Ancaman Miranda

1007 Words
"Ngapain Tante di sini?" tanyaku sambil menyeringai "Lucu ya, ada pelakor yang ngelabrak istri sah." Aku melipat tangan di d**a, lalu memikirkan kata kata apa lagi yang akan kulontarkan padanya untuk merendahkan Tante Miranda. Kulirik wajah bunda masih terlihat tenang seolah tak terusik, lain lagi dengan wajah Tante Miranda yang tampak menegang, memerah seperti kepiting rebus. "Kebetulan anaknya ada, silakan Mbak nasihati dia agar jangan merusak kenyamanan orang." Tante Miranda menatapku penuh amarah, oh rupanya dia ingin mengadukan tentang perbuatanku pada bunda. "Apa apa? aku merusak kenyamanan orang? bukannya situ yang ngerusak rumah tangga orang," balasku dengan tatapan jijik, dia langsung bungkam tak bisa melawan. Tante Miranda menghirup udara dengan susah payah, rahang yang tirus itu pun menegang, kalau begini aku jadi tambah semangat membuat emosinya makin meradang, kalau perlu kan kubuat dia mati berdiri. "Kamu 'kan yang hasut Ayah supaya ga ngasih uang bulanan ke Tiara?!" Tante Miranda menunjuk wajahku, tapi aku sama sekali tak gentar malah semakin berambisi ingin melawannya. "Dan kamu juga yang ngelarang ayah beliin motor buat Tiara 'kan!" Air liurnya hampir saja kena ke wajahku. "Jangan sembarangan kalau nuduh, situ punya bukti ga," balasku makin ngotot, walaupun itu benar, tetapi aku tidak akan mengaku agar dia semakin panas lalu jadi tak waras. "Ayah juga punya otak kali, ngapain repot-repot biayain anak orang, Tiara masih punya bapak kandung 'kan? minta lah sama dia," lanjutku lagi dengan sewot dan memalingkan wajah. Wajah si gundik terlihat merah menahan marah, jiwaku berpacu untuk membuatnya semakin emosi. Semakin ia kesal semakin puas hati ini. "Anakku berarti anak ayahmu juga, sama kaya kamu!" Tante Miranda berdiri lantas mendekat ke arahku, entah perempuan itu mau berbuat apa padaku yang jelas aku sudah siap dan tidak takut. "Aku tahu kamu iri 'kan sama ibu tirimu ini? makanya kamu ngehasut ayahmu supaya pelit sama kita," ucap Tante Miranda pelan tapi penuh penekanan. Ia menyeringai sadis sambil memiringkan kepalanya sedikit, jarak wajahku dan wajahnya begitu dekat. "Kalau kamu bisa gitu, aku juga bisa, akan kubuat kamu dilupakan oleh ayah kandungmu sendiri," lanjutnya dengan senyum licik, tidak dapat dipungkiri amarahku mulai bangkit mendengar hal itu, dasar lon te. Bunda terlihat mendekat ke arah kami. "Jangan macam-macam sama anakku, kamu merusak rumah tanggaku, aku diam saja, tapi kalau kamu macam-macam sama Zara, maka aku tak segan-segan membongkar kartumu sama Mas Damar," ancam bunda dengan suara pelan tapi penuh penekanan. Aku menoleh ke arahnya merasa bingung dengan apa yang diucapkan barusan, artinya bunda tahu aib Miranda dan diam saja? wah ini sudah salah, harusnya kan bunda bicara pada ayah. Kulirik lagi Tante Miranda, kali ini wajahnya terlihat panik membuatku makin penasaran, seperti apa kartunya itu. Sambil menghentakkan sebelah kaki gundik ayah itu pergi sambil mendelikkan mata. "Bun, emang kartu Tante Miranda itu kaya gimana sih?" tanyaku sambil menghampiri bunda "Ini aib orang, kamu mah ga usah tahu," jawab bunda sambil duduk kembali di sofa. Tapi jiwa kepoku makin meronta, 'kan asyik kalau aku tahu luar dalam tentang Tante Miranda. "Kasih bocoran aja, Bun, sedikit." Aku memelas. "Ah sudahlah, mending kamu makan gih, Bunda mau ngeringin baju, besok tinggal ngejemur." Perempuan yang berumur empat puluh lima tahun itu pun melenggang dari hadapanku. Usai makan di rumah bunda aku kembali ke rumah ayah, hal seperti ini memang menyebalkan bagiku. Padahal aku ingin seperti dulu, tinggal satu atap bersama ayah dan bunda, gara-gara Tante Miranda semua kehangatan itu sirna. Tiba diruang tengah rumah ayah kembali aku dibuat senang saat mendengar Tante Miranda dan ayah adu mulut. Semakin mereka sering bertengkar maka semakin besar peluang untuk menghancurkan, akan kubuat Tante Miranda dibenci ayah. "Kalau Tiara ga dibeliin motor ya udah biar Mama aja yang dibeliin mobil, Mama juga pengen kaya temen-temen lain yang punya mobil sendiri." Terdengar suara Tante Miranda dengan gaya manja. Jemariku mengepal mendengar ucapan Tante Miranda, bagaimana pun caranya aku takkan membiarkan wanita perusak itu bersenang-senang, apalagi hidup dengan uang ayah. Obrolan antara suami istri itu terhenti saat aku masuk melewati mereka. "Udah pulang, Tan, dari rumah bundaku?" Kedua orang itu melirik bersamaan saat kutanya begitu. Lalu aku membanting b****g di sofa ruang keluarga yang terhampar luas di depan televisi. "Kamu dari rumah Naima, Ma?" tanya ayah. Aku menyeringai kecil saat melihat sorot mata ayah berubah tak suka. "E-em iya ... itu." Tante Miranda gelagapan. "Iya, Yah, tadi Tante ke rumah bunda, marah-marah loh dia sama bunda, 'kan kasihan bunda ga salah apa-apa dimarahi gitu aja," celetukku dengan memasang wajah sedih. "Aneh banget istri Ayah ini, orang ga salah apa-apa kok dimarahi, belum cukup kali ya dia nyakitin bundaku," lanjutku sambil menatap wajah ayah. Lelaki yang masih mengenakan pakaian kerja itu melirik gundiknya dengan wajah kesal. "Beneran, Ma? kamu marahin Naima? emang dia salah apa sih? ini pasti gara-gara cemburu buta 'kan?" tanya ayah beruntun. "E-engga, Yah, ga gitu. Zara bohong!" Si gundik menyangkal "Dengar, Ayah ga suka kalau Mama datang ke rumah Naima dan marah-marah ga jelas di sana, gimana pun juga dia itu ibu dari anakku, kontrol dong emosi kamu, jangan main labrak-labrak aja," cerocos ayah dengan wajah galak. Aku menyeringai licik, bibit-bibit pertengkaran diantara mereka sudah muncul ke permukaan. "Zara itu bohong, Yah!" tegas Tante Miranda panik. "Ngapain sih aku bohong, ini buktinya." Aku memperlihatkan ponsel pada ayah. "Ini buktinya apa hah?! Poto kamu ada di rumah Naima, benar-benar kamu ya nyari gara-gara." Ayah memperlihatkan Poto Tante Miranda yang kuambil diam-diam tadi saat di rumah bunda. Wanita menor dan berambut pirang itu menganga, sejurus kemudian wajahnya berubah panik. "Kalau kaya gini mendingan Mama ga usah beli mobil deh, Ayah ga suka kamu jadi sombong dan sok kaya di hadapan orang-orang," sahut ayah dengan wajah kecewa. Tante Miranda geleng-geleng kepala tanda tak setuju dengan keputusan ayah. "Tunggu dulu! Ayah ga bisa seenaknya gitu dong sama Mama, cuma gara-gara Naima Ayah kaya gini." Tante Miranda berdiri sambil mencekal lengan ayah yang hendak pergi. "Bukan soal Naima, tapi soal adab, Ayah ga suka kamu main labrak-labrak orang ga bersalah." Ayah pergi tanpa menghiraukan lagi Tante Miranda. Perempuan itu menatapku dengan tajam lalu mendekat. "Awas ya, akan kubalas perbutanmu barusan dengan lebih menyakitkan!" ancamnya dengan suara pelan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD