(POV MIRANDA)
"Gue ga takut!" tegas Zara dengan suara pelan.
Ingin sekali aku menerkam anak songong itu, jika ia tak bicara sudah pasti mobil baru berhasil kudapatkan, memang anak menyebalkan.
Usai puas membuat moodku hancur berantakan, anak itu langsung melangkah ke kamarnya dengan santai, andai ini di hutan sudah pasti aku berikan ia pada hewan buas.
Sambil mengurai napas aku berjalan menuju kamar, akan kubujuk Mas Damar sebisa mungkin.
"Mas, kamu ga sayang ya sama aku?" tanyaku dengan suara lemah, kalau dengan kekerasan yang ada ia malah makin keras.
Mas Damar yang sedang duduk membelakangiku menoleh.
"Bukan ga sayang, tapi aku mau Mama jangan sombong, apalagi labrak-labrak Naima."
Lagi-lagi wanita itu, aku jadi curiga jangan-jangan suamiku ini masih mencintai mantannya? oh tidak! Jangan sampai itu terjadi.
"Iya iya maaf, Mama ga labrak kok, Zara aja yang ceritanya dilebih-lebihkan." Aku duduk di dekatnya lalu menyenderkan kepala di pundak Mas Damar.
"Tapi kamu ga boleh ganggu Naima, dia ga salah." Mas Damar terdiam dengan tatapan kosong.
"Justru kita yang salah," lanjutnya sambil menundukkan wajah.
Apa-apaan ini? kenapa Mas Damar jadi melow begini, padahal saat dahulu kami menjalani hubungan diam-diam ia ak pernah ingat dengan istri sahnya, kenapa setelah kami menikah ia berubah? seolah menyesal telah menceraikan istrinya.
"Ya terus Mas maunya apa? balikan lagi sama dia?" tanyaku sambil cemberut
Hatiku emosi sekali. Namun, aku berusaha meredam semua ini, jangan sampai keegoisanku menumbuhkan rasa benci di hati Mas Damar.
"Ya engga gitu, Ma. Setidaknya kamu harus bisa seperti Naima, hidupnya sederhana ga neko-neko," ucapnya seperti orang bingung.
Api di dadaku makin berkobar saat mendengar nama Naima disebut-sebut, tapi aku tetap harus tenang, jangan sampai emosi membuat tujuanku berantakan.
"Mama ga neko-neko, cuma minta mobil. Masa ngasih Zara bisa ngasih istri sendiri ga bisa," sahutku dengan suara lembut
Mas Damar berdecak.
"Ya sudah nanti Mas beliin, tapi janji ya jangan ganggu Naima lagi." Mas Damar menatapku dengan tunduk.
Hatiku bersorak, ternyata menaklukkan lelaki ini bukan dengan amarah dan kekerasan melainkan dengan kelembutan.
"Iya, Mas, ngapain juga ganggu Mbak Naima, kita udah masing-masing," jawabku sambil bergelayut di lengannya.
"Dan satu lagi, mobilnya biar Mas yang pilihin, kaya Zara kemarin," lanjutnya.
"Iya iya ga apa-apa kok, bener ya di beliin." Aku memeluknya dengan manja.
****
"Beneran, Ma? Mama mau dibeliin mobil sama Ayah?" tanya putriku kegirangan.
Disaat bersamaan Zara si anak songong itu lewat di dekat kami, aku sangat yakin ia mendengar ucapan Tiara barusan.
"Beneran dong, Sayang, pasti ayahmu ngasih Mama mobil Alphard, yang lebih bagus dan mahal, nanti kita jalan-jalan ya," sahutku dengan suara keras, agar anak songong itu mendengarnya.
"Wih ini baru keren, pokoknya aku nanti belajar nyetir ah," ucap Tiara kegirangan.
"Iya dong harus belajar," jawabku sambil melirik ke arah Zara yang sedang minum di meja makan.
Anak itu terlihat merenung mendengar aku akan dibelikan mobil, lihat saja Zara, aku tak semudah itu dikalahkan.
Sebelum menggapai tujuan aku harus menyingkirkan Zara terlebih dahulu dari dekat Mas Damar, setelah benalu itu hilang maka dengan mudah Mas Damar kutaklukan.
****
Sesuai perjanjian satu Minggu kemudian Mas Damar akhirnya menepati janji, barusan ia mengirimkan pesan kalau mobil untukku sedang dalam perjalanan.
"Tiara ga mau sekolah ah, ga sabar mau lihat mobil baru," ucap putriku masih mengenakan baju tidur.
"Ya udah terserah, tapi besok harus sekolah ya!" tegasku padanya.
"Pasti dong, 'kan dianterinnya pakai Alphard, temen-temen aku pasti pada muji." Tiara kegirangan.
Lain lagi dengan wajah Zara yang terlihat cuek dan tak mau tahu, heran juga harusnya ia panik dan emosi karena sudah kalah dariku, anak itu memang pandai menyembunyikan perasaan.
Tid! Tid!
Suara klakson membuat kami berpaling, seketika hatiku bermekaran, akhirnya mobil yang kutunggu datang juga.
"Itu, Ma, ayo kita lihat," ucap putriku dengan semangat.
Sambil bersorak kami melangkah keluar melewati Zara yang asyik main ponsel, sebentar lagi anak itu akan menangis meratapi kekalahannya.
"Loh, Yah, mobilnya mana?" tanyaku sambil celingukan.
Tak ada mobil Alphard yang terparkir di halaman depan, yang ada hanya mobil expander berwarna silver, itu pun kelihatannya bukan baru.
"Ini mobilnya, Ma, kamu suka 'kan?" tanya Mas Damar sambil menunjuk mobil warna silver itu.
Aku melirik Tiara dengan mata membeliak, kurang ajar sekali Mas Damar ia malah membelikanku mobil bekas?
"Ini ...." Aku menunjuk mobil itu dengan kaku, sedangkan Mas Damar mengangguk-anggukkan kepala.
"Kok kaya bekas?"
"Bekas juga tapi masih bagus kok, Ma. Orang tua temannya Zara kebetulan ada yang jual, jadi yasudah Ayah ambil," ucapnya dengan enteng.
Lagi-lagi benalu itu berulah, dasar anak tengil!
"Maa, kok mobil bekas bukannya Alphard," celetuk Tiara sambil melongo.
"Mama ga mau dikasih mobil bekas, Yah, pokoknya ga mau!" tegasku sambil berusaha menyusul Mas Damar yang melangkah ke dalam rumah.
"Kenapa ga mau? Mama 'kan tahu Ayah sekarang lagi ngebangun supermarket cabang baru," jawabnya tanpa rasa bersalah.
Sejurus kemudian aku mendengar suara Zara cekikikan sambil telponan, aku tahu anak tengil itu sedang menertawakanku, kurang ajar! Awas kamu, Zara.