Tak Dianggap

1141 Words
"Tidur kamu di situ!" Bagus menatap tajam istrinya. Lelaki itu meraih bantal di sebelah Rumaisa dengan kasar lalu membantingnya pada kursi dalam ruangan itu. Ia langsung merebahkan diri di sana. Rumaisa tak bisa menolak. Gadis itu lantas menarik selimut dengan perasaan kesal bercampur takut yang tak bisa diungkapkan lagi. Sehari menjadi istri Bagus rasanya seperti satu tahun. Tepat pukul tiga dini hari ia bangun lalu dengan pelan melangkah melewati pria yang masih terpejam itu. Tangannya terulur memutar gagang pintu kamar. "Mau ke mana kamu!" Suara Bagus memecah keheningan. Menimbulkan debaran kencang dalam d**a Rumaisa. Seketika bola mata gadis itu membulat sempurna. Ia berdiri mematung tanpa menoleh ke belakang. Suara langkah kaki Bagus pun terdengar mendekat. Seluruh tubuh gadis itu menjadi gemetaran. Rumaisa ditarik masuk kembali ke dalam kamar dan pintu dikunci oleh Bagus. "Layani aku sekarang!" Tiba-tiba pria itu menyeringai tajam. Matanya melotot seperti ingin keluar dari tempatnya. Cengkeraman tangan Bagus pun terasa menyakitkan. Sementara Rumaisa tak dapat berteriak mau pun berlari menjauh. Seperti ada yang tercekat pada lehernya. Seluruh tubuh tak bisa digerakkan. Lalu, gadis itu didorong ke belakang sampai terjatuh di atas tempat tidur. Satu persatu Bagus melepas kancing bajunya dan tampak tubuhnya yang proposional itu. Membuat Rumaisa langsung merinding dan mundur tanpa melihat ke belakang. "Kenapa dia membuka bajunya?" "Tidak! Aku tidak akan pernah melayani lelaki kasar seperti dia!" "Apalagi tubuhnya yang berlekuk seperti popai si pelaut itu, menodai mataku saja!" Pria itu terus memangkas jarak dan menarik kaki Rumaisa yang berusaha lari. "Ranjang ini adalah milikku. Kau sudah berani masuk dan memakainya. Itu artinya, kau sudah siap melayaniku." Mata Rumaisa semakin mendelik. Apalagi setelah lelaki itu menutup diri mereka dengan selimut. Rumaisa pun langsung berteriak sekencang mungkin. "Aaaaa!" Napas Rumaisa tersengal-sengal. "Tolooongg!" Bersama itu, Rumaisa merasa ada yang memegangi lengannya. "Heeiii! Brisik tau!" "Diam enggak!" "Bangun!" Rumaisa mendengar suara Bagus. Namun, matanya tak dapat melihat apa pun. Lalu sesaat kemudian, cahaya lampu kamar menyala dan membuatnya sadar. Ia menatap sekeliling ruangan itu, juga pada jam dinding yang masih menunjuk pukul sebelas malam. "Ganggu aja sih!" Bagus menggerutu sambil berkacak pinggang di dekat ranjang. "Orang baru mau tidur, jadi enggak bisa." Dengan wajah muram, Bagus akhirnya kembali ke kursi tempatnya tidur tadi. Masih dengan debaran jantung yang tak karuan, Rumaisa memegangi kepalanya. Ternyata hanya sebuah mimpi buruk yang terjadi padanya. Keringat bercucuran meskipun AC kamar menyala dingin. Gadis itu mengatur napasnya kembali lalu ia terbaring kemudian. "Astaga, untung hanya mimpi. Jangan sampai itu terjadi lagi." Malam semakin larut, keduanya tampak terlelap lagi. Menjelang Subuh, Rumaisa bangun dan segera menyalakan lampu. Ia keluar dari kamar itu dengan perasaan lega. Pagi-pagi sekali Gadis itu sudah terlihat rapi dan segar. Ia menyiapkan sarapan pagi di atas meja. Meski sederhana karena di dapur bahan makanan terbatas, ia tetap menyiapkan untuk suaminya. Setelah semuanya siap, gadis itu mencoba melihat Bagus di kamar. Apakah pria itu sudah bangun atau belum. Baru saja sampai di depan pintu, ia mendengar suara Bagus tengah berbicara. Pintu kamar ia dorong sedikit, terlihat pria semalam itu tengah menelpon seseorang. Dari gaya bahasa Bagus yang terdengar lirih, Rumaisa semakin dibuat penasaran. Ia semakin mendekatkan telinganya lagi pada pintu itu. "Aku tidak mau tau, cari dia sekarang! Jangan telpon aku jika kalian belum juga menemukan Meisya!" Suara Bagus terdengar marah. Rumaisa pun tak berani untuk masuk ke dalam. Akhirnya gadis itu memutar badan ingin segera pergi, tetapi pintu tiba-tiba terbuka lebar. Bagus keluar dan terkejut melihat Rumaisa masih ada di depan pintu. "Ngapain kamu di situ?" ketus pria itu. "Enggak, Mas. Cuman mau ke kamar." Gadis berkerudung biru itu tetap menunduk. Ia tak berani menatap pria tampan itu. Meski sering bicara kasar dan marah-marah tanpa sebab, Bagus memang tetap terlihat tampan. Pria itu membuat Rumaisa ingin segera pergi dari hadapannya karena malu. Bagus menatap Rumaisa masuk ke kamar. Dari atas sampai bawah, Bagus hanya menggeleng kepala seraya menahan kebencian yang teramat dalam. *** Rumaisa menatap jam dinding di kamarnya sambil duduk di tepi ranjang. Pakaian kerja Bagus sudah ia siapkan, tinggal menunggu pria itu muncul dari kamar mandi saja. Saat gadis itu baru saja berdiri ingin keluar kamar, ia melihat Bagus keluar dari ruangan lembab itu. Bagus sudah terlihat mengenakan kemeja biru dan celana hitam panjang. Ia tak mau sedikit pun menatap istrinya. "Mas, aku sudah siapkan baju kerjanya," ucap Rumaisa. Lalu mendekat sejengkal ingin meraih handuk yang Bagus lemparkan ke atas kursi. Namun, pria itu tak menanggapi. Pria dengan rambut basah itu mulai menyisir rambutnya dan menebar parfum di sekujur tubuh lalu keluar kamar tanpa mengatakan apa pun. Rumaisa tak patah arang. Gadis itu mengikuti langkah suaminya keluar kamar dan mengejar sampai di depan pintu utama rumah itu. "Mas, aku sudah siapkan bekal dan sarapan. Makanlah dulu!" Kening Bagus mengkerut ketika gadis itu membuatnya geram. "Kamu tau enggak sih? Aku tuh risih sama kamu! Jangan dekati aku terus! Memangnya aku diam begini enggak nahan kesal apa?" "Maaf, Mas. Tapi ...." Belum sempat Rumaisa melanjutkan ucapannya, sebuah mobil hitam masuk ke halaman rumah mereka. Bagus menghela napas panjang. Ia menatap sosok tampan yang keluar dari mobil lalu menghampirinya. "Hei, gimana? Udah ada kabar soal Meisya?" tanya pria itu pada Bagus. Rumaisa menatap pria yang baru datang itu dari bawah sampai atas. Penampilannya seperti orang kantoran, ia menduga pria itu pasti teman suaminya. "Belum. Udah aku suruh orang buat nyari. Aku yakin, dia masih di Jakarta. Semua ini gara-gara media yang membesar-besarkan berita. Padahal kemarin dia baik-baik saja," ketus Bagus sambil berdecak. "Sampai ke ujung dunia pun, aku akan tetap mencarinya." "Bukan hanya itu, dia tau berita kalau kamu menikah itu juga dari kakakmu," terang teman Bagus itu. "Apa? Mas Ammar?" Bagus tercengang. "Loh, ini siapa?" tanya pria tadi sambil menunjuk dengan tatapan pada Rumaisa yang masih berdiri di sana. Lelaki itu beralih bicara karena melihat kecantikan Rumaisa. "Pembantu." Bagus menjawab dengan datar. "Udahlah, sekarang kita ke kantor aja! Pulang dari kantor, aku akan mencarinya sendiri. Dia tidak boleh salah paham." Bagus berjalan beriringan dengan pria yang akrab dengannya itu. Meskipun tidak dipamiti dan dianggap pembantu, Rumaisa tak henti-hentinya menatap mereka dari ambang pintu. Sesekali mengusap wajahnya yang basah karena menyesali takdir. Sesampainya dua pria itu di depan gedung pencakar langit, sebuah perusahaan milik keluarganya, Bagus turun dari mobil bersama temannya tadi. Mereka berjalan menuju lobi. Akan tetapi, tiba-tiba ponsel dalam saku Bagus berdering. "Hallo." "Bos, kami menemukan keberadaannya di Jogja. Dia pulang kampung rupanya." Bagus ternganga mendengarnya. Sekilas ia menatap pria yang juga masih berdiri di dekatnya itu. "Oke. Aku akan ke sana secepatnya. Pantau terus keberadaan dia. Jangan sampai dia tau kalau aku akan ke sana." "Oke, Bos." Panggilan pun ditutup oleh Bagus. Lalu pria itu berkata, "Don, siapkan tiket pesawat ke Jogja! Meisya ada di sana sekarang. Aku tidak bisa membiarkannya begitu terus. Aku harus menjelaskan padanya kalau aku menikah atas dasar keterpaksaan." "Oke, Bro. Gua akan siapin tiketnya," balas Doni. Mereka bergegas masuk ke dalam lift setelah itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD