3. Sandiwara

1660 Words
Pagi itu, Raiden yang baru saja keluar dari kamarnya, terkejut melihat Raya mematung dengan raut wajah penuh dendam. “Hai!” sapa Raiden untuk mencairkan suasana. Senyum mengembang terlihat dari pemuda yang tetap terlihat tampan walau rambutnya acak-acakan setelah bangun tidur. Raya menoleh. Tampak jelas senyum memesona itu. Dengan segera Raya menghapus air matanya. Susah payah ia menutupi masalahnya. Menampakkan senyum yang sedikit dipaksakan. “Hai!” “Mau gue buatin sarapan?” Raiden berusaha menghibur. Raya justru melongo dibuatnya. “Sarapan? emangnya lo bisa masak?” lantaran Raya sendiri tak bisa memasak. Dia merasa beruntung bertemu pria baik hati seperti Raiden. “Jangan meremehkan! masak itu urusan gampang!” Raiden mengembangkan senyum sembari melangkahkan kaki. Namun, tiba-tiba dia menghentikan langkahnya dan berbalik arah. “Apa lo meragukan kemampuan gue?” ucapnya sembari menoleh ke arah Raya. “Ap—apa? Ah ... ngga kok! Maaf deh! gue ngga ada maksud mengejek kok, beneran! soalnya gue sendiri ngga bisa masak.” Raya tersipu karena dia meragukan kemampuan Raiden dalam memasak. “Oh, gue pikir lo ragu.” “Ngga lah, Om!” Raya berusaha mengulas senyuman. Kali ini dia benar-benar tersenyum melupakan sejenak beban dalam hidupnya. “Emangnya tampang gue Om Om gitu?" "Eh, ngga juga ... M ... Mas maksudnya." "Panggil aja, Rai! biar kita kembaran! Ya kan?” ucap Raiden sambil melangkahkan kaki. Raya mengangguk. “Ya, ya, ya!” Ia masih menebar senyuman setelah Raiden berjalan ke arah dapur. ‘Akhirnya gue bisa senyum lagi, walau gue masih mikirin gimana masa depan gue juga kondisi Ayah?' batinnya terus bergejolak. Jika kembali teringat ayahnya. *** Setelah memasak, Raiden datang kembali untuk menghidangkan sarapan di atas meja. Pandangan Raiden mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Namun ia tidak mendapati Raya di sana. “Ke mana gadis itu?” gerutunya sembari menoleh ke segala arah. Dia melihat pintu terbuka. Dengan segera ia memeriksanya. Dia takut kalau para bandit itu datang kembali menemukan keberadaan mereka untuk menculik Raya. “Celaka! Jangan-jangan ....” Raiden berjalan dengan tergesa-gesa. Tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dia bernapas lega setelah melihat Raya ada di dekat garasi. Raya terlihat tengah menelepon seseorang. Raut wajahnya sangat serius, kalut, dan kusut. Hal itu semakin membuat Raiden penasaran. Ia pun memutuskan untuk menguping percakapan Raya. Pemuda itu bersembunyi di balik rimbunnya tanaman Janda bolong, milik pemilik rumah kontrakan. Lalu memasang telinga baik-baik. Karena apa yang didengar membuatnya semakin penasaran dengan sosok gadis bernama Raya yang ia tolong semalam. ‘Apa yang sebenarnya sedang dihadapi gadis itu? Siapa dia sebenarnya?’ batin Raiden sembari terus mengawasi. ‘Apa dia gadis malam? Atau gadis yang diculik seseorang?’ batinnya lagi. Setelah melihat Raya selesai menelepon. Raiden segera berlari menuju ruangan tadi, dengan sarapan yang sudah tersaji di atas meja. Dia berusaha terlihat senatural mungkin, seolah tidak mengetahui apa pun dan tidak terjadi apa-apa. Raiden menatap Raya yang baru saja masuk ke ruangan itu. “Ayo, makanlah!” Raya buru-buru mengusap air matanya lagi. Ia tidak mau Raiden mengetahui apa yang menimpanya saat ini. Raya mengulas senyuman sembari duduk di sana. “Makasih, Rai,” ucapnya tulus. Mereka pun menikmati sarapan bersama. Situasi sempat menghening. Raiden tak mau merasa canggung, sehingga dia mengawali perbincangan. “Ray!” panggil Raiden membuat Raya menatapnya. “Ya?” “Maaf, sebenarnya ... semalam itu kamu kenapa?” tanya Raiden tegas. Raya terdiam. Dia tidak punya pilihan lain, selain berkata jujur. “Gue dijebak,” ucap Raya sembari mengambil segelas air mineral yang sudah disajikan. “Dijebak?” Raiden hampir tidak percaya. Raya mengangguk. Ia termenung mengingat kembali apa yang terjadi beberapa hari belakangan ini. “Terlalu rumit buat gue ceritain sekarang... Karena gue bingung, dari mana gue harus memulai ceritanya.” “Oh, santai aja, Ray! ngga apa-apa! Semoga masalah lo bisa cepat selesai.” Raiden yang merasa iba tidak mau memaksa Raya untuk bercerita. Walau dalam hatinya begitu penasaran. “Lo sendirian tinggal di sini? Soalnya gue ngga lihat siapa-siapa lagi,” tanya Raya penasaran. “Gue sebatang kara,” ucap Raiden dengan raut wajah pilu. “Maaf, Gue ngga bermaksud untuk ....” “Nggak masalah! terus lo sendiri tinggal di mana?” sahutnya karena penasaran. “Gue tinggal di Kota. Ibu udah lama meninggal, dan sekarang Ayah gue sakit. Ya ... kejadian semalam itu terpaksa gue lakuin.Gue kabur karena gue ngga mau masa depan gue lebih hancur lagi. “Kabur?” Raiden penasaran. Raya mengangguk. Ia kembali mengingat bagaimana dia berusaha keras untuk kabur dari Om Sugeng. “Rai, maaf kalau gue lancang. Tapi ... gue mohon, tolong gue!” Raya kembali menatap dengan bulir bening yang terus membasahi pipinya. Raiden tercengang. Sampai-sampai ia tidak jadi mengunyah sarapan itu. “I—iya! ngomong aja!” “Apa gue boleh numpang tinggal sama lo, untuk sementara waktu?” “Oh, ya ... tentu aja! Tapi ... apa yang sebenarnya terjadi? Paling ngga sebagai tuan rumah, gue harus tahu maksud dan tujuanmu!” Raiden berpura-pura mendesak Raya untuk mengatakan hal yang sesungguhnya. Raya bergeming. Dadanya penuh sesak. Segala luka bercampur menjadi satu. Emosinya memuncak tapi tak tahu arah dan bagaimana ia menyelesaikan semuanya. “Semalam gue hampir aja kehilangan masa depan gue! gue benar-benar bodoh! Ceroboh! Gue malu, Rai! Gue bukan wanita k itu!” “Ray! Tenang!” Raiden beranjak dari tempat duduknya. Ia berusaha menenangkan Raya dengan menyandarkan Raya ke bahunya. “Masalah yang lo hadapi mungkin sangat berat. Tapi semoga semua cepat teratasi. Lo bisa tinggal di sini selama yang lo mau!” “Tapi, giman kalau pacar lo tahu? gue ngga mau terjadi salah paham.” Raya tidak mau menambah masalah dalam hidupnya. Raiden tercengang. “Pacar?? ha ha ha ... Tenang aja! gue belum punya pacar,” tegas Raiden sembari menahan malu. “Oh, Makasih, Rai!” “Ya udah! Sekarang lo makan, mumpung masih hangat!” ucap Raiden yang kembali ke posisi semula untuk menghabiskan sarapan hangat yang dia buat. “Ngomong-ngomong ... lo jadi joki?” “Yoi. biasalah ... balap motor! laki banget kan gue!” tandas Raiden. Raya menahan senyum. “Udah lama?” tanya Raya yang juga penasaran dengan kehidupan Raiden. Orang yang begitu berjasa karena menyelamatkan masa depannya semalam. “Ya lumayanlah, profesi terselubung. Balap liar, dunia malam, taruhan, ya ... gitulah! Tapi ... duitnya lumayan buat biaya hidup! soalnya gue pengangguran.” Raya hanya tersenyum. Dia tidak mau kalau perbincangan itu menyinggung Raiden. Karena tidak ada maksud lain selain ingin berbincang. “Lo sendiri? kerja atau kuliah?” Raiden kembali melempar pertanyaan untuk Raya. “Kuliah semester akhir. Tapi, mungkin ngga akan berakhir dengan sebuah gelar.” “Maksudnya?” “Mungkin gue ngga bisa melanjutkan kuliah. Masalah yang gue hadapi sangat berat, Rai! gue harus belajar mengikhlaskan segalanya. gue rasa dunia gue jungkir balik saat ini!” Raya berbicara sembari gemetaran. “Masalah yang dihadapi dalam kehidupan tak ubahnya bagai ujian. Setelah lo berproses melewati semua itu, walau ngga mudah. Yakinlah, kebahagiaan tersirat di dalamnya. Seperti kata orang! Pengalaman adalah pelajaran berharga dalam kehidupan!” Raiden berusaha menguatkan Raya. Karena ia pun tengah menghadapi masalah yang cukup rumit. “Kelihatannya, lo pernah mengalami permasalahan yang rumit?” tanya Raya yang mulai tenang setelah mendengar apa yang Raiden sampaikan. “Ya ... Begitulah kehidupan!” Raiden hanya mengulas senyumannya. “Terkadang indah, tapi lebih banyak ujiannya. Tinggal bagaimana mental kita menghadapi itu semua.” “Ya, lo bener!” ucap Raya yang merasa menemukan orang yang tepat untuk berkeluh-kesah. “Udah, habisin dulu makanan lo! Jangan sampai bersisa!” pinta Raiden. “Okey! Oh iya ... sekalian gue mau izin keluar sebentar.” "Ati-ati! Nanti ketangkep lagi ama si Botak atau ngga si Gondrong!” Raiden menahan senyum. "Amit-amit deh!" Raya mengetuk meja tiga kali. "Ni ambil kuncinya!" Raiden memberikan kunci rumah kontrakannya. “Tapi ....” “Gue punya serepnya!” Raiden yang penasaran menyelidiki diam-diam. Dari penelusuran itu, Raiden mendapati Raya bertemu dengan seseorang di sebuah jalanan sepi. Pria yang bertemu dengan Raya membawakan satu kantong berisi sesuatu. Lalu mereka terlihat berbincang sebentar. Tak lama setelahnya, Raya kembali menangis. Raya kembali menaiki taksi, sedangkan Raiden mengikuti pria yang baru saja bertemu dengan Raya. Pria itu pergi ke rumah sakit. Raiden kembali mengikuti hingga pria itu masuk ke dalam ruang perawatan. Rasa penasaran itu mengantarkan Raiden menemukan sebuah fakta bahwa pria yang tengah dirawat di sana bernama Barata. Seorang pengusaha terkemuka yang diberitakan bangkrut. ‘Apa mungkin, Raya adalah putri dari Barata? Soraya Barata yang dikabarkan baru saja putus dari tunangannya?’ gerutunya dalam hati. Namun, Raiden masih penasaran dengan masalah yang melanda Raya. Hatinya bergetar melihat berita pagi ini. Semua menyudutkan Soraya Barata. *** Raya bertemu dengan Suseno pagi itu. Lantaran dia meminta tolong untuk mengambilkan beberapa setel pakaian di rumahnya. Saat ini Raya memilih untuk bersembunyi karena takut akan anak buah Sugeng. Selain itu, semua aset Barata tengah disita, lantaran perusahaannya tengah mengalami krisis. Semua diduga akibat ulah Tian. Namun, bukti yang mengarah padanya, begitu sulit didapatkan. Semua dijalankan dengan sangat rapi.. Raya berusaha meminta tolong kepada Suseno untuk mendapatkan bukti kecurangan Tian—mantan tunangannya. Karena saat ini Tian memiliki kekuasaan di perusahaan Barata. Semua berawal ketika Barata jatuh sakit. Perusahaan membutuhkan seseorang untuk menggantikannya. Sehingga Barata menunjuk Tian untuk menggantikan posisinya sementara waktu sampai Barata sembuh. Karena pada saat itu, Tian adalah calon menantunya. Namun, bukannya amanah. Tian justru melakukan banyak kecurangan dan membatalkan pernikahan dengan Raya. *** Malamnya, Raya menjenguk Barata di rumah sakit. Itu pun Raya lakukan diam-diam dengan bantuan Suseno. Barata dipindahkan ke ruang perawatan yang baru setelah kondisinya stabil pasca operasi. Raya menggenggam tangan ayahnya. Pria yang selalu ada untuk Raya, menjadi Ayah sekaligus Ibu untuk putrinya. “Raya.” Senyuman mengembang di wajah Barata. “Iya, Ayah.” Suara lembut itu menyejukkan relung hati sang ayah. “Apa kamu sibuk?” “Lumayan, Yah. Maaf kalau Raya baru sempat menemani Ayah lagi.” “Ayah mengerti. Kamu pasti sibuk mempersiapkan pernikahanmu dengan Tian, kan?” Deg! Ucapan Barata membuat Raya bingung. Harus menjawab apa atas pertanyaan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD