"Rumaisa, apa kamu bahagia menikah dengan putra saya?" tanya wanita tua yang baru saja datang itu.
"Insyaallah, Ma. Saya bahagia. Meskipun semua dimulai dari awal, saya dan Mas Bagus belum pernah kenal sebelumnya. Kami masih butuh waktu." Demi menjaga nama baik suaminya, gadis itu rela memendam rasa sakit perlakuan Bagus padanya.
"Terima kasih banyak, Mai. Kamu sudah mau menerima anak saya." Wanita tua itu menghela napas panjang. Ia mengingat setiap kejadian yang telah Bagus lakukan. Tatapannya kosong ke depan, menatap kegamangan.
"Apakah ada yang ingin disampaikan, Ma? Mama seperti sedang memikirkan sesuatu." Rumaisa mencoba bertanya dan mengakrabkan diri. Mereka baru bertemu ketiga kalinya.
Di rumah itu, mereka duduk di ruang tamu dengan pembicaraan yang begitu serius. Wanita yang telah melahirkan Bagus itu menimbang kalimat yang akan ia katakan.
"Nak, berjanjilah bahwa kalian akan selalu bersama. Saling memahami dan mengalah jika ada perseteruan. Berjanjilah pada Mama, Rumaisa, bahwa kau akan tetap menjadi menantu kami. Buatlah Bagus mencintaimu. Mama tau, dia ... belum bisa menerima pernikahan ini."
Mendengar ibu mertuanya bicara dengan memohon seperti itu, Rumaisa terlihat lemas. Gadis muda itu ingin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi di antara dia dan Bagus. Akan tetapi, semua itu ia urungkan karena iba.
"Insyaallah, Ma. Mai akan berusaha menjadi istri yang baik."
Mertua Rumaisa itu tersenyum. Lalu perhatiannya teralihkan oleh suara deru mobil yang masuk ke halaman. "Siapa yang datang, Mai?"
"Mai tidak tau, Ma. Mungkinkah itu Mas Bagus?" balas gadis itu.
"Baru jam segini, Mai. Mana mungkin dia pulang." Perempuan tua itu lantas berdiri sambil membenahi pakaiannya.
Benar saja apa yang diduga oleh menantunya, Bagus datang dengan langkah panjang memasuki rumah. Pria itu tampak terkejut melihat mamanya ada di dalam rumah bersama Rumaisa.
"Loh, Mah. Sejak kapan datang?" Bagus mencium kedua pipi mamanya.
"Belum lama. Kamu tumben-tumbennya pulang jam segini? Udah kelar kerjanya?" tanya wanita itu.
Bagus tampak berpikir sambil menghela napas. "Em, Bagus mau ke Jogja, Mah. Ada urusan. Jadi, berangkat jam enam nanti. Sekarang mau beres-beres dulu."
"Wah, kebetulan banget. Kalian memang butuh bulan madu. Bagus, kamu harus ajak Rumaisa. Dia pasti senang sekali. Biar kalian juga makin dekat."
Bagus menyembunyikan rasa kesalnya pada mamanya sendiri. Ia tak mungkin bisa membantah apa yang diucapkan wanita itu. Dalam sebuah perjanjian malam itu, Bagus menandatangani sebuah berkas berisi deretan kalimat berisi beberapa keterangan mengenai warisan. Ia ingat betul saat itu dalam keadaan terdesak.
"Bagus janji, Mah. Asalkan, Bagus di tempatkan di posisi utama. Cuman, jangan paksa Bagus untuk mencintai gadis yang kalian pilihkan. Cinta tidak bisa dipaksakan."
"Oke. Asal kamu tidak membantah setiap kalimat yang Mama ucapkan. Semua keputusan ada di tangan kami. Kamu hanya tinggal menikahi gadis itu saja."
"Sebenarnya kenapa sih, harus gadis desa itu? Dia itu hanya lulusan SMA, Mah. Bahkan jauh sekali dari kriteria gadis yang Bagus sukai."
"Untuk memperbaiki keturunan, Sayang. Dia gadis polos, murni dan yang paling penting, dia itu tulus. Dari keluarga baik-baik. Kami tidak menyuruhmu menikahinya kecuali dengan alasan yang kuat. Jangan menolak lagi!"
Bagus berdecak mengingatnya. Ia harus bersaing dengan kakaknya sendiri. Tak mau mendengar apa pun lagi, pria itu lantas masuk ke dalam kamar lalu menata barang-barang yang akan ia bawa nanti.
"Rumaisa, cepatlah bersiap diri! Suamimu ingin mengajakmu jalan-jalan," ucap wanita tua itu lagi.
"Mah, tapi Mas Bagus sepertinya tidak berniat mengajak saya."
Mertua Rumaisa itu tersenyum sembari menyentuh pundak gadis itu. "Jangan putus asa! Buat dia jatuh hati padamu. Mama tau bagaimana sifat asli anak Mama. Dia sebenarnya baik, penyayang dan juga peduli. Hanya butuh kesabaran yang lebih untuk menaklukkan hatinya."
Tak punya pilihan lagi, akhirnya Rumaisa pun mengikuti apa kata mertuanya. Ia ikut ke mana Bagus pergi. Meskipun kehadirannya tidak dianggap oleh suaminya sendiri.
***
Malam itu, mereka sampai di Jogja. Keduanya langsung masuk ke dalam taksi setelah sampai di bandara. Bagus meminta sopir taksi tersebut mengantarnya ke hotel terdekat. Sejak dari Jakarta, pria itu tetap bungkam tak mau mengajak bicara istrinya.
Setelah 30 menit dari bandara, akhirnya mereka sampai di hotel. Bagus berjalan lebih dulu setelah memesan dua kamar. Satu kuncinya ia berikan pada Rumaisa sambil memasang wajah malasnya.
"Mas, kita beda kamar?" tanya Rumaisa di sela langkah mereka.
"Iya," balas Bagus dengan datar.
Pintu lift terbuka, mereka keluar dari sana diantar oleh seorang karyawan hotel. Pria berseragam merah itu membuka kamar mereka satu persatu, lalu mempersilakan masuk.
Rumaisa terlihat berat saat berpisah kamar dengan Bagus. Ia merasa ada sesuatu yang tengah disembunyikan oleh pria itu. Gadis itu masuk ke dalam kamarnya sendiri. Lalu pergi ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya. Namun sayang, ketika ia memutar kran, air tak dapat keluar.
Rumaisa kembali keluar dan mengetuk pintu kamar Bagus. Sosok tampan yang baru saja membuka ponsel itu akhirnya berdiri lagi dan membuka pintu.
"Hem. Ada apa sih?" ketus Bagus. Di tangannya terlihat ponsel menyala.
"Kran kamarku enggak bisa keluar air, Mas. Bisa bantu enggak?"
"Ada-ada aja." Bagus langsung melengkah ke kamar sebelah dan mengecek kran air.
Memang benar, Rumaisa tak berbohong, kran tak mengeluarkan air. Juga shower di kamar mandi dalam pun tak menyala. Akhirnya, jalan terakhir adalah Bagus melaporkan pada pihak hotel.
Setelah dicek beberapa saat, pihak hotel meminta maaf karena memang saluran air ke kamar tersebut tersumbat. Terpaksa Rumaisa harus pindah kamar malam itu.
"Maaf, Pak. Kebetulan semua kamar sudah penuh," ujar salah seorang karyawan hotel.
"Ya sudah." Bagus menghela napas lelahnya. "Makasih ya, Mas."
Karyawan tadi langsung kembali pergi. Lalu Bagus sendiri beralih pada Rumaisa. Gadis itu masih berdiri di belakangnya.
"Bawa barang-barangmu ke kamar sebelah!"
"Tapi, Mas ...."
"Aku sudah bilang, tidak ada tapi-tapian. Sudah kubilang, aku tidak suka dibantah!"
Rumaisa bergegas menarik kopernya dan membawanya ke kamar Bagus. Gadis itu menatap sekeliling kamar setelah sampai di dalam. Malam sudah larut, lelah dan kantuk sudah menguasai diri, Rumaisa menata bantal di lantai beralaskan bedcover.
Diam-diam Bagus meliriknya. Lalu pria itu berkata, "Tidur aja di kasur!"
"Nanti Mas Bagus gimana?" tanya Rumaisa. Ia masih dalam keadaan miring ke kanan.
"Aku bisa di mana aja. Buruan naik!" tegas Bagus lagi dan Rumaisa pun mengikuti apa kata suaminya.
Saat gadis itu sudah terbaring dengan selimut tebalnya, Bagus masih mondar-mandir sambil menatap ponsel di tangan. Jam dinding yang menunjuk pukul sepuluh malam pun terus berdetak, lelaki itu kini menerima panggilan.
"Hallo."
"Dia ada di kontrakan, Bos."
"Oke. Aku ke sana sekarang."
Tanpa menunggu lagi, Bagus segera meraih jaket hitamnya. Lalu keluar dari kamar itu tanpa memberitahu pada Rumaisa, ke mana ia akan pergi.
Gadis itu bangkit lagi setelah tahu Bagus pergi. Karena sudah berjanji pada mertuanya, ia akan ikut ke mana pun suaminya pergi. Rumaisa bergegas membuka pintu kamar lalu bergegas mengejar Bagus pergi.
Dari ujung lorong, ia melihat Bagus masuk ke dalam lift. Gadis itu mempercepat langkahnya. Namun, ia sudah terlambat. Akhirnya Rumaisa terpaksa mencari lift lain dan setelah itu ia segera menekan tombol lantai dasar.
Bagus keluar dari lift begitu tiba di bawah. Ia langsung melambai pada taksi yang kebetulan masih beroperasi di daerah sana. Bersama itu pula, Rumaisa baru keluar dari lift. Ia melihat Bagus sudah pergi.
"Pak! Ojek, Pak!" teriak Rumaisa pada salah seorang pria yang duduk di atas kendaraannya.
"Oh, oke, Mbak." Pria itu langsung memakai helm dan Rumaisa naik di belakangnya.
"Pak! Kejar mobil taksi itu, Pak!" Gadis itu menunjuk mobil yang tadi membawa suaminya pergi.
"Baik, Mbak."
Sepeda motor yang membawa Rumaisa terus mengejar mobil di depannya, setelah jarak lebih dekat, ternyata mobil membelok ke arah perumahan padat penduduk.
Gadis itu turun tak jauh dari mobil yang Bagus keluar dari dalamnya.