali tidak terlibat dalam dalam dosa masa lalu ayah mereka, dirinya dan juga Rheina Anggara. Jika memang benar Mahesa adalah adik Rheina maka bagaimana caranya ia memberi tahu pria itu tentang Allana yang sebenarnya? Dan bagaimana caranya ia bisa membuktikan di hadapan Mahesa kalau Allana sebenarnya adalah adik tirinya. Allana adalah anak yang dilahirkan Rheina Anggara, dua puluh tiga tahun yang lalu. # Tante Dayu berdiri didepan kamar dalam diam. Ia sudah disana setidaknya selama tiga jam. Ia bisa mendengar suara tangisan dan jeritan tertahan yang terkadang berubah menjadi desahan. Tante Dayu tidak mengerti dengan perasaan sang majikan terhadap gadis malang itu. Jika ia membencinya, dia dapat langsung melenyapkannya daripada menyiksanya secara fisik dan mental seperti sekarang. Hanya saja, disisi lain, Tante Dayu paham dengan jelas, keberatannya secara emosional tidak pernah diperlukan dalam profesi ini. Tepat pukul 3 subuh, terdengar suara di pintu. Mahesa kemudian keluar dengan pakaian dan rambut yang kacau. Sebuah cakaran terlihat di pelipisnya. Tante Dayu nyaris tercengang melihat hal itu. Selama ini tidak ada satu orangpun yang berani menyentuh seujung rambutpun milik majikannya. "Tuan," ucap Tante Dayu sambil menunduk penuh hormat. "Bagus kau disini. Katakan pada wanita liar itu. Jika dia tidak belajar menurutiku, dia akan merasakan akibatnya. Jika saat aku kembali, ini terjadi lagi, aku pastikan dia tidak akan pernah melihat kakak dan adiknya dalam keadaan hidup!" ucap Mahesa gusar. Ia berlalu meninggalkan tempat itu dengan wajah memerah penuh amarah. "Baik Tuan," jawab Tante Dayu tanpa sedikitpun menampakkan emosinya. Ia melirik ke dalam kamar yang separuh terbuka sambil menunggu sosok sang tuan benar-benar menghilang di balik pintu, kemudian dengan langkah pelan ia masuk ke dalam kamar. Allana meringkuk dengan tubuh gemetar. Ia menarik selimut menutupi tubuh hingga kepalanya. "Nona....ada yang bisa saya bantu?" tanya Tante Dayu pelan. Suara isakkan tertahan terdengar dari balik selimut. Tante Dayu menarik napas pelan. "Tuan sudah pergi," ucapnya lagi. Ia menarik perlahan ujung selimut itu. Dan mendesah panjang melihat sekujur tubuh Allana yang penuh lebam. Allana menyadari tatapan Tante Dayu. Ia menarik kembali selimut hingga menutupi sekujur tubuhnya. "Jangan.....melihatku," Ucap Allana. Sekali lagi ia merasa seolah harga dirinya ter-iris selapis demi selapis, sangat menyakitkan. Tante Dayu mengalihkan tatapannya ke tempat lain. "Dengan air mandi yang dicampur obat herbal, ruam di tubuh anda bisa hilang dengan segera. Jangan khawatir," ucap Tante Dayu. Wanita paruh baya itu merogoh sesuatu dari dalam kantong bajunya. Ia kemudian meraih tangan Allana dan meletakkan dua butir pil di telapak tangan Allana. "Minum ini. Obat ini mengandung antibiotik dan juga pereda nyeri. Setidaknya Nona harus beristirahat sekarang," ucap Tante Dayu. Allana menurut. Ia menerima gelas berisi air minum yang disodorkan Tante Dayu dan segera menenggak dua butir obat di tangannya. Berharap tidak hanya rasa perih di tubuhnya yang hilang, tapi juga rasa perih di hatinya. Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD