Keesokan harinya, kabar cepat menyebar di kampung kecil itu. Rumah tua milik almarhumah Sekar Ayu tiba-tiba dibersihkan dan dihuni kembali. Beberapa tetangga sempat melihat Tama, lelaki berpakaian seragam, keluar masuk rumah itu. Mereka berbisik-bisik—tentang cinta lama, tentang rahasia yang bangkit dari tidur panjangnya.
Raras mengabaikan semua itu. Fokusnya satu: siapa yang menulis catatan ganjil di buku harian ibunya?
Siapa yang tahu nama Tama, tapi juga menyebut ada nama lain?
---
Sore itu, saat Raras membersihkan bagian belakang rumah yang hampir runtuh, seseorang memanggil dari balik pagar kayu:
“Permisi... Nduk, apa benar ini rumahnya Sekar?”
Seorang lelaki tua berdiri di luar pagar. Pakaiannya sederhana, kemejanya pudar, rambutnya putih bersih, tapi matanya tajam seperti menyimpan waktu.
“Iya, Bapak siapa?” tanya Raras hati-hati.
Lelaki itu tersenyum pahit. “Namaku Wira. Dulu... aku kawan dekat ibumu. Bahkan... lebih dari itu.”
---
Di dalam rumah, Tama langsung berdiri saat mendengar nama itu.
“Wira,” desisnya. “Kau masih hidup rupanya.”
Wira menatap Tama, lalu menunduk singkat. “Mas Tama... kita sudah tua. Tapi aku datang bukan untuk bertengkar. Aku datang karena Raras berhak tahu kebenaran.”
“Apa maksud Bapak?” tanya Raras, bingung.
Wira duduk perlahan di kursi goyang tua milik Sekar. Ia menatap sudut-sudut rumah dengan mata berkaca.
“Aku mencintai ibumu, Raras. Bahkan ketika dia hanya menunggu Tama yang tak pernah datang. Aku ada di sisinya, saat sakit, saat melahirkanmu... Tapi aku tahu, hatinya tak pernah untukku.”
Tama mengepalkan tangannya. “Kau tahu aku tak pernah sengaja meninggalkan Sekar.”
“Aku tahu.” Wira mengangguk. “Tapi saat itu, suratmu tak pernah sampai. Seseorang mencegahnya...”
---
Ruangan menjadi senyap. Angin sore masuk membawa bau tanah basah.
Lalu Wira melanjutkan, perlahan:
“Seseorang menyembunyikan surat itu. Bahkan hampir semua surat yang kau kirim. Karena... dia ingin Sekar berpikir kau menghilang. Dan orang itu adalah... aku.”
Raras menatapnya, wajahnya pucat.
“Kenapa?”
“Karena aku ingin dia memilihku. Tapi dia tetap mencintaimu sampai akhir hidupnya. Aku kalah, Tama. Bahkan saat aku tak pernah meninggalkannya.”
---
Tama menunduk, perasaannya campur aduk.
Raras hanya bisa terdiam—kebingungan antara marah, sedih, dan iba. Seluruh hidupnya ia bertanya-tanya siapa ayahnya. Dan hari ini, dua laki-laki di hadapannya sama-sama mencintai ibunya—dengan cara yang berbeda, dan sama-sama menyakitkan.
Lalu Wira mengeluarkan secarik foto usang dari kantong bajunya.
“Ini foto ibumu, saat menggendongmu bayi. Di baliknya ada tulisan tangan Sekar.”
Raras membalik foto itu. Dan memang ada tulisan:
> Untuk anakku tercinta. Ayahmu mungkin tak pernah sempat menggenggammu. Tapi darahnya hidup di senyummu.
---
Air mata Raras jatuh tanpa bisa dicegah.
Hari itu, ia menyadari: kebenaran kadang bukan tentang siapa yang ada... tapi siapa yang tetap mencintai meski tak dimiliki.
---