Part 5. Sila ketahuan

1544 Words
Siapa yang akan mengira sosok culun semacam Hesa bisa menjadi idola baru di sekolahan kami. Cowok itu bahkan tidak mendapatkan perhatian dari cewek-cewek populer sebelumnya. Dengan penampilan yang selalu mengenakan kaca mata tebal, rambut mengkilat yang tersisir rapi ke belakang, ujung baju yang selalu masuk ke dalam celana seragamnya, siapa memangnya yang akan menatap cowok itu dua kali. Yang ada dalam sekali tatap, cewek-cewek akan membuang tatapan mata mereka ke arah lain. Namun, karena perubahan penampilan cowok itu ketika berada di tengah lapangan basket, ditambah keahlian yang selama ini tidak terlihat, mengubah seorang cowok culun menjadi idoa baru para cewek. Bukan hanya cewek kutu buku dengan kaca mata sama tebal seperti yang selalu Hesa kenakan, tapi juga para cewek populer anggota cheer leader yang mencoba mendekati Hesa. *** Mia bukan satu-satunya cewek di sekolahku yang mengidolakan Hesa, setelah perlombaan basket waktu itu. Sekarang, aku bahkan mulai kuwalahan menerima titipan hadiah, atau salam dari para penggemar Hesa. Kotak titipin dari Mia yang semalaman ku coba terawang karena penasaran dengan isinya, sudah kuberikan pada pemiliknya. Yang lucu adalah, reaksi si culun saat aku memberikan kotak berbungkus rapi itu. Dia menatapku tak percaya. Matanya melihat ke arah kotak kecil yang kuulurkan ke depannya, lalu menatapku bertanya. “ Ini buat kamu. Terima !!” kataku tak sabar, karena dia masih enggan menerimanya, dan tanganku sudah pegal mengangsurkannya. Jangan salahkan jika semakin hari aku semakin kesal padanya. Bagaimana tidak ? cowok nyebelin itu masih tidak menerima uluran tanganku, dan kini malah beranjak dari tempat duduknya. Segera kucekal lengannya. Aku mengerjap .… merasakan otot lengannya yang ternyata kencang. Segera kulepas cekalanku, lalu dengan paksa menaruh kotak dari Mia di telapak tangannya. “ Dari cewek, namanya Mia .… bukan dariku. Jangan GeEr.” kataku, sebelum kutinggalkan si culun yang terdiam. Lalu sekarang, di tanganku sudah ada lagi tiga kotak yang entah isinya apa, dan dari siapa .… aku lupa nama-nama pemberinya. Semoga saja mereka menulis nama mereka di dalam kotak hadiah mereka, supaya aku tidak merasa terlalu bersalah jika Hesa tidak mengetahui siapa saja nama penggemarnya. Aku dan Mila baru saja dari kantin. Tangan kananku bahkan masih memegang satu plastik es teh, saat para cewek entah kelas berapa itu menghampiriku, lalu menitipkan hadiah-hadiah ini. Kugelengkan kepala. Rasanya sulit mempercayai jika si culun musuhku, sekarang memiliki banyak penggemar. “ Wah …. si culun sekarang jadi idola baru ya, Sil ? Kalah si Arda.“ komentar Mila setelah menyedot es teh di tangan nya. Kami berdua berjalan beriringan menuju ke kelas kami kembali. Aku berdecak kesal “ Ngapain juga mereka pada nitipin ke aku coba. Kenapa nggak kasih langsung ke orangnya ?“ Harusnya mereka bisa memberikan hadiah mereka langsung pada Hesa. Dengan begitu, mereka bisa sekalian berkenalan. Bukankah itu lebih menguntungkan buat mereka? sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Siapa tahu juga mereka bisa sekalian mendapatkan nomor ponsel cowok culun itu. Iya, kan? Mereka benar-benar tidak tahu bagaimana konsep bekerja secara efisien.  “ Ya ….  mungkin mereka masih malu. Namanya juga baru mau PDKT. Lagian, mereka pasti tahu kalau Hesa itu mentor kamu. Kamu sudah seterkenal itu tahu.“ Mila tertawa kecil. Kusikut saja perutnya. Mila bergerak mengindar. Terkenal yang di maksud Mila adalah, terkenal tidak bisa memiliki nilai lebih dari 3 untuk mata pelajaran matematika, dan fisika. Entah siapa yang harus kusalahkan hingga nyaris semua siswa, dari kelas satu sampai kelas tiga mengetahui aibku itu. Seharusnya mereka menutupi aib sesama siswa, tapi kenyataannya, aib itu justru tersebar ke mana-mana. membuatku tak punya muka. Tapi jangan pernah berpikir bahwa aku akan berkecil hati karena masalah itu. Tidak akan pernah. Mama selalu mengajariku untuk bangga pada diriku sendiri, serta mensyukuri apa yang sudah Tuhan berikan padaku. Bukan hanya kelebihan yang kumiliki, karena siapa pun akan dengan senang hati mensyukuri kelebihan yang dimiliki. Akan tetapi, juga kekurangan kita. Tapi ingat, jangan kemudian hanya berpasrah diri. Harus tetap berjuang untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada pada diri kita. Sesampainya di dalam kelas, aku tidak mendapati si culun di tempat duduknya. Entah … mungkin masih di kantin. Kutaruh semua kotak titipan di atas meja cowok itu, lalu kucari kertas dan pena di laci meja Hesa. Bukannya buku, atau pena yang kudapati di laci mejanya, tapi justru sebuah ipad. Aku berpindah ke laci Harun yang duduk di sebelah Hesa. Mengambil kertas, dan pena untuk memulis memo ‘ titipan dari para penggemarmu’. Setelah itu, kuselipkan kertas tersebut di bawah salah satu kotak supaya tidak terjatuh jika terkena angin. Entah angin yang berasal dari luar kelas yang nyasar masuk ke dalam, atau pun angin dari kipas angin tua yang tergantung di langit-langit kelas kami. Yang entah sudah sejak tahun kapan terpasang, dan belum diganti. Bahkan ada yang sudah tidak lengkap karena salah satu baling-balingnya patah. Heran juga sebenarnya, kenapa baling-baling itu bisa patah, padahal posisinya ada di atas, yang tidak bisa terjangkau tangan-tangan jahil para siswa. Siang harinya, setelah pelajaran selesai, Hesa menghampiriku yang sedang memasukkan buku ke dalam tas. Pria itu berdiri di samping mejaku. Aku hanya meliriknya dari ujung atas mataku. Terlalu enggan untuk menggerakkan kepalaku hanya untuk melihat wajah datar, dan rambut klimis cowok itu. “ Aku tunggu di tempat biasa.“ kata Hesa sebelum berbalik, dan berjalan begitu saja keluar ruang kelas. Aku menatap punggung yang semakin menjauh itu dengan kesal. Kenapa dia tidak membiarkanku satu hari saja bernafas lega tanpa rumus-rumus matematika, atau pun fisika. Aku memasukkan buku ke dalam tas dengan kasar, sebagai pengalihan kekesalanku pada cowok menyebalkan itu. Pengganggu ketenangan hidupku. “ Kalau diperhatikan lama-lama, Hesa itu keren juga ya, sil ?” Aku langsung menoleh, dan menatap tak percaya siapa yang baru saja bicara. Mila melipat kedua tangannya di atas meja, dan menjadikan kaitan jari-jarinya sebagai penumpu dagunya. Matanya berbinar dengan senyum malu-malu menatap ke arah pintu keluar kelas kami. Kutoyor kepalanya biar ia kembali waras. Akhir-akhir ini sepertinya kewarasan sahabatku itu sedang ia gadaikan. Bisa-bisanya dia terpesona pada cowok semenyebalkan Hesa. Mataku mengerjap, ketika otak sialanku mengingatkan bahwa aku pun pernah terpesona pada cowok itu. “ Apaan sih Sil … ganggu orang lagi fokus aja !” sungut Mila, dengan mata melotot ke arahku. “ Biar kamu nggak tambah gila Mil … “ aku menunjuk ke arah pintu keluar. “ Yang barusan keluar itu tadi tuh … yang kamu bilang keren itu tuh … si-cu-lun. Kalau saja kamu lupa,“ ingatku pada Mila. Bibir Mila sudah maju dua centi sekarang. “ Tapi beneran Sil … kalau diperhatiin lama-lama, dia memang keren kok.“ Mata Mila terlihat menerawang “ Dia itu … cool. Apalagi kalau di lapangan basket … “ Mila tertawa kecil. Aku segera berdiri. Lebih baik kutinggalkan Mila dengan imajinasinya yang enggak banget itu, dari pada aku ikut-ikutan jadi gila. “ Eh …. Sil …. kok pergi sih. Mau ke mana ?” tanya Mila. Aku menoleh sebentar, menatap cewek penghuni bangku sebelahku. “ Mau denger pidato tentang listrik statis, gelombang bunyi, atau medan magnetik …. mau ikut ?" Mila langsung  meringis, dan menggelengkan kepala nya. “ Yang pidato keren lho …. beneran nggak mau ikut ?” aku tersenyum miring ke arah Mila, hingga sahabatku itu cemberut. Kepala gadis itu terus menggeleng. Kukedikkan bahu, kembali memutar kepala ke depan, lalu segera melanjutkan langkahku. Kemana lagi kalau bukan ke bawah pohon beringin di depan lapangan basket, tempat favorit si culun.  Tiba di sana, yang kulihat hanya tas yang teronggok, dengan baju seragam serta kaca mata di atasnya. Aku mendesah, lalu mengalihkan pandangan ke lapangan. Benar saja … cowok itu sudah ada di sana. Sedang men drible bola dengan lincahnya, kemudian melompat tinggi. Aku duduk dengan melipat kedua kaki ku. Kutangkupkan tanganku melingkari kaki, dan meletakkan daguku di atas kedua lutut. Memperhatikan Hesa yang sedang berlari kesana-kemari. Sekitar sepuluh menit, akhirnya kepala itu menoleh ke arahku. Kulambaikan tangan sambil tersenyum. Saat sadar, aku segera menurunkan tanganku. Seperti orang gila, kuketuk kepalaku sendiri. Kenapa aku harus melambai, dan tersenyum pada dia ? sepertinya virus gila Mila sudah menular padaku tanpa kusadari. Buru-buru kuluruskan kaki ku, lalu meraih tasku. Mengeluarkan buku dari dalam tas, ketika kulihat Hesa mulai melangkah meninggalkan lapangan. “ Sudah lama ? “ tanya Hesa begitu sampai di dekat ku. Ia duduk men sejajari ku. Wajahnya berkilat karena keringat. Sebagian rambutnya menempel di kulit wajahnya. Aku sempat mengerjap beberapa kali, ketika suara Mila terngiang di telingaku ‘ kalau diperhatikan lama-lama, Hesa itu keren ‘ aku menggelengkan kepalaku, mengusir suara Mila yang membuat kepalaku terasa bising. “ Kamu kenapa ? pusing ? “ suara Hesa membuatku terlonjak. Aku menggelang dengan cepat. “ Enggak kok “ Hesa memperhatikan ku sesaat, sebelum akhirnya mengambil buku, dan memulai ceramahnya. Aku tanpa sadar memperhatikan bibir yang lumayan tebal itu bergerak-gerak. Dia tidak merokok, karena warna bibirnya merah alami. Entah berapa lama aku memperhatikan bibir itu bergerak, saat tiba-tiba benda itu tak lagi bergerak. Kugulirkan bola mataku ke atas untuk melihat matanya. Matanya terarah lurus--menghunusku. Dengan kikuk kutegakkan tubuhku. “ Sudah paham ? “ “ Hah ?! “ Aku gelagapan. Apa tadi yang dia bicarakan, ya ?. Aku meminta otakku berpikir lebih keras. Ayo Sila … mikir Sila … Aku yakin sekarang keningku sudah berkerut-kerut, seperti jeruk yang sudah satu minggu di dalam kulkas. Tapi tetap saja, aku tidak tahu apa yang sudah cowok itu bicarakan. Aku mendesah, bahuku melorot. Kutatap wajahnya penuh permintaan maaf. “ Apa … bibirku lebih menarik buat kamu ? “
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD