Pisah Selamanya?

1165 Words
"Makasih ya, Pak." Rumaisa mengulurkan sejumlah uang pada tukang ojek tadi. "Oke, Mbak." Pria itu menjawab, lalu segera pergi. Dengan langkah pelan, Rumaisa mengikuti suaminya berjalan masuk ke dalam gang. Bagus tak tahu kalau ia sedang dibututi. Bahkan menoleh ke belakang saja tidak. Pria itu bergegas mencari alamat wanita yang sudah lama ia cari. Sesekali matanya menatap ponsel yang tampak menyala. Bagus membaca ulang alamat yang dikirimkan oleh orang suruhannya tadi. Setelah ia rasa sampai pada sebuah kontrakan kecil dalam gang tersebut, pria itu pun mengetuk pintu yang tampak tertutup rapat. "Assalamualaikum, Mei. Buka, Mei!" "Meisya, ini aku. Bagus." "Meisya." Rasa lelah tak menyurutkan pria itu untuk bisa bertemu dengan kekasihnya. "Buka pintunya, Mei!" Masih belum juga dibuka, Bagus menunggu sesaat hingga hujan pun turun membasahi kota pelajar itu. Sementara Rumaisa berdiri di dekat pos jaga yang tak jauh dari Bagus. "Mei, aku tau kamu kecewa sama aku. Aku minta maaf. Aku menikah hanya karena terpaksa. Aku janji, setelah beberapa bulan, aku akan menceraikan gadis itu. Aku akan lebih memilihmu dan kita akan hidup bersama," kata Bagus lagi. Hancur hati Rumaisa mendengar pernyataan pria berkemeja putih itu. Sebegitu besar cintanya pada wanita itu. Sebenarnya siapa wanita yang sangat dicintai oleh Bagus itu? Dalam hati Rumaisa bertanya-tanya. Tak mudah baginya melupakan setiap perkata yang sudah terjadi. Terikat sebuah pernikahan dan tak mudah untuk melepaskan sebuah amanah besar. Hujan tiba-tiba mengguyur kawasan itu, tubuh Bagus kini sudah basah kuyup. Tampak pria itu menggigil. Namun, ia tetap menahannya. Ia sangat ingin bertemu dengan cinta pertamanya. Mungkin karena terlalu lama terguyur hujan, tiba-tiba sosok gagah itu ambruk dan tak sadarkan diri. Sontak kedua mata Rumaisa melotot melihatnya. Gadis itu segera berlari dan mencoba menolong suaminya. Tak peduli hujan membasahi tubuhnya. "Mas Bagus!" "Mas Bagus, bengun!" Kanan kiri Rumaisa menatap jalan, tetapi tak satu pun ada orang yang lewat malam itu. Hujan pun semakin deras, gadis itu masih mencoba membangunkan suaminya. Untung saja, seorang hansip yang kebetulan lewat melihat mereka. Pria berseragam hijau itu langsung mendekat dengan tangan terus memegang payung. "Loh, kenapa ini, Mbak?" tanya hansip itu. "Pak, tolong, Pak! Suami saya pingsan." Suara Rumaisa nyaris tak terdengar karena tenggelam oleh suara derasnya hujan. "Ya Allah. Ayo saya bantu bawa ke rumah saya," kata hansip itu lagi. "Baik, Pak." Rumaisa membawa payung milik hansip tadi, sementara sang hansip sendiri menggendong tubuh Bagus. Tak berapa lama, mereka sampai karena rumah hansip tadi tak begitu jauh. Sampai di rumah, mereka disambut kepanikan oleh istri hansip tadi. Rumaisa diminta ganti pakaian milik istri pria yang menolong mereka tadi. Begitu juga dengan Bagus, pria hansip tadi menggantikan pakaian Bagus. Saat ini mereka bermalam di sana. Hujan masih terus mengguyur, tak ada percakapan karena pria bernama Parman tadi menyuruh Rumaisa untuk istirahat. Sambil mengompres Bagus yang terasa badannya demam. Di ranjang sederhana itu, Bagus terbaring dengan bibir pucat. Rumaisa ada di sampingnya. Namun, ia tak ikut tidur bersebelahan. Rumaisa duduk dengan kepala berada di pinggir ranjang. Sesekali terbangun hanya untuk mengecek keadaan dan suhu tubuh Bagus juga mengganti kain kompres. Keesokan harinya, Bagus membuka mata. Ia mendengar kicauan burung di luar sana. Berat badannya untuk digerakkan. Saat ia sadar dengan langit-langit kamar di sana, Bagus mengangkat kepalanya. Namun, masih terasa sisa pusing dan kain kompres masih di atas kening. "Mas Bagus tiduran aja!" Rumaisa datang dengan teh manis dan juga bubur ayam. "Aku ada di mana? Mana Meisya?" Bagus langsung menanyakan soal wanita yang ia cari-cari. "Aku harus bertemu dengannya." "Mas!" larang Rumaisa saat Bagus ingin berdiri. "Mas itu masih sakit. Tunggu lah sehat dulu. Baru cari wanita bernama Meisya itu." Bagus terdiam. Ia menyadari tubuhnya juga masih terasa sakit semua. Lalu lelaki itu kembali merebahkan diri. Tiba-tiba tatapannya beralih pada daster dan kerudung yang dikenakan oleh Rumaisa. Tak lama ia juga mengecek pakaian yang ia kenakan. "Loh, baju siapa ini?" "Semalam Mas Bagus pingsan di depan kontrakan orang. Untung saja aku ikutin. Coba kalau enggak. Siapa yang bakal nolongin Mas?" cetus gadis itu. "Jadi ... kamu ngikutin aku dari hotel? Kurang kerjaan banget." "Mas Bagus enggak ada terima kasih terima kasihnya. Sudah ditolong, pakai mencela lagi. Salah terus saya perasaan." Bagus menghela napas panjang. "Alhamdulillah, sudah sadar, Mas?" sapa hansip semalam saat masuk ke kamar. Sebenarnya pria itu masuk karena mendengar pertengkaran dari dalam. "Pak, saya kenapa?" tanya Bagus. Ia lebih nyaman bicara dengan pria tua itu. Rumaisa meletakkan gelas berisi teh dan mangkuk bubur di atas meja. Ia langsung keluar dari kamar dengan dinding cat yang sudah pudar itu. Membiarkan pria tua tadi menjelaskan pada Bagus ala yang sudah terjadi. *** Seharian mereka di sana. Menumpang pada orang baik yang menolong tanpa pamrih. Sore itu, Bagus sudah terlihat lebih baik. Ia sudah bisa bangun dan berjalan keluar kamar. Menatap suasana yang terlihat syahdu, Bagus berjalan ke samping rumah. Pemandangan yang masih tampak hijau dan indah membuatnya tersenyum. Ia juga melihat Rumaisa tampak menarik pakaian kering pada seutas tali. Bagus kenal betul dengan pakaian itu. Itu adalah kemeja dan celananya. Sementara yang ia kenakan adalah kaus oblong dan celana pendek milik Parman. Saat Rumaisa memutar badan, ia melihat Bagus berdiri menatap ke arahnya. Gadis itu tak peduli lagi tampaknya. Ia berjalan melewati Bagus dan segera mengganti pakaiannya dengan yang baru kering di kamar mandi. "Mai, ini bajuku?" tanya Bagus saat Rumaisa sudah kembali. "Iya. Memangnya baju siapa lagi." "Makasih udah dicuciin. Kamu balik aja duluan ke hotel. Aku mau ...." "Mau cari wanita itu?" Nada bicara Rumaisa terdengar lain. "Dia udah enggak ada. Kontrakan semalam itu sudah kosong." "Kata siapa kamu?" "Coba aja cek sendiri. Orang Pak Parman sendiri yang bilang." "Pak Parman? Brati dia kenal sama penghuni kontrakan itu sebelumnya?" "Kenal sih enggak, Mas. Cuman memang ada perempuan yang ngontrak sebelumnya. Tapi sudah pindah lagi. Bersama seorang pria," terang Parman yang tiba-tiba datang dan menyela pembicaraan sepasang pengantin baru itu saat pintu kamar terbuka. "Maaf ya, Pak. Jadi ngerepotin." Bagus meringis karena tak enak hati. Mereka lantas duduk di ruang tamu setelah Bagus ganti dengan pakaiannya sendiri. Rumaisa duduk di dekat istri Parman sambil mengajak bicara. "Enggak apa-apa, Mas. Saya senang bisa menolong. Lain kali jaga kesehatan, soalnya musim hujan juga baru tiba. Rentan pada sakit orang-orang." Setelah mengobrol panjang lebar dan menanyakan soal perempuan yang sempat mengontrak di dekat sana, Bagus dan Rumaisa kembali ke hotel dengan tangan hampa. Sepanjang perjalanan, Bagus termenung memikirkan Meisya. Ke mana lagi ia harus mencarinya. Sampai di hotel hingga masuk ke kamar pun, Bagus terus terfokus pada ponselnya. Ia kembali menghubungi orang suruhannya. "Mas, kapan kita pulang ke Jakarta?" celetuk Rumaisa. Bagus duduk di kursi sebelum menjawabnya. "Sampai aku menemukan Meisya." "Sebenarnya, siapa sih Meisya itu? Sampai Mas sangat ingin bertemu dia." "Dia wanita yang kucintai." "Lantas kenapa Mas mau menikah denganku?" "Aku enggak perlu menjelaskannya padamu. Enggak penting." "Ya udah, aku pulang aja sendiri ke Jakarta. Atau kembali ke Malang." Bagus langsung meletakkan ponselnya di atas meja. Ia beralih menatap Rumaisa yang tampak cemberut duduk di bibir ranjang. "Oke, kalau itu mau kamu. Kita akan pisah selamanya. Tapi, setelah aku menemukan Meisya. Puas kamu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD