Part 4. Idola baru

1528 Words
Mata hazel itu … tentu saja aku mengenalnya. Tidak ada kaca mata tebal, tidak ada rambut klimis. Yang ada headband berwarna hitam, yang ia kenakan untuk menahan rambutnya yang lumayan gondrong--ketika pomade sudah tidak lagi menjalankan fungsinya dengan baik, agar tidak menghalangi pandangan matanya. Di sampingku, Mila masih menggoyang-goyangkan lenganku, sedang mataku masih tidak bisa beralih dari sosok itu. Sosok yang membuat banyak orang terpana saat ini. “ Sil … siapa sih. Sumpah beneran cakep.“ Mendengar rengekan Mila, aku menoleh ke samping, hanya untuk mendapati Mila yang sudah tersipu malu dengan kedua pipi memerah. Aku mencebik ke arah sahabatku tersebut. “ Dia melihat ke sini, Sila. Ughh ... jadi pengen peluk. Gimana dong ini. Dosa nggak, sih?“ kupelototi Mila yang tiba-tib saja seperti cewek yang baru pertama kali jatuh cinta. Padahal dia sudah punya pacar. “ Heh Mil .… kamu sudah lupa, sama si Arif anak sekolah sebelah ?“ tanyaku yang membuat bibir Mila langsung memberengut, begitu aku mengingatkan cewek itu akan keberadaan cowok yang berstatus sebagai pacarnya.  “ Aduh Sila .… kenapa sih, kamu ingetin aku nya sekarang. Entar aja, habis tanding. Biar aku dukung dengan totalitas tuh cowok,” jawabnya sambil melotot tak terima ke arahku. Aku hanya menanggapi kekesalan sahabatku itu dengan gelengan kepala.  Suara peluit terdengar, kami langsung memusatkan perhatian ke tengah lapangan. Aku sudah pernah melihat Hesa bermain basket, jadi aku tidak heran jika baru menit pertama dia sudah memasukkan tembakan tiga angka dengan mulus. Suara sorak sorai pendukung III IPA menggema, disusul suara kecewa pendukung kelas II B. “ Yuhhh baru juga mulai.“ Suara bernada kecewa, dari siswi yang duduk tak jauh dari tempatku tertangkap gendang telingaku. Mila dan team nya, sudah bergoyang heboh merayakan lemparan tiga poin Hesa. Sekarang, team kelas lawan gantian menguasai bola ... namun, lagi-lagi Hesa menjadi pahlawan team kelas kami. Dengan mudah, cowok itu mengambil bola dari team lawan, dan melemparnya pada Arda, sang kapten team. Suara sorak sorai kembali terdengar dari pendukung kelas kami. Aku meneguk ludahku sendiri, saat melihat Hesa kembali menerima operan, dan dengan mudah memasukkan nya ke dalam ring lawan. Desah kecewa pendukung kelas II kembali terdengar. Aku merasa, pertandingan ini tidak seimbang. Kemampuan team kami, dengan Hesa dan Arda di dalamnya, jauh di atas kemampuan anak-anak kelas II B.  Dua puluh menit babak pertama, di menangkan team kami dengan telak. Semua anggota team berjalan ke pinggir lapangan untuk beristirahat sejenak. Aku bisa melihat Mila, yang sudah berlari ke arah di mana team kami berkumpul. Ia, dan beberapa teman cewek anggota cheer leader, memberikan handuk kecil untuk mengelap keringat, dan juga air minum kepada para pemain. Benar-benar sudah seperti team profesional saja mereka--diperlakukan oleh cheer leader kami. Terlihat Arda sebagai kapten team memberi arahan pada anggota team nya. *** Tak lama, babak ke dua dimulai. Seperti halnya babak pertama, di babak ke dua, team kami juga langsung unggul. Lagi-lagi kerjasama Hesa, dan Arda membuahkan hasil. Beberapa kali Hesa terlihat melakukan intersept ( Gerakan memotong bola ), hingga membuat lawan kehilangan bola, lalu melakukan jumping pass ( melempar bola sambal melompat ) kepada anggota team nya. Aku hanya bisa bertepuk tangan, tiap kali team kami berhasil memasukkan bola, atau mengambil bola dari team lawan. Lumayan menyenangkan juga ternyata melihat pertandingan dengan keunggulan team yang kita dukung.  Dua puluh menit babak ke dua membuat team kami unggul lebih telak. Peluit panjang ditiup, menandakan bahwa pertanding telah berakhir. Arda mengumpulkan anggota team nya di pinggir lapangan, lalu mereka terlihat melakukan tos bersama. Aku beranjak berdiri. Pertandingan sudah selesai, dan tugasku mendukung team kelas kamu juga sudah selesai. *** Pagi ini, kelas kami terasa sunyi. Aku mengedarkan pandanganku. Semua terlihat sedang sibuk belajar. Mila yang biasanya berisik juga tampak tenang, mulutnya komat-kamit menghafal rumus. Pagi ini memang akan ada ujian matematika. Kemarin, aku sudah dihajar habis-habisan oleh si culun Hesa, dengan mengerjakan empat puluh soal Matematika. Bayangkan ... empat puluh soal, dan aku hanya berhasil mengerjakan dengan benar setengah soalnya. Artinya hanya dua puluh soal yang kujawab dengan benar. Memang belum bisa dikatakan bagus, tapi coba bayangkan jika itu ujiannya, bukankah aku sudah bisa mendapatkan nilai lima puluh? Itu berarti aku sudah bisa berbangga hati kan ? karena sudah berhasil mematahkan rekorku sendiri. Tanpa sadar, mataku sudah terarah ke satu titik--memperhatikan punggung si culun, … jangan kaget, Hesa hanya akan jadi si keren saat berada di lapangan basket. Setelahnya, ia akan kembali menjadi si culun yang mengesalkan, sekaligus membosankan dengan kaca mata tebal yang menyembunyikan manik matanya yang berwarna hazel. Mata yang begitu indah. Oh .… jangan lupakan kejadian minggu lalu, saat pertandingan basket kelas III IPA VS II B selesai. Saat aku sudah kembali ke kelas lebih dulu, dengan terengah-engah, Mila mendatangiku. Mukanya benar-benar cengo saat memberiku informasi yang menurutnya sangat penting, padahal aku sudah mengetahuinya terlebih dahulu. “ Nomor punggung 9 yang cakep itu, ternyata Mahesa si culun …. bener nggak sih, Sil ? Pasti bohong kan, ya ? Atau jangan-jangan itu kembarannya si culun …. nggak mungkin kan itu si culun. Gimana dong … masa aku suka sama musuhmu, Sil.“ ocehan panjang Mila begitu ia menduduki tempat duduknya. Aku hanya mengedikkan bahu. Namun mata Mila benar-benar melotot, saat beberapa anak yang masih mengenakan seragam team basket kelas kami memasuki ruangan, dan salah satunya berjalan ke meja tempat duduk Hesa. Si nonor punggung 9. Bisa dibayangkan bagaimana wajah Mila saat mengetahui teorinya salah ? Si nomor punggung 9 itu, memang benar adalah Mahesa, …  si culun. Kedua mata Mila melotot dengan mulut terbuka lebar. Menatap punggung cowok yang sudah duduk di tempat duduknya dengan tenang. Mengeluarkan tas dari dalam laci meja, membuka tas itu kemudian mengeluarkan baju seragam. Setelah itu, Hesa beranjak dengan membawa baju seragam di tangannya, berjalan kembali ke luar kelas. Sudah bisa di tebak, ke mana cowok itu pergi.  *** Tak lama, pak Abra masuk dan semua anak segera merapikan buku-buku yang sebelumnya mereka baca. Memasukkan ke dalam laci meja, atau bahkan ke dalam tas. Kami diberi waktu mengerjakan 1.5 jam, untuk 45 soal. Bagiku sebenarnya waktu 1.5 jam sangat sangat kurang. Aku harus memeras otak ku hingga kering. Lebay ??? emang iya. Selama ini, aku tidak pernah sanggup menyelesaikan semua soal dengan waktu yang diberikan. Aku akan menghitung jumlah kancing kemejaku, atau jumlah suku kata nama Mamaku, atau namaku sendiri, untuk memilih jawaban A, B, C, D, atau E. Namun kali ini berbeda. Aku sudah menyelesaikan semua soal sebelum waktu berakhir. Wow .… aku bahkan hampir tidak mempercayai diriku sendiri. Aku melirik Mila, dan sahabatku itu masih sibuk menghitung jari-jarinya. Aku tertawa kecil, hingga ia menoleh lalu melotot. Aku mengangkat kedua alisku, mengatakan padanya tanpa suara bahwa aku sudah selesai. Ia mencebikkan bibirnya tidak percaya. “ Ya … waktunya habis anak-anak. Ayo dikumpulkan sekarang !!!” suara Pak Abra terdengar. Mila melotot, lalu dengan ketrampilan jarinya, lembar jawabku sudah berpindah tangan. Aku melongo, sedang sahabatku itu hanya nyengir, kemudian dengan cepat menyalin jawabanku. Aku menggelengkan kepala … padahal jawabanku belum tentu benar kan ?  Aku berjalan ke depan untuk mengumpulkan lembar jawabku, setelah Mila mengembalikan selembar kertas berisi jawabanku tersebut. Saat akan kembali ke tempat duduk ku, aku melewati meja yang ditempati Hesa. Cowok itu mendongak. “ Bisa ?” tanyanya singkat. Aku nyengir sambil mengacungkan kedua ibu jariku. Dia mengangguk, lalu mengalihkan pandangannya. Aku kembali ke tempat duduk ku dengan perasaan lega. Kali ini aku tidak menggunakan opsi menghitung suku kata nama, atau jumlah kancing kemeja. Hanya perlu menunggu hasilnya keluar. Semoga saja tidak mengecewakan. Aku sudah berusaha keras, jadi boleh kan aku berharap akan bisa memecahkan rekorku selama ini. Aku tidak berharap yang muluk-muluk. Bisa mendapat nilai 50 saja sudah akan membuatku berbangga hati. Pulang sekolah, aku berjalan bersama Mila. Kali ini, pacarnya--si Arif tidak menjemputnya. Kata Mila, cowok yang berstatus sebagai kekasihnya itu masih ada pelajaran tambahan. Saat seperti ini, Mila pasti akan memilih pulang bersamaku. Kadang, kami berdua nyangkut di kantin terlebih dahulu. Makan, sembari bercerita tentang apa saja. Seperti itu kedekatan kamui sebagai sahabat. “ Kak ... Kak Sila .… tunggu!!“ Aku berhenti melangkah, lalu menoleh ke belakang, saat mendengar seseorang memanggil namaku. Seorang gadis berkaca mata terengah-engah berhenti di depanku. Keningku mengernyit. Aku tidak mengenal gadis yang kini sudah menegakkan tubuh, dan menatapku. “ Ya ??” tanyaku masih dengan dahi yang berlipat. mencoba mengingat apakah aku yang sudah secara tidak sengaja melupakan sosok di depanku ini? Namun sekeras apa pun aku mencoba mengingat, jawaban dari otakku tetap sama. Aku tidak mengenal cewek berkaca mata di depanku. “ Kak Sila, kan ? kelas III IPA ?” tanyanya masih dengan nafas sedikit putus-putus. Aku mengangguk membenarkan. Gadis itu terlihat tersenyum lega, lalu melepaskan tas punggungnya, membawanya ke depan untuk ia buka. Cewek berkaca mata itu kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil yang sudah di bungkus rapi, dan memberikannya padaku. Aku mengernyit bingung. Kutatap kotak yang terulur di depanku, lalu mendongak untuk bisa menatap wajah gadis yang justru tersenyum malu-malu ketika menatapku. “ Mia ... nitip ini ya, Kak.“ gadis itu masih tersenyum malu-malu. “ Buat kak Hesa.“ lanjutnya. Aku memandangnya tak percaya. Penggemar baru si culun ternyata. Gadis itu meletakkan paksa kotak kecil yang ia bawa ke dalam telapak tanganku. "Tolong kasih ke Kak Hesa ... dari Mia."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD