(POV BUNDA NAIMA)

1080 Words
(POV BUNDA NAIMA) Mataku seolah enggan berpaling saat melihat sosok lelaki sedang duduk di dalam mobilnya, ia menatapku, aku pun menatapnya, seketika waktu terasa berhenti hingga kekacauan terjadi. Miranda, wanita yang sudah merusak keluarga kami datang marah-marah pada suaminya, memang tak tahu malu, ia selalu curiga padaku seolah aku akan merebut Mas Damar lagi. Begitulah jika dapat suami hasil merebut, sepanjang waktu kita akan dihantui ketakutan. "Bagus kamu ya, di rumah ada masalah malah datang ke sini?!" teriak Miranda "Apa-apaan sih, ayo pulang! Bikin malu aja!" Mas Damar pun melawan sambil menarik tangan Miranda masuk ke mobil di belakangnya. Aku ingin masuk karena malas melihat pertengkaran mereka . Namun, niat itu diurungkan saat melihat mobil Zara parkir di sebrang sana, aku melambaikan tangan padanya agar kemari menghampiri. Zara memarkirkan mobilnya di sebrang sana lalu ia dan temannya menyebrang menghampiriku. "Ayah ngapain di sini?" tanya Zara pada ayahnya. "Kamu! Kamu senang 'kan kita bertengkar kaya gini!" Miranda menunjuk putriku dengan berang. "Yeay, apaan sih orang baru datang disalahin." Zara melawan. Aku memang agak khawatir terhadap Zara, takut saja Miranda melakukan sesuatu padanya. "Sudah cepat masuk! Kita pulang dan selesaikan semuanya di rumah!" teriak Mas Damar sambil membuka pintu mobil. Sebelum masuk ke dalam mobil kulihat Miranda memandang putriku dengan tajam, bak binatang buas yang akan menerkam mangsanya. "Zara! Sini!" teriakku sambil melambaikan tangan hingga mereka menoleh. Zara hanya mengangguk tapi tak beranjak sama sekali dari tempatnya berdiri, ia dan ayahnya seperti sedang bicara tapi aku tak bisa mendengarnya. Hingga akhirnya Miranda pergi mengemudikan mobilnya sendiri, sementara Zara dan temannya beserta Mas Damar berjalan menghampiri. "Ada apaan sih, Bu? ribut-ribut?" tanya Sisca salah satu karyawanku. "Loh itu 'kan ...." Sisca menatap Mas Damar seperti terkejut. "Iya, mantan suamiku bertengkar sama istri barunya tadi," jawabku santai. Sisca manggut-manggut lalu masuk ke dalam, terdengar desas-desus Sisca ngegosip dengan karyawanku yang lain. Tak terasa Mas Damar sudah berdiri dekat di hadapanku, ada sedikit gugup saat pandangan kami bertemu, tapi aku berusaha mengulas senyum walau sedikit "Naima, aku ... minta maaf soal kejadian barusan," ucap Mas Damar sungkan. "Ga apa-apa kok." Aku pun tersenyum tipis. "Ke atas dulu yuk, Yah," aja Zara. Di lantai atas memang ada ruangan khusus untukku salat sekaligus menerima tamu jika ada yang datang ke grosir milikku. "Emmm, Ayah mau pulang, Ra." "Please, Yah." Zara memohon. Entah apa maksud anak ini menyuruh ayahnya masuk ke dalam, tak tahukah jika bundanya ini tak ingin dekat-dekat lagi dengan ayahnya itu? Selain masih terluka dan kecewa aku juga sedang berusaha meredam emosi menjadi sebuah keikhlasan, aku tak ingin memupuk dendam apalagi perasaan dengki. "Ya sudah silakan masuk, Mas." Aku mengangguk pelan dan mengalah pada kemauan Zara, aku menatap Mas Damar yang berjalan merangkul pundak putriku dari belakang. Melihat keakraban mereka hatiku sedikit teriris, andai Miranda tak hadir dan merusak semua ini pasti Zara akan bahagia dan tak memiliki rasa dendam di hatinya. Dan andai juga Mas Damar kuat iman, untuk setia pada istri dan putrinya. Semua andai-andai itu cepat kutepis, karena dirasa tak berguna dan hanya akan menghambat hidupku saja. "Ra, Mama dibawah aja ya, mau beresin barang yang mau datang," sahutku, seketika mereka semua menoleh. "Yah ga asik banget sih, ayo ikut aku ke atas, Bun, aku tuh kangen kumpul sama kalian lagi." Putriku merajuk dengan wajah ditekuk. Tak kuasa melihat Zara mengiba aku pun mengangguk dan mengiyakan keinginanku, kini kami sudah duduk lesehan saling berhadapan di lantai atas. Farah temannya Zara asik main ponsel sementara Zara berbincang-bincang dengan ayahnya, dan aku sendiri merasa kaku bingung harus buat apa. "Aku tuh takut banget Tante Miranda nyakitin Bunda, Ayah harus tegas sama dia," ucap Zara khawatir. "Iya tenang aja, Ayah pasti akan tegur kok, tuh buktinya bunda kamu gapapa," sahut Mas Damar sambil tersenyum, wajahnya kini berubah sejuk tak semarah tadi. "Oh ya, nanti Ayah sama Bunda harus pakai baju couple ya pas di acara wisuda aku, soal baju nanti Zara yang pilihin." Aku terdiam, rasanya sulit untuk berjauhan dengan Mas Damar, terlebih Zara terlihat selalu berusaha mendekatkan kami. "Iya Ayah setuju." "Kalau Bunda?" tanya Zara membuatku bingung. "Bunda juga setuju," jawabku agak ragu. "Nah gitu dong." Zara tersenyum penuh kemenangan. Cukup lama kami berbincang dalam kekakuan hingga akhirnya Mas Damar pamit setelah menerima telpon dari seseorang, pasti itu dari Miranda. "Ra, hari ini Bunda akan ke rumah nenekmu, jenguk Jesica, mau ikut ga?" tanyaku saat Mas Damar sudah pergi. Nenek yang dimaksud adalah nenek dari pihak Mas Damar, kami masih berhubungan baik walau aku sudah berpisah dengan putranya. Sedangkan Jesica adalah keponakanku yang berumur sepuluh tahun, alias anak dari adiknya Mas Damar. "Wah mau dong, kebetulan aku kangen sama anak itu dah lama ga ketemu." "Gua balik aja ya, Ra," sahut Farah. "Yah kok cabut, ayo ikut ke rumah nenek gua." "Ga ah, mau rebahan di rumah. Bunda, Farah pulang sekarang ya." Anak itu menyodorkan tangan hendak salaman. "Ga asik lo," celetuk Zara. "Ya sudah hati-hati di jalan ya, Rah." Aku tersenyum sambil mengulurkan tangan. "Gua pulang ya, Ra, capek mau mengistirahatkan otak." "Ya udah sana, tapi pulang sendiri ya," balas Zara. "Ok sip." Empat puluh menit kemudian aku sudah sampai di rumah mantan ibu mertua yang seorang singgle parent di usianya yang sudah menua. Mereka menyambutku dengan hangat, kami berpelukan dan saling menanyakan kabar. "Gini, Naima, Ibu mau jenguk Burhan di rumah sakit, katanya Jesica kangen sama papanya, kalian mau ikut ga? atau mau di rumah aja?" tanya wanita renta itu. "Boleh tuh, yuk, Bun, ikut aja aku juga mau ketemu Om Burhan," sahut Zara semangat. "Ya sudah kita ikut aja, Bu." Lima belas menit kemudian kami sudah berada di rumah sakit jiwa tempat Burhan dirawat, adiknya Mas Damar itu mengalami depresi selepas istrinya meninggal karena bunuh diri. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya kami diperbolehkan menemui Burhan di ruangannya yang lumayan luas, Mas Damar sengaja memfasilitasi adiknya agar cepat sembuh dari penyakit kejiwaan. "Burhan, Ibu datang sama anakmu," ucap ibu dengan suara lemah. Lelaki yang berjenggot lebat itu menoleh sekilas lalu menunduk lagi. Kami pun melangkah mendekat secara perlahan. "Pa, ini Jessi, anak Papa" ucap Jesica dengan haru. Lagi-lagi Burhan hanya melirik sekilas lalu menunduk lagi, seolah keberadaan kami hanya angin lalu. "Burhan, ini aku Mbak Naima, kamu harus sembuh kasihan Jessi anakmu," aku berbisik di telinganya. "Mbak Naima," ucap Burhan seperti terkejut. Aku mengangguk, senang akhirnya ia merespon. "Apakah Miranda udah mati?" tanyanya dengan panik, seketika aku pun ikutan panik. "Miranda ... Miranda harus mati, dia jahat! Gara-gara dia Dina meninggal, Miranda wanita luknut!" ucapnya lagi dengan mata membeliak dan napas ngos-ngosan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD