Part 1

1940 Words
Cinta bukan untuk dipermainkan. Tak ada canda dalam cinta. Yang ada setia dan keseriusan. By Melia_ma ..... "Hem!" Dehem seorang pria berusia 17 tahun. Duduk di bangku kelas 3 SMA dengan jurusan Fisika. Indentik dengan kelas pintar, namun nyatanya dia hanya siswa biasa dan berkelakuan cukup buruk karena sering datang terlambat. Namanya Albino. Dia dipanggil Albi. Biasa juga disapa dengan 'Al.' Ya, tergantung orang-orang memanggilnya dengan sebutan apa. Tak masalah baginya, asal jangan panggil dia dengan i***t aja, maka dia bakal marah besar. Dia mengusap-usap lututnya. Dia sedang gerogi tingkat dewa. Bukan gerogi karena berada di atas panggung atau tampil di depan kalayak ramai. Dia hanya sedang duduk biasa di bangku taman. Tidak sendirian, tapi berdua. Tanda kutik berdua: bukan pacar. Namun, akan menjadi pacarnya. Baru pada tahap harapan belum jadi kenyataan. Dia hela nafas panjangnya. Baiklah, sepertinya ini sudah pada waktunya untuk dia mengutarakan sebuah rasa yang selama ini dia pendam dengan baik. Karena terlalu takut untuk mengatakannya. Dia meneguk salivanya. Dia menggapai tangan yang duduk di sampingnya. Dia sentuh perlahan lalu menggenggamnya. Dan reaksi gadis yang digenggamnya itu langsung menatapnya. Bola mata gadis itu membulat seakan mata itu penuh tanya. "Lia, gue mau ngomong serius sama lo," ucap Albi sembari menoleh ke sahabatnya yang kini sedang duduk di sebelahnya. "Hal serius apa?" tanya Lia. Gadis cantik 17 tahun berambut lurus dan dengan senyuman tipisnya. Nama lengkap gadis itu ialah, Shila Adelia Tamma. Nama yang sangat indah dan penuh arti. Tak hanya indah tapi cantik juga, sama seperti wajahnya yang cantik dan membuat semua pria tergoda akan parasnya. Tak heran jika banyak pria yang naksir padanya sebab sekedar suka dan bahkan naksir karena cinta. Albi dan Lia kini sedang berada di sebuah taman yang sering mereka kunjungin hampir setiap hari. Bisa dibilang taman itu tempat favorit mereka berdua. Sudah dari kecil mereka bersahabat. Dan sudah dari kecil pula mereka sering main ke taman itu. Sepulang sekolah mereka suka mampir. Untuk menghilangkan penat gara-gara seharian belajar di sekolah. Albi menggaruk kepalanya yang tentu tidak gatal. Dia hanya sedang gerogi ingin mengatakan sesuatu yang mampu membuatnya jadi keringat dingin dan deg-degan. Bagaimana dia memulai, apa langsung saja atau berbasa-basi dulu. Aduh, dia gugup sekali. "Kok diam, katanya mau ngomong," kata Lia yang malas menunggu. Albi diam menatapnya jadi dia heran melihat Albi yang hanya terdiam. Tadi Albi bilang ingin berbicara hal serius padanya. Tapi kenapa cowok itu sekarang membisu? Membuatnya penasaran saja. "Emm..." "Apa?" "Gue..." "Gue apa?" "Gue suka sama lo, Lia," kata Albi to the point mengungkapkan isi hatinya. Dengan cepat dia katakan. Gak tau apa reaksi Lia setelah dia mengatakan itu. Terpenting dia sudah bilang jika dia suka Lia. Dan setelah mengatakan isi hatinya itu, dadanya semakin bergetar hebat. Rasa mau meledak jantungnya. Dadanya kaya gentongan gitu yang dipukul-pukul berulang kali. Dag-dig-dug. "Suka gue?" Lia terkaget mendengar pernyataan Albi yang menyukai dirinya. Sejak kapan cowok itu menyukainya? Sudah lama, kah? Atau sepekan ini? Lia benar-benar tak menduga. Cowok yang jaim seperti Albi ternyata selama ini diam-diam menaruh rasa padanya. Astaga, sangat tak disangka. Beraninya cowok itu suka padanya. Padahal mereka berdua sudah berjanji tak boleh ada suka diantara mereka. Cukup sahabatan aja dan gak boleh lebih dari itu. "Lia, gue cinta sama lo. Lo mau jadi pacar gue?" Albi berkata lebih jauh. Tak hanya bilang suka, dia juga bilang cinta dan juga langsung nembak Lia. Dia tak mau menunggu-nunggu waktu lagi. Biar di saat ini dia tuntas mengutarakan isi hatinya yang mendalam. Menunda itu tak baik, secepatnya itu yang jauh lebih baik. Hening. Lia belum memberikan jawaban. Dia bengong menatap sahabatnya yang nekat ingin menjadikannya pacar. Dia rasa sahabatnya itu sedang sakit. Dia periksa kening Albi, tak panas. Apa Albi serius ingin menjadikannya pacar? Atau cowok itu hanya bercanda. Jika bercanda, sungguh tak lucu. Perasaan bukan untuk main-main. Jadi jangan main-main soal bilang cinta dan suka. Apalagi ngajak jadi pacar. "Gue gak sakit Lia, gue sehat. Gue serius ingin jadiin lo pacar gue. Bukan sahabat gue lagi." Albi berucap sambil menurunkan tangan Lia dari jidatnya. Gadis itu malah berpikiran dia sakit. Orang dia serius dan gak main-main. Cinta itu gak boleh sembarang terucapkan. Harus dari hati yang tulus. Nah, saat ini dia mengatakan cintanya pada Lia sangat tulus. Gak mungkin dia mempermainkan Lia. Dia sayang gadis itu, jadi mana mungkin dia membuat gadis itu sedih gara-gara dipermainkan olehnya. Lia menghela nafasnya perlahan. Kini dia sudah menyadari. Ternyata sikap Albi yang selama ini sangat perhatian, penuh kebucinan, dan kelewat baper. Rupanya sahabatnya itu menaruh rasa padanya. Pantas, akhir-akhir ini Albi suka menatapnya dengan tatapan aneh. Rupanya tatapan tanda suka. Ya ampun, kok bisa sih sahabatnya itu suka padanya. Apa Albi gak punya gadis lain yang bisa dijadikan pacar. Atau tak ada gadis lain yang mau sama Albi. Jadi lucu, Lia pun tertawa kecil. "Kenapa lo jadi ketawa?" "Gapapa." "Lo serius suka sama gue, Al?" tanya Lia setelah diam beberapa saat. "Iya, gue suka lo," sahut Albi mantap. Buat apa juga dia bercanda. Gak ada gunanya. Baginya kalau soal perasaan buat apa bohong apalagi main-main. Tapi Lia tampak menganggap itu candaan. Saat sedang bercanda gadis itu kadang menganggapnya serius. Dan sekarang di saat dia sedang serius malah dikira bercanda. Dasar cewek, sukanya emang gitu. Untung dia suka Lia, kalau gak udah dia jauhin. Maka dari itu dia gak dekat sama cewek lain. Soalnya dia gak suka dengan sikap cewek yang menurutnya aneh. Hanya Lia yang dia mau dekati. Tak akan ada cewek lain. Terkecuali mamanya. Itu tentu saja. "Sejak kapan, Al?" tanya Lia penasaran. Dia harus tahu, sejak kapan cowok itu menyukainya. Hal tersebut sangat penting, makanya dia harus tahu. Pokoknya Albi harus jawab sejujur-jujurnya. Gak boleh bohong. Awas saja kalau berani berbohong, dia bakal marah nanti. Lebih tepatnya ngambek. "Emm, cukup lama," jawab Albi sembari melarikan pandangan matanya dari Lia, karena dia merasa malu. Entah kenapa rasa malu itu datang begitu saja. Padahal biasanya dia gak malu. Malah malu-maluin. Dia orangnya pede tingkat tinggi. Dia mana peduli dengan sekitar. Dia gak bakal malu. Asal jangan suruh dia b***l aja di depan orang ramai. Kalau itu sih dia pasti malu banget. "Kasih jawaban yang jelas. Sebutkan tanggal waktu dan tempatnya juga," protes Lia, gadis pintar yang cerewet ini. Mana boleh main sembarang jawab. Soal rasa harus jelas. Tidak boleh asal-asalan. Dia orangnya simple, tapi bukan berarti tak berisi. Maksudnya, dia bukan cewek yang ribet. Namun bukan berarti mudah menerima apapun tanpa alasan. "Gue gak tau tanggal berapa, jam berapa, dan Tempatnya dimana." "What! Katanya lo suka gue. Tapi kok lo gak tau sejak kapan lo suka ke gue." "Yang gue tau cuma satu, Lia." Albi memiringkan posisinya menghadap Lia. Menggapai wajah gadis itu dan menatapnya lekat. "Apa?" tanya Lia. "Lo wanita pertama yang gue suka," jawab Albi. Jawabannya membuat gadis yang di hadapannya jadi membisu. Kesempatan itu dia ambil dengan baik. Sekalagi Lia diam, dan pun nekat mendekati wajah Lia dan ingin mencium bibir tipis yang merah muda milik Lia. Sudah lama memang Albi menyukai Lia. Dan sampai-sampai dia lupa waktunya kapan dia mulai tertarik dengan gadis perfek itu. Namun dia takut mengatakannya. Dia takut Lia menjauhinya, dan dia takut Lia tak mau lagi bersahabatan dengannya. Awalnya Albi tak meliliki rasa apapun pada Lia, selain rasa persahabatan. Tetapi seiring waktu berjalan, rasa persahabatannya itu mulai berubah menjadi rasa suka, lalu muncul rasa cinta, dan kemudian jadi ada rasa ingin memiliki. Dan baru hari ini, dia berani mengutarakan perasaannya itu. Dengan harapan perasaannya diterima. Lia meneguk salivanya. Entah kenapa saat dia menyadari Albi ingin menciumnya dia hanya diam. Dan saat Albi berhasil menyentuh bibirnya walau hanya dalam satu detik, tapi dia tak mengatakan apapun. Harusnya dia marah. Karena Albi lancang menciumnya. Dia hanya terdiam. Kini Albi sedang menatapnya lekat. Lia tahu pasti Albi menunggu balasan darinya. Lia pun menundukkan wajahnya. Dia gak tahu mau bilang apa sama Albi. Dia jadi bingung. "Jadi gimana?" tanya Albi meminta jawaban dari Lia. Jangan membuatnya menunggu. Karena dia bukan pria yang hobi menunggu. Sebab menunggu itu sangat mengesalkan. Dia yakin, setiap manusia pasti juga tidak suka bila diminta menunggu. Berpikir dan berpikir. Cukup lama berpikir Lia pun menjawab dengan gelengan. Rasanya gak enak dia menjawab begitu. Takut Albi sakit hati. Tapi ya udah lah, daripada dia memberi harapan palsu untuk Albi. Lebih baik dia jujur saja. Dia tak bisa menerima perasaan cowok itu, semoga saja Albi bisa terima dengan keputusannya. "Gue ditolak?" tanya Albi mengerti dengan isyarat yang Lia berikan. Syarat itu membuatnya sedih. Dadanya rasa tertusuk-tusuk. Sakit banget. Dia baru tahu, jadi ditolak cinta itu sakitnya seperti ini. Gila, sakit ini lebih dari rasa sakit yang pernah dia rasa. Emang ya, sakit batin itu jauh lebih sakit ketimbang sakit fisik. Lia mengangguk pelan. Tidak enak juga dia menolak tapi mau bagaimana lagi. Dia tidak bisa menerima perasaan Albi. Dan dia tidak mau mempermainkan perasaan cowok yang tampan itu tapi otaknya tak sebagus wajahnya. Sangat disayangkan. Alangkah baiknya manusia itu memiliki keduanya. Otak yang bagus dan juga penampilan yang oke. Namun balik lagi, manusia tidak ada yang sempurna. Mungkin Albi termasuk salah satunya. Memiliki wajah keren tapi pikirannya tak sekeren wajahnya. Standar, dan malah bisa dikatakan kurang banget. Tak heran cowok itu ranking terakhir dari seluruh teman-teman kelasnya. Kadang Lia prihatin pada sahabatnya itu. Namun percuma, setiap kali Lia kasih nasehat Albi tak pernah mendengarkan omongannya. Masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Jadi Lia bisa apa. Cowok itu hidupnya terlalu santai dan sepertinya tak niat memperbaiki diri. Alias tak mau maju. Lia biarkan saja, dia pasrah. Setidaknya dia sudah pernah memperingatkan Albi tapi cowok itu mengabaikan. "Sorry Al, gue gak bisa nerima perasaan lo. Gue yakin, banyak kok cewek di luar sana yang lebih cocok sama lo dibandingkan gue. Gue gak bisa jadi pacar lo. Kita kan, pernah janji. Kita hanya sabatan aja," ucap Lia memberikan penjelasan akan penolakannya. Albi mengepal tangannya. Dia kesal Lia menolaknya. Siapa yang tidak sakit hati saat cintanya ditolak. Sebaik-baiknya umat pasti akan merasakan sakit hati saat cinta mereka ditolak. Apalagi dia yang sudah lama menyukai seorang gadis dan saat dia berani mengungkapkan perasaannya pada gadis itu dia malah mendapatkan penolakan. Parah, sungguh menyakitkan. Tidak kah Lia kasihan padanya ini. Tidak bisa kah Lia membalas cintanya. Cukup bilang 'iya' apa susahnya sih. Masa selama bertahun-tahun bersama gadis itu tak sedikit pun manaruh rasa padanya. Rasanya tak masuk akal. Setidaknya sedikit saja. Bukankah pepatah mengatakan cinta itu datang karena kebiasaan. Namun kenapa cinta Lia tak datang untuknya. Padahal dia dan Lia sudah terbiasa bersama. Menghabiskan waktu berdua. Dan di juga sudah memberikan perhatian lebih untuk Lia. Tak cukupkah waktunya bersama Lia selama ini hingga Lia tak menyimpan sedikit pun rasa padanya. "Lia, kenapa? Kenapa lo nolak gue? Apa gue gak pantas cinta sama cewek yang pintar kaya lo? Gue tau gue jauh dibandingkan lo. Tapi bukannya cinta gak memandang apapun. Gak memandang fisik dan kecerdasan seseorang. Tapi kenapa lo tolak gue? Kenapa Lia? Jawab gue!" Albi memegang kedua pundak Lia. Menggenggamnya erat sampai tubuh Lia ikut bergoyang. Astaga, Albi jadi salah kira atas penolakannya. Ini yang Lia takutkan. Albi jadi salah paham padanya. Tentu bukan masalah kecerdasan dia menolak Albi. Dia memang pintar dan Albi hanya siswa biasa. Namun bukan itu penyebab dari penolakannya. Semua yang Albi tuduhkan itu salah besar. Lia meraih tangan Albi. Memberikan ketenangan sedikit, agar cowok itu tak terlalu emosi. Semua bisa diselesaikan dengan kepala dingin. Jadi Albi tak perlu marah-marah. "Al, gue nolak lo bukan karena gue lebih pintar dari lo. Bukan karena hal itu. Iya gue paham cinta memang gak memandang apapun. Tapi, cinta itu didasarkan pada dua orang yang saling mencintai. Gua gak bisa nerima lo, gue minta maaf. Gue mohon, lo jangan salah paham dulu," jelas Lia. Gadis pintar dengan segudang prestasi itu. Albi jadi salah paham padanya. Hal seperti ini yang membuatnya jadi malas. Tentu yang dikatakan Albi itu sangat salah. Tapi kenapa cowok itu bisa berpikir sampai ke arah sana. Padahal dugaan cowok itu sangat tak mungkin. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD