Ingin Pulang

1219 Words
Siang itu, selepas mandi, Bagus bersiap diri di depan cermin. Ia menatap pantulan dirinya seraya memasang ikat pinggang. Saat ia hendak pergi, Rumaisa kembali bertanya setelah beberapa saat mereka saling membisu. "Mau ke mana, Mas?" Seketika Bagus menghentikan langkahnya. Tanpa menoleh ia menjawab, "Mau cari Meisya. Tujuanku ke sini hanya untuk mencarinya." "Oh. Kalau begitu, aku izin pulang. Aku di sini seperti orang hilang. Tak ada tujuan dan seperti sendirian." Rumaisa berdiri. Gadis itu berjalan menuju kopernya. Lalu menata sebagian barang-barang yang ada di meja rias untuk ia masukkan ke dalam tasnya. Bagus masih diam. Namun, sesungguhnya ia menahan kesal dan benci. Banyak pertimbangan yang mengganggu pikirannya. "Bersiap-siaplah! Ikut aku!" ucap Bagus dengan ketus. Pria itu duduk di kursi sambil membuka ponselnya lagi. "Mau cari dia ke mana memangnya?" "Sudah! Tidak usah bertanya terus. Udah siap belum? Aku tinggal nanti kalau banyak bicara." Bagus menahan rasa marah yang siap meledak. Rumaisa berdiri untuk mengambil tasnya lalu mereka pun keluar dari kamar setelah itu. Sejak tadi Bagus selalu menatap benda pipih di tangannya. Ia sibuk bertelepon dan mengirim pesan pada orang suruhannya. Mereka duduk di dalam taksi saat ini. Karena bosan tak tentu tujuan, Rumaisa menatap ke samping. Pada jalanan yang tampak ramai. Rintik hujan pun kembali menyapa kota wisata itu. Setelah mobil berhenti, keduanya turun tepat di depan sebuah kafe. Bagus berjalan lebih dulu karena memang ia tak mau bersebelahan dengan Rumaisa. Mereka berteduh di depan kafe tersebut. "Don, gimana?" Bagus kembali menerima panggilan. "Gua ada di dalam, masuk aja!" Panggilan diakhiri. Lalu Bagus mengajak Rumaisa masuk. Mereka langsung melihat Doni duduk dengan kopi panasnya. "Gimana? Katanya dia di sini? Di daerah sini. Mana?" Bagus menatap setiap sudut ruangan itu. Hanya terdapat beberapa orang saja di dalam kafe itu. Sepertinya mahasiswa yang sedang nongkrong. Hari sudah semakin panas, dua pria itu saling membisik. Mereka tampak mendiamkan Rumaisa yang duduk satu meja di sana. "Gua udah kejar dia, Bro. Tapi lolos. Kesel juga dan gua heran. Gesit banget dia menghilang. Kayaknya udah tau dia kalau gua ke sini karena pasti ada elu." Doni menatap Bagus yang termangu memikirkan Meisya. "Dia sama siapa?" "Sendirian. Tapi ... gua rasa enggak mungkin kayaknya dia sendirian. Perasaan gua mengatakan, kalau dia sama seseorang." "Kenapa elu yakin banget?" Bagus tampak heran sambil memijat kening. "Ya, pernah sekali gua mergokin dia sama si Ardi." "Apa?" Sementara dua pria itu terdengar begitu serius bicara, Rumaisa berdecak berniat agar mereka paham akan kehadirannya. "Mas, aku mau ke toilet dulu," ucap Rumaisa lalu berdiri. "Pergilah!" Bagus menjawab dengan singkat. Rumaisa pun bergegas meninggalkan kursinya. Ia berjalan ke arah logo bergambar anak panah. Gadis itu lalu masuk ke dalam. Rumaisa mencuci tangan dan wajahnya karena udara di sana membuat kulit wajahnya kering. Ketika telah selesai dan ia ingin keluar, Rumaisa tak sengaja menabrak seorang wanita berambut panjang dengan dress bunga-bunga. Rumaisa pun langsung berkata, "Maaf ya, Mbak. Saya enggak tau." "Hem." Wanita itu terus menunduk. Sayang, ia mengenakan masker dan topi hitam. Rumaisa tak dapat melihat wajahnya. Wanita itu seperti ketakutan dan akhirnya keluar lagi dari ruangan itu. "Aneh sekali dia," gumam Rumaisa sendiri. Gadis itu bergegas keluar dari sana. Saat ia kembali, Rumaisa sudah tak mendapati dua lelaki tadi di tempatnya. Doni dan Bagus sudah tak ada di kursi mereka lagi. Rumaisa terlihat panik, khawatir ia ditinggal oleh mereka sendirian di kota itu. "Ya Allah, tega sekali Mas Bagus meninggalkan aku sendirian. Benar-benar lelaki kejam. Kalau saja aku tadi memilih pulang, pasti aku sekarang tak akan ada di sini." Rumaisa berdecak lalu ia keluar dari kafe itu. Sampai di pinggir jalan, ia terus melangkah tanpa tujuan. Ia tak tahu lagi harus ke mana. Kanan kiri, ia masih memastikan keberadaan Bagus. Sesekali Rumaisa menyandar salah satu pohon di sana. Awan terlihat mengepul hitam, terdengar pula guntur menggelegar. Di ujung sana, tanpa sengaja Rumaisa melihat dua pria tadi berlari. "Mas Bagus ...." Rumaisa segera mengejar mereka. Bertepatan pula dengan hujan yang turun begitu deras lagi. Ia masih bisa melihat dengan jelas, Bagus mengejar seorang wanita. Rumaisa langsung berhenti. Ia melihat suaminya mencekal tangan seorang wanita. Mereka terlihat berdebat. Doni--teman Bagus-- juga terpaku menjadi saksi. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Doni mundur lalu memutar badannya. Ia langsung melihat Rumaisa menyaksikan mereka semua. Jalanan yang tak begitu ramai itu menjadi saksi bisu, Bagus memeluk seorang wanita yang tadi ada di toilet. Mulut Rumaisa sampai ternganga. Ia ingat betul dengan dress yang dikenakan wanita tadi. Juga dengan topi hitam dan postur tubuh yang sama persis. Doni menghampiri Rumaisa. Lelaki itu tahu bagaimana perasaan istri sah temannya itu. "Rum, maafkan Bagus. Biarkan mereka bicara dulu. Berilah mereka kesempatan. Kau yang menjadi pemenangnya, karena kau yang Bagus nikahi." "Enggak, Mas. Biarkan mereka bersatu dan aku akan pergi." Dalam keadaan basah kuyup, Rumaisa memutar badannya lalu berjalan menjauh. Ia tak menghiraukan ucapan Doni lagi. Gadis itu kini berlari sekencang mungkin lalu bertemu dengan tukang ojek di pangkalan dan meminta salah seorang di sana untuk mengantarnya kembali ke hotel. *** Dinginnya udara sore itu membuat Rumaisa menggosok lengannya sambil menatap ke luar jendela kaca. Bagus belum pulang juga, sudah lewat pukul lima sore. Hanya Rumaisa seorang di kamar itu. Ia sudah menyiapkan kopernya untuk pulang. Ketika tekad sudah bulat untuk pulang, tiba-tiba ponsel berdering. Rumaisa meraih ponselnya di atas meja lalu melihat siapa yang menelpon. Kontak nama sang mertua rupanya. Namun, Rumaisa enggan untuk mengangkatnya. Akhirnya, ia membiarkan ponselnya terus menyala. Tak kurang dari 60 panggilan, akhirnya gadis itu mendekati meja lagi. Tak tahan dengan suara dering ponsel dan rasa bersalah merajai, akhirnya gadis itu mengangkatnya juga. "Iya, Mah." "Sayang, kamu baik-baik saja?" "Enggak, Mah. Mai pengen pulang ke Malang aja." "Loh, kenapa? Cerita sama Mama. Perasaan Mama dari tadi tidak enak." "Mas Bagus menemui wanita lain. Dia cinta pertamanya katanya." "Mama sudah menduganya, Sayang. Kamu tenang saja. Mama tidak akan membiarkan anak Mama terjerumus ke dalam lembah dosa besar. Mama akan bicara sama Bagus nanti. Kamu yang sabar, ya." "Iya, Mah. Mai butuh menenangkan pikiran dulu sebenarnya." "Tidak perlu khawatir, kamu boleh pulang duluan, Sayang." "Terima kasih, Mah." Rumaisa segera mematikan ponselnya. Ia segera memasukkan benda pipih tadi ke dalam tas lalu menggeret kopernya keluar kamar hotel. Namun, di depan pintu terlihat Bagus berdiri di sana. Pria tampan itu menatapnya tajam. Rumaisa pun langsung mendelik kaget. Gadis itu tak bisa berkata apa-apa lagi. "Mau ke mana kamu?" tanya Bagus. Pria gagah itu sudah terlihat berbeda. Sudah ganti dengan pakaian kering. "Mau pulang." Rumaisa tetap menunduk. "Siapa yang mengizinkan kamu pulang?" ketus Bagus. Ia mendorong tubuh Rumaisa ke dalam lagi sampai gadis itu memekik. "Bukannya Mas sendiri yang bilang kalau sudah bertemu dengan wanita itu, Mas bakal melepaskanku?" "Tidak semudah itu. Kau yang mengadu pada mama kalau aku menemui Meisya?" Bagus memojokkan gadis itu hingga terjatuh di atas bibir ranjang. "Mama baru saja meneleponku, lantas kenapa secepat ini Mas Bagus tau?" Bagus menghela napas panjang. "Hei! Aku lagi bicara sama kamu. Dengar enggak?" "Terserah Mas aja lah. Yang jelas saya mau pulang aja. Enggak mau lagi di sini." "Aku hanya menemui Meisya sebentar. Dia sendiri yang menginginkan pergi dariku. Tapi, aku akan tetap menemuinya lagi. Karena aku sangat mencintainya. Ingat Rumaisa, aku sangat mencintainya. Dan hanya dia satu-satunya wanita yang akan aku cintai." "Saya enggak peduli. Mas lepaskan saya sekarang!" "Rencanaku belum kelar." Rumaisa semakin kesal dengan ucapan pria itu. Rencana apa lagi yang akan Bagus lancarkan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD