Pagi itu, Djogja masih dibungkus kabut tipis. Suara bedug subuh sudah lama berlalu, tapi udara dingin belum juga pergi.
Raras duduk diam di pojok pasar, bakul kembangnya belum terbuka. Tapi bukan karena lelah, melainkan pikirannya masih terikat pada sepucuk surat yang ia temukan malam sebelumnya.
Nama "T." dan kata "Raras" terus mengambang di benaknya.
Apakah benar Tama itu… ayahku?
Kenapa beliau tak pernah datang bahkan sekadar melihatku…?
Atau... ini semua hanya kebetulan nama?
Terlalu banyak pertanyaan. Dan hanya ada satu cara menjawabnya: ia harus bicara langsung pada Tama.
---
Siang harinya, Raras menunggu di sudut alun-alun utara, tempat Tama sering singgah sebentar sebelum menuju markas. Ia sudah menyiapkan bunga melati paling segar, bukan untuk dijual, tapi sebagai alasan untuk mendekat.
Dan benar saja, suara sepatu boot pelan-pelan terdengar di antara debur roda becak.
"Ndoro Tama..."
Raras berdiri. Suaranya tenang, tapi jari-jarinya gemetar.
Tama menoleh, agak terkejut. "Kembangnya hari ini harum sekali," katanya, seperti biasa, kalem.
"Tidak dijual, Ndoro," ujar Raras cepat. "Saya... ingin bertanya."
Tama mengerutkan alis. "Tentang apa?"
Raras menunduk, lalu menyodorkan surat itu—yang sudah ia bungkus ulang dengan kertas daur ulang bersulam bordir kecil.
"Ini... saya temukan di bakul saya. Untuk Rr. Sekar Ayu. Ibu saya."
Tama membeku. Matanya menatap surat itu seperti melihat hantu masa lalu yang seharusnya sudah terkubur.
---
Beberapa detik yang terasa seperti abad, barulah ia bersuara. Pelan.
"Aku... menulis itu lima tahun lalu. Tapi tak pernah tahu apakah sampai."
"Jadi... benar itu Ndoro?"
Tama mengangguk perlahan. Wajahnya yang biasanya tenang kini retak. "Aku mencintai ibumu. Tapi waktu itu... keadaan tidak berpihak. Aku diutus ke medan perang, dan setelahnya... aku mendengar dia sudah menikah."
"Dia tidak menikah, Ndoro."
Suara Raras nyaris berbisik.
Tama mengangkat wajahnya.
"Dia meninggal tiga tahun lalu. Dalam sunyi. Tapi sebelum meninggal, dia selalu menyebut satu nama... Tama. Dan dia selalu bilang: kalau kau ingin tahu siapa dirimu, carilah laki-laki berseragam yang membawa aroma kenanga."
Tama menutup matanya. Air mata tipis mengalir di pipinya.
"Jadi... kau anakku?"
Raras tak menjawab. Tapi pandangan matanya cukup berkata, ya.
---
Langit Djogja petang itu tak lagi kelabu.
Ia menyimpan luka, tapi juga pertemuan.
Dan untuk pertama kalinya, Raras merasa tak sendiri di dunia ini.
---