Semua Kulakukan Demi Ibunya

1337 Words
Keesokan harinya, mereka sampai lagi di Jakarta. Rumaisa dan Bagus turun dari mobil jemputan. Mereka sampai di rumah lagi tepatnya pukul delapan pagi. Rumaisa berjalan lebih dulu karena Bagus masih saja sibuk dengan ponselnya. Gadis itu sudah menduga kalau Bagus sedang membalas pesan dari wanita yang saat itu ia lihat. Ketika pintu rumah dibuka, Rumaisa melihat kedua orang tua Bagus duduk di depan televisi. Mereka menoleh ketika mendengar suara langkah kaki dari arah pintu utama. "Hai, Sayang. Apa kabar?" Wanita tua itu mendekat sembari membentangkan tangan, menyambut kedatangan menantu dan putranya. "Mah." Rumaisa menerima pelukan dari wanita tua itu. "Mana Bagus?" "Sibuk sama hp, Mah." Rumaisa tersenyum sumbang. Ia malas menoleh ke belakang. Gadis itu langsung menyalami Tama dan bergegas membawa kopernya sendiri ke kamar. Setelah masuk, langsung Rumaisa ganti pakaian dan keluar lagi. Ia pergi ke dapur mencari air minum. Sejauh perjalanan tadi, tenggorokannya kering. Namun, saat duduk di sebelah Bagus dalam pesawat, mendadak ia lupa segalanya. Rumaisa duduk menyandar dinding. Saat ia menoleh ke samping, tiba-tiba ada seorang pria menatapnya sambil tersenyum. "Astaghfirullah," pekik gadis itu seraya memegangi dadanya yang berdebar kencang. "Hai," ucap lelaki berkemeja biru itu. "maaf ya, udah ngagetin. Lagian kamu ngapain di sini?" "Mas Ammar kenapa ada di ... si--sini?" Gemetar tangan Rumaisa memegangi gelas. "Aku ke sini jengukin kalian. Kirain udah sampai dari tadi. Ternyata baru aja." Pria itu menekan kedua sikunya pada meja demi bisa menatap istri adiknya. "Mas Ammar udah lama?" tanya Rumaisa lagi. "Baguusss! Berduaan aja terus. Sampai lupa diri." Bagus lewat dengan sorot mata kebencian. Lalu beralih pada kedua orang tuanya yang belum sempat ia sapa. Ammar dan Rumaisa langsung diam dan tampak kaku. Lelaki bercambang tipis itu menoleh lagi pada Rumaisa. "Rumaisa, aku ke sana dulu, ya." "Iya, Mas." Rumaisa membalas senyum tipis Ammar. Namun, hatinya mendadak tak enak dengan sentilan halus Bagus. Di ruang keluarga itu, Ammar datang lalu duduk di kursi yang sama dengan papanya. Pria santai itu membalas tatapan sengit sang adik yang tengah bercerita. "Jadi, kamu ke sana bukan buat urusan kerja kan?" Wanita paling dihormati di rumah itu berucap. "Pasti Rumaisa yang sudah bikin cerita. Dia memang mulut ember," cecar Bagus. "Mama tidak suka kamu bicara buruk tentang dia. Dia itu dari keluarga terhormat. Keluarga yang menjaga baik keturunan." "Dia itu cuman anak petani. Kebetulan aja temenan sama Mama dan Papa." Bagus membalas. "Tutup mulut kamu, Bagus! Sekali kamu hina dia lagi, semua beralih pada Ammar." Bagus langsung bungkam. Ia tak mau membalas ucapan mamanya. "Andai aku tidak punya bisnis di Singapore, aku sudah ambil alih posisi itu," tambah Ammar. Semakin membuat Bagus panas. "Sudahlah, Ma. Kita lihat saja nanti, sejauh mana Bagus bertahan dengan wanita itu." Tama ikut bicara. Ia sudah lelah rasanya menasihati putra bungsunya. "Terserah Papa sama Mama saja lah. Yang jelas, Bagus sudah menikahi Rumaisa. Dan masalah hati, jangan memaksa Bagus buat memperlakukan dia seperti istri." Pria tampan itu berdiri lalu pergi masuk ke dalam kamarnya. Bagus segera mengunci kamarnya. Melihat sikap Bagus pada mereka, Rumaisa tak berani bicara panjang. Ia hanya memerhatikan dari arah dapur. Percuma saja ia mengejar atau menasihati Bagus. Pria itu sangat keras kepala. "Mah, Pah, kita pulang aja. Pamit sama Rumaisa, sepertinya dia ada di dapur," kata Ammar. Anak paling penurut dengan orang tuanya. Dua orang sepuh itu mengangguk. Lalu mereka berdiri dan pamitan pada Rumaisa. Tama berpesan, "Mai, tolong Bagus. Bawa dia ke jalan yang benar. Kami percaya padamu, dia akan berubah di tanganmu." "Insyaallah, Pah. Tapi ... Mai tidak bisa menjamin." Rumaisa mengantar sampai ke depan itu. "Enggak apa-apa, Mai. Kalau dia enggak berubah, aku siap kok, buat berubah." Ammar tertawa. Kedua orang tua pria itu menggeleng kepala. Tama langsung menepuk lengan kekar Ammar dan mengingatkan bahwa Rumaisa adalah istri adiknya. Setelah mereka pergi, Rumaisa kembali ke dalam. *** Di dalam kamar, Bagus mengetik di atas papan ketiknya. Ia mengerjakan pekerjaan kantor dan mengatur sistem kerja di perusahaannya. Tiba ketika Rumaisa mengetuk pintu, pria itu mengangkat kepalanya. Bagus tak menjawab. Namun, Rumaisa tetap masuk karena semua barang-barangnya ada di sana. Gadis itu berjalan menuju ranjang dengan hati bimbang. Khawatir Bagus marah lagi dengannya. "Mas Bagus belum makan dari tadi. Mau diambilkan?" Akhirnya, kalimat itu lolos juga dari mulut Rumaisa. "Enggak usah." "Mas Bagus enggak lapar?" tanya Rumaisa lagi. "Enggak." Bagus tetap fokus pada papan ketiknya. Selang beberapa menit, mereka berdua mendengar suara perut Bagus. Lelaki itu berusaha tak menghiraukan karena terlanjur gengsi. "Tapi perutnya bunyi. Pasti lapar." "Ck, enggak usah pedulikan aku. Enggak ada lagi yang mau mengerti aku. Kamu sama saja dengan mereka." "Siapa bilang, Mas? Saya peduli, kok." Rumaisa berdiri lalu keluar dari kamar lagi. Tak butuh waktu lama, ia kembali dengan sepiring makan malam dan segelas air putih. Rumaisa meletakkan makanan itu di meja dekat Bagus mengerjakan tugasnya. Lalu gadis itu kembali ke atas tempat tidur. Saat Bagus sudah memastikan bahwa Rumaisa sudah tidur, dengan ragu-ragu ia meraih piring dan segera menyantap makanan itu. Tak perlu banyak waktu, makan malam di atas piring habis dalam waktu singkat. Setelah itu, satu gelas air putih pun tinggal setengah. Rumaisa membuka matanya sedikit. Lalu tersenyum saat mengintip Bagus menghabiskan makanan itu. Karena perutnya kenyang, Bagus menyandar kursinya sambil mengetik pesan. Tiba-tiba kantuk pun datang menyerang. Malam itu, ia tertidur di sana. Melihat lampu masih menyala dan Bagus terlelap dengan dengkuran halus, gadis itu bangkit. Ia meraih selimut tebal dan menyelimuti Bagus dengannya. Rumaisa meraih ponsel di tangan Bagus yang hampir terjatuh. Lalu meletakkan di atas meja, tak berniat mengorek apa pun yang ada di dalamnya. "Sebenarnya dia manis, tapi dia sangat membenciku." Gadis berkerudung coklat itu menghela napas panjang. Rumaisa kembali ke atas tempat tidur dan menyelami malam setelah ia mendoakan Bagus supaya lelaki itu tidak lagi bersikap kasar padanya. Keesokan harinya, Bagus membuka mata. Ia membentangkan tangan dan melihat selimut masih menutupi tubuhnya. Lelaki itu terdiam menatap benda tebal itu. "Siapa yang menyelimutiku?" Bagus tak mau memikirkannya. Ia langsung bangun dan bergegas mandi. Kamar sudah tampak rapi dan bersih ketika ia kembali dengan badan setengah terbuka. Tubuhnya masih basah, hanya memakai handuk melilit pinggang. Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Rumaisa mendelik melihat pemandangan yang membuat jantungnya berdebar kencang. "Masuk aja!" kata Bagus menyadari Rumaisa datang. "Mas Bagus pakai baju dulu. Jangan begitu, auratnya itu loh," balas Rumaisa. Ia masih menatap ke belakang. "Suka-suka aku lah." "Mas, di luar ada tamu. Perempuan. Dia nyariin Mas Bagus." Rumaisa tetap tak mau masuk. "Siapa? Kamu enggak tanya namanya siapa?" Bagus bergegas memakai bajunya yang sudah Rumaisa siapkan. "Pacarnya Mas Bagus." Seketika lelaki tampan itu terkejut. Bagus mempercepat gerakan tangan. Lalu menyisir rambut sekenanya. Ia pun keluar kamar sampai tubuhnya menyerempet bahu Rumaisa. "Minggir!" "Astaghfirullah. Apa dia tidak bisa pelan-pelan?" gumam Rumaisa sendiri. Diam-diam gadis itu masuk ke dalam kamar sambil mengusap wajahnya. Ia masih berharap Bagus mau menerimanya. Namun, rasanya berat karena Bagus hanya mencintai wanita di lantai bawah itu. "Mas, aku tidak bisa lama-lama di Jakarta." Suara mendayu itu keluar dari lisan manis Meisya. "Kenapa, Sayang? Apakah kamu kesusahan membayar tagihan keperluanmu? Aku akan selesaikan sekarang juga." Bagus menggenggam erat tangan wanita itu. Sementara Rumaisa yang mengintip dari lantai atas pun hanya bisa mengelus d**a. Tega sekali Bagus. "Enggak, Mas. Aku ...." "Kamu butuh kerja? Sudah kubilang, jangan kerja. Biar aku yang memenuhi semua kebutuhan kamu. Kamu hanya butuh istirahat. Wajahmu pucat sekali, Mei." Bagus sibuk mengambilkan air minum untuk wanita itu. Sudah seperti istrinya sendiri saja. "Hubungan kita tidak direstui, Mas. Aku tidak bisa sama kamu terus." "Sayang, apa pun akan aku lakukan demi bisa menikah denganmu. Kamu jangan khawatir. Aku hanya butuh beberapa bulan untuk persiapan menceriakan Rumaisa." Rumaisa menutup mulutnya saat mendengar pernyataan Bagus. Air matanya kembali merembes di wajahnya. "Aku mau tanya satu hal sama kamu, Mei. Kenapa kemarin kamu pergi begitu saja? Pertanyaanku belum kamu jawab." "Pertanyaan apa, Mas?" Wanita dengan dress pendek itu mengubah posisi duduknya. "Kenapa kamu sama Ardi perginya? Ada yang melihat kalau kamu sama Ardi pergi ke Jogja. Terus, pagi ini kamu berangkat dari sana sama siapa? Kalau tau kamu juga ke Jakarta lagi, aku bakal duduk di sampingmu saat itu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD