Part 2

1922 Words
"Terus apa?" Albi bertanya sambil menahan rasa sakit hati karena cintanya ditolak mentah-mentah. Dia bahkan tak diberi kesempatan. Bisa saja Lia meminta waktu untuk menjawab. Beberapa hari bahkan sampai berbulan akan dia tungguk kok. Asal Lia mau mempertimbangkan perasaannya. Tetapi boro-boro meminta waktu. Gadis itu malah langsung menolak. Benar-benar membuatnya sakit. Malah terlalu menyakitkan. "Gue gak bisa menerima perasaan lo," jawab Lia dengan jujur. Udah sejujur-jujurnya. Dia benar-benar tidak bisa menerima perasaan Albi. Semoga Albi bisa mengerti dengan penolakannya itu. "Tapi kenapa Lia? Apa yang salah dari gue?" "Gak ada yang salah, Al. Gue hanya gak bisa." "Gak bisa kenap?" "...." Lia hanya diam. Tidak memberikan jawaban yang jelas untuk Albi. "Lo gak mau kita lebih dari sahabat, ya? Lo cuma mau kita sahabatan aja ya?" tanya Albi yang setengah frustasi. Dia sekarang menunduk lemah. Memandang Lia pun rasanya tak mampu. Soal cinta dia sangat payah. Dia lemah dan jadi hilang semangat. Lia menghela nafasnya gusar, dia terdiam sejenak, dia menatap lurus mata Albi untuk beberapa detik. Sebelum dia memberikan menjawaban. "Maaf Al, gue gak bisa nerima perasaan lo. Kita sebatas sahabat aja. Gue dan lo gak bisa pacaran. Cukup sahabat dan jangan lebih," katanya tanpa tahu perkataanya terus melukai perasaan Albi. Gimana gak sakit. Albi ingin Lia membalas cintanya. Dan dengan balasan cinta itulah dia akan merasa senang dan pasti bahagia. Namun pada kenyataannya Lia menolaknya. Tentu dia sedih dan tambah sedih lagi saat Lia tetap pada pendiriannya. Tetap menolak tanpa berpikir dengan matang dulu. "Kita udah sahabatan dari kecil, Lia. Lo kenal sama gue, dan gue juga kenal lo. Kita udah saling mengenal satu sama lain sejak lama. Gue mau, lo jadi seseorang yang spesial buat gue. Gue janji bakal setia sama lo. Gue bakal jagain lo. Gue gak bakal suka sama cewek lain. Lo akan terus menjadi yang terbaik buat gue. Percaya sama gue. Gue akan memberikan kebahagiaan yang hebat untuk lo." Albi menatap Lia dengan tatapan memohon. Sampai-sampai Lia jadi merasa bersalah. Dia sebetulnya tak tega menolak Albi. Tapi dia tidak punya jalan lain. Menolak adalah langkah yang tepat baginya. "Sorry Al, gue gak bisa," tolak Lia lagi dengan pendiriannya yang kuat. Lagi-lagi albi ditolak. Jika terus begini Albi bisa mati gara-gara sakit hati. Mungkin inilah alasannya orang bunuh diri gara-gara cinta. Dan ada juga pepatah yang bilang cinta ditolak dukun bertindak. Mungkin kedua hal itu ada benarnya. Namun Albi tidak akan melakukan kedua hal itu. Satu, dia takut mati. Jadi mana mungkin dia berani bunuh diri. Syukur kalau masuk surga. Kalau masuk neraka dia bakal rugi. Dan syukur jika dia langsung mati, jika dia masih hidup dan efeknya jadi cacat dia yang tekor. Sama halnya dengan main dukun. Dukun bukan Tuhan, minta tolong sama dia. Maka musyrik. Dari itu dia tak mau keduanya. "Gak bisa kenapa? Kasih gua alasan yang jelas, Lia. Gue butuh jawaban lo yang jelas. Apa gue kurang kasih perhatian buat lo? Jadi lo gak suka gue. Atau karena gue bodoh terus gak cocok sama lo? Iya, kek gitu?" tebak Albi membuatnya ditatap Lia, mungkin karena Lia tidak terima dengan perkataannya. Dia emang udah agak ngawur dalam berucap. Maklum dia sedang emosi dan mulutnya sudah susah terkontrol. Jadi dia ngucap sembarangan. Tidak disaring dulu, langsung keluar gitu aja. "Bukan Al, bukan." "Terus apa Lia?" "Sebenarnya..." Lia gantung dalam berucap. Dia takut mengatakan alasan yang sebenarnya kenapa dia menolak cintanya Albi. Dia takut Albi membencinya. Dia juga takut Albi akan kecewa lebih jauh. Maklum Albi itu orangnya baperan parah. Kalah-kalah cewek. Dan suka diam-diam gak jelas. Kayak ngambek gitulah. Pokoknya Albi itu cowok yang unik. Uniknya itu ya sikapnya. Kadang gak jelas. "Lia, apa alasannya?" "Gue..." "Katakan Lia?" "Gue..." Lia memain-mainkan jemarinya. Efek gugup mau ngomong penyebab dari alasannya menolak untuk dijadikan pacar oleh Albi. "Ayo bilang Lia. Bilang sama gue yang jujur." "Gue... gue udah punya pacar, Al," jelas Lia terus terang. Alasannya menolak karena hal itu. Dia sudah memiliki pendamping jadi mana mungkin dia menerima cintanya Albi. Ya, meski dia dan Albi memang mengenal lama dan pasti sudah tahu satu sama lain. Namun, sampai saat ini dia tidak memiliki rasa apapun sama Albi. Selain rasa sahabat aja. Dia menyukai dan mencintai cowok lain. Dia berharap Albi mengerti dengan alasannya ini. Perasaan kan, tidak bisa dipaksakan. Jadi terima saja. Dia sudah punya pacar dan lukapakanlah dia. Dia sudah milik orang lain. "A-apa pa-pacar?" ucap Albi gelagapan sebab kaget setelah tahu Lia memiliki seorang pacar. Albi jadi kecewa setelah tahu kenyataan pahit bahwa gadis yang disukainya selama ini ternyata sudah memiliki kekasih hati. Dia kira Lia belum memiliki pacar. Tapi ternyata dia salah. Dia sangat salah. Albi pun terdiam. Dia menundukkan kepalanya lagi. Sedih dan kecewa, kedua rasa itu datang secara bersamaan dan membuatnya campur aduk. Saat ini, dia diibaratkan daun kering yang jatuh di hamparan tanah yang sangat luas. Dia rapuh dan mudah hancur menjadi debu. Perasaannya pun semakin sakit menerima kenyataan pahit itu. Padahal dia sangat berharap perasaannya pada Lia dapat balasan. Ternyata tidak. Sangat menyedihkan. "Gue minta maaf ya Al, gue gak bisa nerima perasaan lo. Sorry sekali lagi..." ucap Lia yang jadi merasa bersalah atas penolakannya pada Albi. Lia memandangi Albi, cowok itu terlihat seperti orang yang sedang patah hati. Lia jadi merasa bersalah dua kali lipat dan dia juga tak tega melihat Albi seperti itu. Lia pun menggapai pundak Albi, dan dia beri sedikit usapan lembut di sana untuk memberikan ketenangan. "Jangan sedih, Al. Gue tau lo kecewa sama gue. Tapi lo gak boleh terpuruk ke gini," ucapnya menguatkan. "Lo spesial kok, bagi gue. Tapi, sebagai sahabat. Gak bisa lebih Al, karena gue udah terikat dengan orang lain. Gue harap lo ngerti." "Siapa?" tanya Albi sembari mendongakkan kepalanya untuk memandang Lia. Dia ingin tau pria yang telah berhasil mendapatkan hati Lia. Sehebat apa pria itu sampai bisa memiliki Lia. Pria itu mungkin sangat mengagumkan. Sampai-sampai Lia terpincut dengan pria itu. Pria itu sungguh beruntung mendapatkan Lia. "Seseorang, gue belum bisa kasih tau lo sekarang," jawab Lia seraya meluruskan padangannya ke arah depan. Dia melihat langit dan entah kenapa wajah cowoknya jadi muncul di langit tersebut. Dia jadi menghayalkan wajah pacarnya. Dia tersenyum saat melihat bayangan pacarnya tersenyum padanya. Senyum pria yang dicintainya itu sungguh mempesona. Senyum itu yang membuatnya terpanah. "Kenapa?" tanya Albi. Maksudnya kenapa Lia tak memberitahunya sekarang aja. Apa cowok itu terlalu spesial bagi Lia. Atau memang Lia sengaja merahasiakannya. "Gue gak bisa kasih tau lo sekarang," jawab Lia tanpa menoleh pada yang bertanya. Dia tidak akan memberitahu Albi. Dia tak mau Albi tambah kecewa setelah tahu siapa pacarnya. Nanti jika sudah pada waktu yang tepat pasti dia akan membeberkan siapa pacarnya. Tapi nanti, tidak untuk saat ini. "Lo suka dengan pria yang jadi pacar lo itu?" tanya Albi. Meski itu pertanyaan bodoh darinya, tapi apa salahnya jika dia bertanya. Bisa saja kan, Lia terpaksa memacari pacarnya karena dipaksa. Dapat ancaman atau semacam itulah. Sehingga Lia tak punya pilihan selain menerima cinta cowok itu. Lia mengangguk. Jujur, dia tentu saja menyukai pacarnya. Jika tidak suka buat apa dia menerima untuk dijadikan pacar oleh pacarnya itu. Pertanyaan Albi ada-ada saja. "Terus, lo cinta sama dia?" "Iya," jawab Lia. Tentu saja dia cinta. Kalau gak cinta buat apa dia nerima cowok yang mengajaknya pacaran. Kalau gak cinta udah pasti dia tolak. Jadi dia dan pacarnya saling mencintai satu sama lain. Saling suka dan sama-sama naksir. Albi meneguk salivanya dengan susah payah. Sesakit ini rasanya cinta tanpa balasan. Menelan ludah sendiri saja sulit. Pasti hal ini yang membuat orang yang patah hati tak nafsu makan. Tidak ada gairah hidup. Dan inilah yang dia rasakan sekarang. Ternyata sangat tak nyaman berada di posisi begini. Hening. Ekspresi wajah Albi berubah 180 derajat. Mimik wajahnya langsung bersedih dan dia menunduk diam seribu bahasa. Albi merasa tak punya harapan lagi. Lia suka sama pacarnya dan juga cinta. Kalau sudah seperti itu, apa dia akan mendapatkan kesempatan untuk memiliki Lia? Lia ikutan diam. Sesekali dia memandangi Albi. Lalu dia meluruskan pandangannya kembali ke depan. "Gak nyangka ya, ternyata lo naksir gue," ujarnya. Itu kalimat mengejeknya atau apa. Albi terasa tersendir dengan perkataan itu. "Lia, apa gue boleh tanya sesuatu?" Albi mengangkat kepalanya dan menoleh ke Lia. "Tentu boleh," tanya Lia sembari menolah. "Mungkin gak suatu saat nanti lo cinta sama gue?" tanya Albi penuh harapan. Mungkin saja untuk saat ini Lia mencintai pria itu. Dan mungkin di kedepannya Lia cintanya sama dia. Bisa saja hal tersebut terjadi. Tidak ada yang mustahil jika Tuhan sudah berkendak. "Gue gak tau," jawab Lia seadanya. Albi menggapai tangan Lia. Menggenggamnya dan menciumnya. "Mungkin gak?" tanya Albi lagi. Lia diam saja dan melepaskan tangannya dari genggaman Albi. Lia gak perlu menjawab pertanyaan Albi. Dia gak bisa berterus terang. "Kenapa gak dijawab?" Lia beranjak dari duduknya. "Al, gue mau pulang," pintanya ingin cepat mengakhiri percakapannya dengan Albi. Dia sudah mulai tak nyaman dengan suasana tegang seperti ini. "Jawab dulu pertanyaan gue, baru kita pulang." Lia diam aja. Dia enggan menanggapi. Dia mau pulang dan dia malas jika Albi terus-terusan ngomong soal perasaan. Albi berdiri dan menggapai kedua tangan Lia." Gue gak hanya ingin menjadikan lo pacar. Namun juga istri gue di masa depan."  Albi masih belum menyerah. Dia masih berusaha mendapatkan gadis impiannya. Dia harus berjuang demi mendapatkan Lia. Lia jadi terdiam mematung, dia tak menyangka Albi sampai seserius itu padanya. Jadi dia harus bilang apa sekarang? Albi bahkan akan menjadikannya seorang istri untuk di masa depan nanti. Dia yakin Albi tak berbicara omong kosong. Karena Albi bukan tipe orang yang pembohong. "Gue sayang sama lo, Lia," ucap Albi lalu memeluk Lia. Lama mereka berpelukan. "Sorry Al, gue gak bisa membalas perasaan lo." Lia melepaskan pelukan Albi. Dia kemudian pergi. Dia meninggalkan Albi sendiri di taman yang sepi itu. "Lia!" teriak Albi. Tapi Lia tetap pergi. "Apa gue punya harapan untuk mendapatkan lo?!" Lia tak membalas apapun. Dia terus berjalan pergi tanpa menoleh ke belakang. Dia tak mau memberikan harapan untuk Albi. Dari itu dia tetap melangkah tanpa sekalipun menoleh. Dia tak mau nanti Albi malah mengira dia memberikan harapan saat dia berbalik melihat Albi lagi. *** Hari ini Albi berangkat sekolah sendirian, tanpa ditemani Lia. Harinya tak seperti hari-hari yang lalu. Sangat tidak menyenangkan tanpa adanya Lia. Sepanjang perjalanan Albi hanya diam di dalam angkot. Wajahnya murung tak bersemangat. Sampai di sekolah dia hanya jalan dengan merundukan kepala saat melewati koridor. Tanpa peduli dengan pemandangan sekitarnya. Dan pada saat sesampainya di kelas. Kelasnya masih kosong. Belum ada siapa pun yang hadir. Hanya dirinya yang kini sedang mendudukkan diri sambil menyimpan ranselnya di kolong meja. Dia mungkin berangkat terlalu pagi. Albi menatap jendela. Dia duduk di bangku paling pinggir dan dekat dengan jendela kelas. Posisi yang sangat menyenangkan apabila ada angin yang berhembus masuk. Rasanya dingin. Albi lihat cuaca pagi ini sangat cerah. Beda banget dengan perasaannya yang sedang diambang kegelapan. Dia sedang patah hati. Kejadian semalam membuatnya patah semangat. Wajahnya kini murung, menggambarkan suasana hatinya yang sedang berduka karena cinta yang ingin dimilikinya belum dia dapatkan. Lia cinta pertamanya, dia ingin mendapatkan gadis itu. Memiliki seutuhnya. Tak hanya dijadikan kekasih saja. Tapi juga bagian dari tulang rusuknya. "Eh cupu!" pekik seorang cowok berparas tampan dengan tampang dinginnya sambil melangkah menghampiri Albi. Albi menoleh melihat pria dingin yang memanggilnya dengan panggilan cubu. Pria itu kini sudah di hadapannya dan menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Dia lagi," umpat Albi dalam hati tak suka dengan kedatangan cowok yang tak diundang itu. "Gue salah apa lagi?" tanya Albi pada cowok itu. Biasanya cowok itu mendatanginya karena dia melakukan sebuah kesalahan. Tapi hari ini rasanya dia tidak membuat kekacauan. Tapi kenapa cowok itu mendatanginya. "Hari ini lo gak ada salah. Tapi gue ada permintaan buat lo," jawab Bara sambil melipat tangannya di atas d**a. Nama cowok dingin itu adalah Bara Aditama. Dia anak pemilik Sekolah ini. SMA Abdi Bangsa, tepatnya. Sekolah swasta yang ternama. Bara selaku ketua OSIS di sini. Dia seorang kakak kelas yang populer dan jadi murid kebanggaan sekolah. "Apa?" tanya Albi. "Jauhi Lia!" ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD