Siapa Yang Akan Kalah?

1003 Words
Aku pura-pura menelpon seseorang sambil tertawa cekikikan, sengaja agar gelagatku ini tak terlalu dicurigai Tante Miranda, bagaimana pun juga aku ingin tertawa di atas penderitaannya seperti yang dia lakukan pada bundaku. Ya, akulah yang menghasut ayah agar membelikan si gundik itu mobil bekas, kebetulan ibunya Farah akan menjual mobilnya, kukatakan saja pada ayah, dan senangnya ia setuju dengan usulku, emang dasar kuntilanak itu saja tidak bersyukur, dikasih hati minta jantung, terus minta daging lagi. "Tante Miranda itu bakal sombong kalau dikasih mobil baru, gini aja coba kasih dulu dia mobil bekas, kalau dia bersyukur dan berterima kasih berarti Tante Miranda sudah menghilangkan sifat sombongnya," ucapku pada suatu malam. Ayah terlihat merenung, aku tahu betul ia tak suka punya istri yang sombong dan tinggi hati, tak hanya itu ayah juga seseorang yang sangat hemat, kalau ingin membeli apapun pasti harus dipertimbangkan. "Betul juga ya, kalau Mamamu ga protes nanti Ayah beliin yang baru," jawabnya sambil manggut-manggut. Aku menyeringai tipis ternyata mudah juga menghasut ayah, tapi yang lebih menyebalkan ia juga mudah ditaklukkan wanita perusak itu, seharusnya kan dia memiliki prinsip untuk setia pada pasangan, aku jadi takut apakah semua lelaki seperti itu? "Iya gitu aja, Yah, bunda juga dulu dikasih motor butut senang malah banyak mengucap terima kasih." Aku menghasutnya lagi, berharap ayah sadar kalau bunda merupakan berlian yang sudah dia buang. "Iya deh, Ayah coba dulu." "Kebetulan nih Tante Nindy ibunya Farah mau jual mobil, mesinnya masih bagus, biasalah katanya mau ganti mobil baru, itu aja Ayah beli," ujarku lagi. Ayah melirik dengan bahagia. Hingga beberapa hari kemudian setelah ia tak memiliki kesibukan barulah kami berdua berkunjung ke rumah Farah melihat-lihat mobil itu, hingga transaksi pun terjadi dan mobil itu jadi milik kami. "Mama ga mau dikasih mobil bekas, Yah, pokoknya ga mau!" tegas Tante Miranda. "Kenapa ga mau? Mama 'kan tahu Ayah sekarang lagi ngebangun supermarket cabang baru," jawab ayah. Aku makin senang melihat mereka bertengkar lagi di hadapanku, kalau perlu aku ingin menyaksikan ayah menampar perempuan itu. "Emang mobil bekas itu kenapa? 'kan masih bisa dipake," sangkal Ayah. "Kemarin Zara dikasih mobil baru, kenapa sekarang Mama dibeliin mobil bekas? Ayah tuh ga adil!" pekik Tante Miranda, dia memang istri tidak sopan, kalau aku jadi ayah sudah kuc*kik lehernya. Sayangnya pertengkaran itu dilanjutkan di dalam kamar, aku tak bisa mendengar jelas karena samar-samar, huh jadi nggak seru jadinya tapi tidak mengapa yang penting aku sudah menciptakan api diantara mereka berdua. "Ga sekolah lo?" tanyaku saat Tiara masuk dengan muka kusut. "Bac*t!" jawabnya dengan songong, lalu gadis itu masuk ke dalam kamarnya, dih anak ini juga sama tidak sopannya, apakah dia tidak ingat makan dan tidur di rumah siapa. Aku melangkah keluar untuk berangkat ke kampus, sebagai mahasiswa semester akhir aku disibukkan dengan skripsi yang sebentar lagi selesai. ***** (POV MAS DAMAR) Aku dibuat pusing oleh lengkingan suara Miranda, ia tetap ngotot ingin dibelikan mobil baru yang lebih bagus dari Zara. Entahlah, semakin hari sikapnya semakin arogan, membuat cintaku padanya perlahan mengikis, padahal sebelum kami meresmikan hubungan gelap ini, Miranda seorang perempuan yang lemah lembut dan manja, tidak terlihat sedikit pun kejelekannya, tetapi sekarang lihatlah dia begitu serakah. "Aku tuh dianggap istri ga sih sama kamu, Mas?" tanya Miranda, kini suaranya melemah mungkin lelah sejak tadi marah-marah. "Ya iya lah, kamu istri Mas, udah dong jangan marah-marah, nanti Mas beliin mobil baru kalau supermarket cabang baru udah jadi." "Sebagai istri Mama harus ngertiin suami dong, jangan kaya gini," ucapku membujuknya lagi, capek juga terus menerus meladeninya. Semenjak menikah dengannya aku merasa harga diri ini direndahkan oleh kemauannya yang banyak, tak ada kenyamanan dan juga ketenangan, tidak seperti dulu saat kami masih berstatus selingkuhan dan menjalani hubungan diam diam, Miranda begitu manis dan menyenangkan, pelayanan nya selalu membuatku puas. Jadi teringat Naima yang begitu penyabar dan lembut, sekalipun ia tak pernah mengeraskan suaranya di hadapanku apalagi marah-marah seperti Miranda. Aku saja yang bodoh malah mengkhianatinya karena tergoda oleh pesona Miranda, sebagai lelaki normal siapa yang tak tergoda jika sehari-hari melihat tubuh Miranda yang terbuka dan menggoda. "Aku kecewa sama kamu, Mas! Aku tahu kamu kaya gini karena dengerin omongan Zara 'kan?" Miranda menatapku tajam. "Bukan gitu, Miranda, kamu ngerti dong aku tuh lagi butuh banyak biaya." Aku mulai jengah. "Alesan! Semenjak anak itu tinggal di sini keluarga kita jadi kacau, Tiara distop uang bulanannya, minta motor ga dikasih, minta mobil malah dibeliin yang bekas, dan satu lagi, uang bulananku berkurang karena memenuhi kebutuhan Tiara!" tegasnya dengan napas ngos-ngosan. "Semenjak ada anak itu kita bertengkar terus, dasar anak bawa sial! Aku yakin di luar dia itu nakal ga sebaik yang kamu kira!" Emosiku memuncak mendengar Miranda menjelekkan putriku satu-satunya, aku lantas berdiri sambil menghujaninya dengan tatapan tajam. "Jangan coba-coba lagi bilang anakku bawa sial ya! Dia itu anak pintar berprestasi, dan ingat yang membuat kita bertengkar yaitu keegoisan kamu! Bukan karena anakku!" tegasku dengan suara keras. "Sebelum nyalahin orang introspeksi diri sendiri!" Aku melangkah pergi membawa emosi yang bertumpuk-tumpuk dalam d**a. "Mas! Mau ke mana kamu?!" Miranda berteriak. Namun, tak kuhiraukan gegas melajukan mobil tanpa tujuan. Sepanjang jalan aku merenung merutuki kebodohan diri, kenapa aku memungut batu kerikil dan membuang berlian seindah Naima? Tak terasa mobilku sudah berada di hadapan grosir milik Naima, ada beberapa pembeli lalu lalang di tempat itu. Tak kusangka kini usaha Naima semakin berkembang pesat, entah dia punya modal dari mana bisa membangun grosir sebesar ini, karena saat pergi dari rumahku, satu peser pun ia tak membawa uang, bahkan perhiasan yang kukasih ditinggalkan begitu saja sehingga berhasil dimiliki oleh Miranda. Kaca mobil kuturunkan karena di depan sana Ku melihat Naima keluar dari grosirnya menata barang-barang jualannya. Mantan istriku yang berpakaian syar'i itu terlihat makin anggun dan menawan, ada getaran hebat di d**a saat melihatnya, entah ini perasaan apa. Beberapa detik kemudian mata kami saling memandang walau dari kejauhan, kerudung Naima yang lebar meliuk-liuk tertiup angin, menambah kesan anggun di wajahnya. Aku mengerjap saat pintu mobilku digedor seseorang. "Oh ternyata kamu ke sini, Mas? kangen sama mantanmu?" Aku mengusap wajah dengan kasar, rupanya Miranda mengikutiku dan melanjutkan pertengkaran kami di tempat umum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD