Bab 1 : Sign In Or Leave It

2137 Words
# Allana merasa tubuhnya memanas, sebuah sensasi asing memenuhinya dan membuatnya bergetar tanpa bisa ia kendalikan bersamaan dengan jantungnya berdetak kencang. "Jangan....jangan...." Ia mendorong lemah d**a bidang pria itu. Air mata mengalir perlahan di pipinya. Ia bukannya tidak tahu atau tidak mengerti apa yang sekarang tengah terjadi. "Menurutlah, kondisimu maupun kondisi keluargamu tidak dalam keadaan yang cukup baik untuk menolakku. Kalau kau menginginkan perlindungan dan juga pertolongan, hanya aku yang bisa melakukannya." Bisik Mahesa. Allana terdiam. Perlahan rasa sakit menyusup saat pria itu bergerak, tubuhnya seakan hendak terbelah menjadi dua. Akal sehatnya berontak, memintanya untuk menolak tapi ia sama sekali tidak memiliki tenaga untuk melakukan perlawanan saat ini. Kalimat yang dibisikkan Mahesa membuatnya membuatnya kembali pada kenyataan kalau saat ini dia tidak dalam kondisi yang memungkinkan untuk menolak. Tangannya beralih mencengkram erat punggung kokoh dari pria yang kini tengah menyatu dengannya tanpa sempat ia sadari ketika hujaman rasa sakit itu perlahan memberinya rasa berbeda yang baru ia kenal di sela-sela perih yang semakin kuat menguasainya. "Ku..mo..hon...lakukan dengan...lembut." Pintanya. Air mata terus mengalir di pipinya yang kini terlihat pucat. Namun Mahesa tampaknya tidak perduli. "Diam, dan ingat baik-baik bagaimana rasanya." Ucap Mahesa lagi. Allana merasa kesadarannya semakin mengabur ketika sensasi aneh sekali lagi menghampirinya dan melebur bersama rasa sakit yang mendera tubuh maupun jiwanya. Dia sadar, dirinya kini tidak lagi suci, dia bukan lagi seorang gadis, kemurniannya telah terenggut. Bayangan kedua orang tuanya, kakaknya yang mendekam di penjara dan adiknya silih berganti memenuhi benaknya. Ia harus menahannya. Ia harus bisa menahannya demi dua orang yang masih tersisa dalam keluarganya. Sebuah ciuman mengakhiri siksaan malam itu setelah entah berapa lama waktu berlalu sebelum Allana benar-benar kehilangan kesadarannya. Mahesa bangkit berdiri dan kembali mengenakan pakaiannya. Ia menarik selimut menutupi tubuh polos Allana dan menatap gadis itu lama. "Baik sebelum ini dan nanti, hidupmu akan selalu berada dalam kendaliku." Ucap Mahesa pelan. Ia melangkah keluar dari kamar itu dan bergegas menuju ke ruang tamu. Seorang wanita paruh baya dan beberapa pelayan telah menunggunya disana bersama dengan Jedy. "Tante Dayu, sekarang dia menjadi tanggung jawabmu. Buat dia paham dengan posisinya saat ini," ucap Mahesa. Wanita paruh baya itu —Tante Dayu mengangguk paham. "Baik Tuan," ucapnya. Jedy maju dan menyerahkan sebuah tablet ke tangan Mahesa. "Semua informasi tentang kedua saudara Nona Allana ada disitu Tuan," ucap Jedy. Mahesa tertawa. "Dunia sungguh aneh, mereka yang berada di atas bisa terjatuh ke posisi semenyedihkan ini. Aku sudah lama ....amat sangat lama menunggu-nunggu kejatuhan keluarga Windardi dan kini semua anak-anak keluarga biadab itu ada di tanganku," ucap Mahesa dengan sorot mata penuh dendam dan kemarahan. Baik Tante Dayu dan Jedy hanya diam menanggapi kalimat majikan mereka itu. Mereka paham dengan benar seberapa kejam Mahesa Abimanyu. Salahkan saja nasib buruk keluarga Windardi hingga orang mereka bisa-bisanya berurusan dengan orang semengerikan Mahesa Abimanyu. # Matahari perlahan menyusup masuk dari tirai jendela yang separuh terbuka. Saat yang sama Allana membuka matanya dengan lambat dan mencoba menggerakkan tubuhnya. Rasa sakit kembali menghujamnya ketika ia bergerak, membuatnya memejamkan mata menahan sakit. Tidak hanya sakit di tubuhnya tapi juga sakit di hatinya. Ia sama sekali tidak menyangka kalau kesuciannya akan terenggut dengan cara seperti ini. Apa yang ia rasakan sekarang, adalah sebuah bukti nyata kalau apa yang terjadi kepada dirinya semalam bukanlah mimpi buruk semata. Allana mencoba bergeser ke samping tempat tidur sambil menahan rasa perih saat suara ketukkan di pintu mendadak mengejutkannya dan membuat tubuhnya gemetar seketika. Ada rasa takut kalau-kalau sosok pria asing yang menjadi penyebab dari semua rasa sakit yang menderanya saat ini tiba-tiba muncul dari balik pintu kamarnya yang masih tertutup "Nona Allana, saya akan masuk meski anda tidak menjawab." Suara seorang wanita. Allana menarik nafas lega. Setidaknya itu bukan suara pria itu. Meski ia tidak begitu mengingat bagaimana wajah pria itu tapi ia ingat dengan benar seperti apa suara pria itu. Seorang wanita paruh baya masuk ke dalam kamar sambil membawa nampan berisi makanan lezat dan juga segelas s**u. Allana menarik selimut untuk menutupi bagian depan tubuhnya yang terekspos karena ia telanjang. Ia hanya mengamati saat wanita itu meletakkan nampan di atas nakas dan juga sebuah map hitam. Tatapannya tertuju ke atas map berwarna hitam yang tergeletak di samping nampan itu. Wanita paruh baya tersebut kemudian melangkah mendekat dan berdiri di samping Allana. "Maafkan ketidaksopanan saya sebelumnya. Saya Dayu, pengurus rumah ini dan juga akan menjadi pelayan pribadi anda 24 jam mulai sekarang. Anda bisa memanggil saya Tante Dayu, Bibi atau bahkan memanggil nama saya." Ucap Tante Dayu sopan. "Tante Dayu....kau bukan pelayan pribadiku tapi pengawas pribadiku yang ditugaskan pria itu bukan? Siapa dia? Kenapa dia melakukan semua ini kepadaku? Apa salahku kepadanya?" Nada suara Allana terdengar bergetar karena tangis yang ditahan. Kedua matanya tampak berkaca-kaca namun disaat bersamaan terlihat ketegaran disana. Tante Dayu tersenyum. "Nona benar-benar pintar. Saya tidak berhak untuk memberitahu Nona mengenai siapa orang yang menjadi majikan saya dan juga akan Nona layani mulai sekarang. Jangan khawatir, Nona akan mengetahuinya seiring waktu. Setidaknya, Tuan akan mengunjungi Nona setiap malam mulai sekarang," ucap Tante Dayu datar. Allana meremas erat selimut yang menutupi tubuhnya. "Kalau aku menolak?" Tante Dayu meraih remote TV dan menekan sebuah tombol yang menampilkan seorang bocah laki-laki yang tengah koma di RS. "Dio!!" Allana berseru kaget. "Kumohon, jangan adikku." Allana memohon. Tante Dayu menarik nafas panjang. "Adik Nona dalam kondisi stabil, jangan khawatir. Jadwal operasinya sudah ditentukan dan kami juga sudah berhasil menemukan donor. Selain itu, anda tentu tahu dengan masalah hukum yang menjerat kakak anda saat ini bukan? Kami bisa membantu membuatnya terhindar dari hukuman seumur hidup bahkan hukuman mati." Tante Dayu menjelaskan. Allana gemetar. "Apa lagi yang di inginkan oleh majikanmu dariku? Dia sudah merenggut kehormatanku. Apa lagi yang di inginkannya untuk ditukar dengan nyawa dan kebebasan kedua saudaraku" Tanya Allana. Dua bulir air mata jatuh di pipinya tanpa mampu ia bendung lagi. Setelah kecelakaan yang membuat kedua orang tuanya menghilang tanpa kabar kini, ia hanya memiliki Dimas kakaknya dan Dio adiknya. Semua orang meninggalkannya, bahkan orang-orang yang pernah dekat dengan keluarganya memilih untuk meninggalkan mereka ketika musibah itu datang dan membuat keluarganya jatuh ke titik terendah seperti sekarang. Tante Dayu tampak bersimpati melihat keadaan Allana. "Saya akan membantu anda membersihkan diri dan sarapan dulu baru kita bicarakan kelanjutannya." "Tidak Tante. Aku lebih suka menyelesaikan semuanya sekarang sebelum melakukan hal lain. Apa lagi yang di inginkan oleh orang itu dariku? Aku harus tahu sebelum aku memutuskan untuk menyetujuinya atau tidak. Dia pasti seorang yang berkuasa dan kaya raya dilihat dari tempat ini dan bagaimana dia bisa mengeluarkanku dari tempat sindikat itu, jadi aku tidak mengerti apa lagi yang di inginkan oleh orang itu." Allana bersikeras. Tante Dayu tersenyum. Ternyata memang benar, wanita ini keras kepala dan teguh. "Jika itu yang anda inginkan," ucapnya. Tante Dayu meraih map hitam itu dan meletakkannya ke pangkuan Allana. "Tuan membeli Nona dengan harga yang sangat mahal dari sindikat itu. Selain itu, Nona pasti tahu kalau diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk membuat alat penopang kehidupan tetap terpasang di adik Nona atau untuk membuat sidang bisa ditunda hingga hukuman mati pada saudara tertua Nona bisa diundur sementara tim pengacara yang ia sewa mengumpulkan berkas bukti kalau dia tidak terlibat pada apa yang dituduhkan negara padanya." Tante Dayu menjelaskan. "Aku paham, tidak ada yang gratis di dunia ini," ucap Allana. Sorot matanya menunjukkan kesedihan saat ini. Tante Dayu kembali tersenyum. "Baiklah, kalau itu yang Nona inginkan. Di tangan Nona adalah perjanjian antara Nona dan tuan. Nona akan tinggal disini tanpa interaksi dengan dunia luar sebagai wanita milik tuan sampai Nona bisa melahirkan seorang anak bagi tuan." "Anak?!" Allana tersentak. Dia bahkan tidak pernah membayangkan akan mengalami ini semua dan sekarang dia harus menjadi seorang ibu?! Lelucon macam apa ini?! "Kenapa aku? Kenapa dia harus memilihku untuk melahirkan anaknya secara langsung?" tanya Allana. Tante Dayu meletakkan sebuah bolpen di tangan Allana. "Nona bisa memilih untuk menandatangani perjanjian itu atau tidak. Jika Nona tidak menandatanganinya, adik Nona akan tewas karena kami tidak akan memberi RS dana untuk terus memasang alat penyokong hidupnya dan operasi tidak akan dilaksanakan. Selain itu, kami akan mundur dari kasus kakak Nona yang sedang mengalami tuntutan hukum. Dia mungkin berakhir dengan hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati. Dan Nona sendiri akan selamanya tinggal di tempat ini tanpa pernah bisa keluar," ucap Tante Dayu. Allana meremas bolpen di tangannya erat-erat. "Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa aku? Kenapa dia harus memilihku. Jika dia tidak ingin menikah, dia bisa menempuh inseminasi buatan dan banyak lagi. Tapi dia memilihku. Jangan katakan kalau dia memilihku secara acak karena aku tidak percaya. Dia pasti sudah merencanakan semua ini bukan?" tanya Allana. Tante Dayu menatap Allana dengan tatapan datar tanpa emosi meski sebenarnya ia sedikit terkejut karena gadis di depannya ini memiliki pemikiran yang kritis dan tajam. Dia tidak terlihat seperti itu saat dibawa oleh Tuan Mahesa tadi malam. "Saya hanya pelayan dan orang suruhan Nona, untuk hal itu mungkin Nona bisa bertanya langsung pada Tuan nanti malam. Tapi mungkin saja Tuan memilih Nona karena Nona adalah kandidat yang tepat untuk melahirkan penerus keluarga ini. Nona akan terkejut kalau Nona tahu siapa sebenarnya Tuan yang telah memilih Nona," ucap Tante Dayu. Allana menatap Tante Dayu tajam. "Kandidat yang tepat? Menjadi seorang Ibu dan melahirkan seorang penerus keluarga jadi terdengar tidak ubahnya kontes kecantikan. Tante Dayu, leluconmu sama sekali tidak lucu karena aku tidak sebodoh itu." Allana menatap Tante Dayu sinis. Tante Dayu paham dengan benar kalau Allana tidak mungkin percaya dengan kata-katanya begitu saja. "Maka Nona bisa menanyakannya langsung pada Tuan seperti saran saya sebelumnya," ucap Tante Dayu. Allana menarik nafas panjang. "Jika aku menandatangani perjanjian ini, kapan aku bisa keluar dari sini?" tanya Allana lagi. Tante Dayu tersenyum penuh makna. "Segera setelah anak itu lahir. Nona bahkan akan mendapatkan uang yang cukup untuk melanjutkan pendidikan Nona yang terputus karena kejadian ini. Selain itu kakak dan adik Nona juga akan mendapatkan jaminan penuh dari Tuan dan keluarga ini. Anggap saja ini sebagai invetasi masa depan untuk Nona dan kedua saudara Nona," ucap Tante Dayu. Allana menatap miris lembaran surat perjanjian di tangannya. Bagaimana mungkin dipaksa untuk melayani seorang pria tidak dikenal setiap malam dan kemudian harus mengandung serta melahirkan anak pria itu bisa dianggap sebagai investasi masa depan? Jemari Allana tampak bergetar saat menorehkan tanda tangannya di atas lembaran kertas itu. Ia merasa amat sangat terhina. Seumur hidupnya, belum pernah ia direndahkan sampai seperti ini. Ia jauh lebib rela bekerja keras siang dan malam untuk menanggung biaya pengobatan adiknya dibandingkan harus melakukan hal hina seperti ini. Ia merasa tidak ada bedanya dengan para wanita panggilan di luar sana. Air mata mengalir perlahan di pipinya saat ia menutup map berwarna hitam itu. Tante Dayu meraih map hitam itu dari tangan Allana dan memberikannya pada pelayan lainnya. Selama beberapa saat ia menatap Allana dan merasa simpati kepada gadis muda itu. Bagaimanapun tidak mudah bagi seorang wanita muda yang terbiasa hidup seperti layaknya seorang tuan putri untuk terjatuh ke kondisi seperti sekarang ini dan Tante Dayu paham seperti apa penghinaan yang harus ditahan oleh Allana sekarang. Semua tercermin dari binar di kedua mata Allana yang meredup. "Nona melakukan pilihan yang benar. Sekarang, Nona bisa sarapan." Ucap Tante Dayu. Allana menatap makanan di atas nampan. Ia sama sekali tidak berselera untuk menyentuh makanan itu. "Bolehkah aku membersihkan diri terlebih dahulu? Aku merasa sangat kotor." Ucap Allana. Tante Dayu mengangguk mengerti.  "Saya akan menyuruh orang untuk memanaskan sarapan Nona," ucap Tante Dayu. Allana hanya diam, tidak menjawab. Tante Dayu meraih selimut yang menutupi tubuh telanjang Allana tapi Allana menahan selimut itu erat-erat. "Aku bisa membersihkan diriku sendiri!" Terlihat seperti ini saja sudah cukup memalukan bagi Allana, apalagi jika ia harus mengijinkan orang lain melihat semua bekas kebiruan sisa semalam yang menghiasi sekujur tubuhnya. Ia tidak ingin merasa lebih terhina lagi dari ini. Tante Dayu bisa menebak bagaimana cara Tuannya memperlakukan Allana semalam hanya dari melihat kondisi tempat tidur saat ini. Ia juga paham mengapa Allana bersikeras untuk membersihkan dirinya sendiri. Tapi Allana mungkin mengalami cedera akibat malam pertamanya yang dipaksakan disaat ia tidak siap, dengan kondisi seperti itu, tidak mungkin gadis muda ini bisa membersihkan dirinya sendiri, apalagi dia juga harus siap untuk majikannya nanti malam. "Pertama kali bagi seorang wanita terkadang bisa menjadi pengalaman yang sangat menyakitkan. Ijinkan saya membantu Nona atau Nona akan semakin tersiksa saat Tuan mengunjungi Nona nanti malam. Perjanjian itu memuat pasal dimana jika Nona jatuh sakit atau cidera atas kelalaian Nona sendiri atau kesengajaan maka kesepakatannya akan batal. Sekarang masih terlalu awal bagi Nona untuk bersikap egois, pikirkan kedua saudara Nona," ucap Tante Dayu lagi. Allana terdiam. Kali ini saat Tante Dayu menarik selimutnya, ia hanya memejamkan mata. Tante Dayu membantu Allana dengan telaten. Memeganginya yang tersendat-sendat ke kamar mandi, membantunya membersihkan diri, bahkan mengoleskan obat di area pribadinya saat ia selesai mandi. Allana menekan rasa malu dan terhinanya mati-matian. Ia tahu, baik dirinya dan Tante Dayu sekarang sama-sama tidak punya pilihan selain melakukan peran mereka masing-masing. Bersambung.....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD