Sore itu, Djogja seperti menahan napas.
Langit mulai redup, dan suara gamelan dari rumah-rumah tua menggema lirih. Tama berjalan di samping Raras, tak banyak bicara. Di tangannya, surat tua itu masih tergenggam erat—seakan takut hilang lagi.
Mereka menyusuri gang kecil menuju rumah lama peninggalan Sekar Ayu, ibu Raras. Pintu kayunya masih kokoh, meski warna cat sudah terkelupas. Di teras, ada kursi goyang yang sejak dulu tak pernah diduduki siapa pun selain Sekar.
"Rumah ini... terakhir aku datangi sebelum ditugaskan ke Garut," ujar Tama pelan.
Raras membuka pintu. Hawa lembab dan aroma kayu tua langsung menyeruak. Semua masih seperti dulu. Foto-foto tua, kain batik, bahkan bakul-bakul bunga kering masih tersusun rapi di pojok kamar.
"Di sini, Ibu sering menyendiri. Menulis sesuatu di buku kecil, tapi aku tak pernah berani membacanya," kata Raras, sambil menunjuk meja di dekat jendela.
Tama mendekat. Ia membuka laci tua yang berderit saat disentuh. Di dalamnya, ada sebuah buku bersampul cokelat yang diikat dengan pita kain lusuh.
"Ini... tulisan tangan Sekar?" tanya Tama.
Raras mengangguk. Mereka membuka halaman pertama.
> Untuk Tama.
Jika kau menemukan ini suatu hari nanti, berarti semesta masih menyisakan jalan untuk kisah kita.
Maafkan aku yang terlalu pengecut untuk menyusulmu ke medan yang jauh.
Tapi aku tak pernah berhenti menunggumu di setiap bunga kenanga yang gugur di halaman rumah kita...
Tama menahan napas.
Tangannya gemetar saat membalik halaman demi halaman, penuh puisi dan surat yang tak pernah terkirim.
Namun di bagian belakang buku itu, terselip selembar kertas baru—berbeda.
Tinta lebih segar. Tulisan lebih tergesa.
> Raras,
Jika suatu hari kau tahu tentang siapa ayahmu, jangan percaya begitu saja.
Aku melihat surat yang bukan untukku—dan ada nama lain selain Tama.
Mereka saling pandang. Sunyi menelusup ke sela-sela jendela rumah tua.
"Siapa yang menulis ini?" bisik Raras.
Tama menggeleng. "Bukan Sekar. Mungkin seseorang yang tahu lebih banyak dari kita."
---
Malam itu, rumah tua tak lagi sekadar tempat kenangan. Tapi menjadi pintu menuju sesuatu yang lebih dalam. Mungkin... lebih gelap.
---