Senyum Licik

1011 Words
Ayah menghampiri lalu membantuku berdiri, sedangkan Tiara terlihat ketakutan melihat emosi ayah, akhirnya ayah tahu seperti apa anak tirinya itu, dia pikir gadis itu sungguh berlaku manis? Padahal sikapnya lebih mirip dengan iblis. "Zara yang mulai duluan, Yah," ucap Tante Miranda membela anaknya, tapi aku yakin ayah tidak akan mungkin percaya. Tiara mangut-mangut kaya orang b3g0. "Iya iya bener, Kak Zara tadi ngusir aku dari kamar, dia nyeret tangan aku keras-keras, sakit tahu," sahut Tiara dengan gaya manja sambil mengelus elus pergelangan tangannya yang memang tidak kenapa napa. Ayah nampak diam melirik kami bergantian. "Ayah ga suka ya lihat kamu kasar sama Kak Zara, Ayah minta kamu hormati Kak Zara karena dia sudah jadi kakakmu." Ayah menatap anak tirinya penuh emosi, syukurin! Benar ternyata dugaanku, ayah Sam sekali tidak percaya dengan gadis tengil itu. "Gimana mau hormat, Yah, Zara nya aja kasar begitu," sahut Tante Miranda. Ternyata mereka ular yang berbisa, pantas saja bisa merebut ayah dengan mudah, berbanding terbalik dengan bunda yang kalem dan polos, bunda tidak membalas perbuatan mereka, katanya biarkan Tuhan yang membalasnya, padahal kan aku juga ingin membalas menggunakan tangan sendiri agar lebih puas, sebagai putrinya aku tidak rela melihat ibu sendiri diinjak-injak harga dirinya. "Mama ini apa-apaan sih, barusan Ayah lihat sendiri loh Tiara yang kasar sama Zara, Mama ga boleh gitu kalau anak salah harus ditegur jangan dibela," balas ayah dan nenek sihir itu langsung gelagapan, dipikir ayahku itu buta kali ya. Aku menyeringai melihat tampang Tante Miranda yang kesal, lihat saja akan kubuat hari-harinya menjadi kelam karena pertengkaran, akan kubuat rumah ini seperti neraka bagi mereka berdua, agar nenek sihir dan gadis menyebalkan itu tidak tahan lalu pergi dari rumah ini. "Ya tapi 'kan Zara duluan yang mulai, Yah, Tiara cuma bela diri aja." Siluman ular betina itu belum menyerah juga membela anak kesayangannya, kenapa dia sangat ingin menang dalam hal ini? "Ya tapi ga gitu juga kali, masa iya anakku diperlakukan begitu di rumahnya sendiri, ingat Zara itu anak kandungku." Ayah membusungkan d**a. "Dan kamu Tiara, Ayah harap kamu bisa menghormati Zara sebagai kakak." Ayah menunjuk wajah anak tengil itu, syukurin. "Aduh sakit." Aku pura-pura meringis. Ayah melirikku dengan cepat dan khawatir, ternyata walaupun begitu ayah masih peduli pada putrinya ini, mungkin dia hanya khilaf saja tergoda perempuan itu. "Apanya yang sakit, Ra?" Ayah menyentuh tangan dan wajahku dengan khawatir, padahal aku baik baik saja. "Ini pipi, Yah, soalnya kuku Tiara tajam-tajam, p****t aku juga sakit karena kebanting keras, didorong tadi sama dia." Aku menunjuk wajah Tiara yang kini menganga, dipikir hanya dia saja yang bisa akting. Ayah nampak menghirup napas lalu memandangi anak tirinya dengan tajam. "Ga tahu diri kamu ya! Dia itu anak kandung saya! Lah kamu siapa hah?! Kalau kamu ga mau pindah kamar, sana ikut bapak kandungmu!" teriak ayah sambil berkacak pinggang Dari belakang ayah aku menyeringai licik, sementara wajah si anak tengil itu memerah, matanya juga mulai berembun, dan Tante Miranda jelas tidak terima dengan ucapan ayah barusan, dia juga ikutan memasang wajah marah. "Yah!" Si gundik berteriak, mungkin tak terima anaknya digituin, aku benar-benar menikmati pertunjukan sirkus ini, padahal baru saja hari pertama, baru pemanasan bagaimana nanti jika mencapai puncak klimaks. "Ayah ngmongnya kok gitu banget sih? kalau Ayah mau sama Mama ya harus nganggap Tiara kaya anak sendiri, harus adil dong." Si gundik bicara lagi. "Ayah tuh lagi bersikap adil, Ma. Bersikap adil buat Zara, anakku sendiri, ajarin tuh anakmu biar punya sopan santun, sudah untung juga kubiayai sekolahnya." Ayah mendengus lalu mengajakku pergi. Sayang sekali padahal aku belum puas melihat mereka bertengkar, sepertinya di lain kesempatan aku harus membuat konflik yang lebih panas lagi, biar mereka langsung angkat kaki dari rumah ini sekalian. Ayah mengajakku ke taman depan teras di mana bunga-bunga milik bunda masih bermekaran, melihat bunga-bunga itu hatiku sedikit nyelekit. Dahulu aku sering melihat bunda merawat tanaman-tanaman itu dengan baik, menyiraminya sore dan pagi, sekarang bunga-bunga itu tak terawat, daun-daunnya kotor terkena percikan air hujan, jelas saja Tante Miranda mama Sudi merawat bunga, yang dia pikirkan pasti hanya perawatan wajah agar tidak kelihatan jeleknya. "Sini coba lihat pipimu, Ra." Ucap ayah sambil memegang pipiku. "Ga apa-apa, sakitnya pipiku ini ga sebanding sama sakitnya hati Bunda saat ayah memilih gundik itu." Aku berkata dengan geram. Ayah diam tak bisa berkata, begitulah lelaki yang diperbudak nafsu, mending kalau perempuan itu lebih cantik dan berpendidikan seperti bunda. "Kenapa sih Tiara harus tidur di kamar aku?" Aku menatap wajah ayah. "Mereka udah rebut ayah dari bunda, sekarang mau rebut kamar aku juga." Kutatap wajah ayah kecewa. "Mulai sekarang kamar itu jadi milikmu lagi ya." Ayah mengusap jilbabku. Aku pura-pura tersenyum sambil menatapnya. "Aku boleh minta sesuatu lagi ga, Yah?" tanyaku dengan gaya manja. "Boleh dong." "Aku mau mobil baru, abisnya kalau ke kampus naik motor suka kehujanan, boleh ga?" Aku memasang tampang imut-imut. Ayah terlihat diam sambil mikir. "Emm, boleh. Tapi mobilnya Ayah yang pilihin ya." Aku tersenyum penuh kemenangan. 'Lihat saja nanti gundik, aku akan membuat dadamu terbakar kepanasan' gumamku dalam hati. *** Satu Minggu kemudian Sore ini aku baru pulang dari kampus, di balik jendela bibirku menganga saat melihat mobil Toyota rush putih terparkir di carport rumah yang baru datang diantar pihak dealer. "Hah, mobil. Mama! Ayah beli mobil baru." Si anak tengil itu berteriak. "Apa! Mobil baru." Kuntilanak itu pun berlari kecil menghampiri, lalu mereka berlari ke luar dengan wajah semringah Aku pun ikutan keluar lalu berdiri di depan pintu, terlihat ayah keluar dari mobilnya, menghampiri kami dengan senyum mengembang. "Ya ampun, Ayah, terima kasih ya udah beliin Mama mobil baru, tahu aja apa yang Mama mau," ucap si gundik sambil nyamperin ayah lalu bergelayut di tangannya. Ingin sekali aku terbahak-bahak. Namun, kutahan karena bukan saatnya, ayah pun terlihat risih dengan sikap Tante Miranda yang terkesan nora. "Zara, sini, Nak." Ayah melambaikan tangan padaku. Aku maju beberapa langkah sambil melihat Tante Miranda dan Tiara yang keheranan. "Iya, Yah." "Ini mobilnya, Ayah ga bohong 'kan?" Ayah tersenyum sambil memberikan kunci mobil padaku. "Ja-jadi, mobil ini buat ... Zara." Tante Miranda menganga, begitu pula dengan Tiara ia melongo saat ayah menyerahkan kunci mobil itu ke tanganku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD