Sometimes you will never know the value a moment until it becomes a memory
- Dr. Suess -
***
Elang memang keterlaluan! Dia tidak menunjukkan batang hidungnya di kampus dan tidak juga di café. Namun dari Leo aku tahu bahwa ia pergi bersama Cheva dalam rangka menyelesaikan masalahnya. Kenapa terdengar seperti modus ya? Tentu saja ini risiko berpacaran dengan lelaki seperti Elang—lelah hati dan pikiran.
Ponselku berbunyi, dan aku mengabaikannya, bahkan kumatikan ponselnya. Aku sedang tidak ingin bicara padanya atau siapa pun saat ini. Leo berbaik hati memberiku izin pulang lebih cepat dengan alasan aku ada keperluan mendesak. Saat ini aku berada dalam sebuah bis menuju suatu tempat—bukan ke rusun—walaupun tadi Leo menawarkan diri untuk mengantarku, aku menolaknya.
Entah kenapa aku nekat menuju ke tempat ini sendirian. Sebuah restauran di area puncak di mana aku pernah bertemu Dino, mantan sahabat Elang yang katanya sedang mencari-cariku. Aku beruntung laki-laki itu ada di restoran ini. Ia sedang bercengkrama dengan beberapa temannya. Secara kebetulan ia menoleh ke arahku dan raut wajahnya terkejut karena melihatku datang tanpa Elang. Ia berdiri dan berjalan menghampiriku. "Wow—wow, lihat siapa yang datang," sapanya buka suara. Matanya mengitari sekitarku, "dan sendirian...," lanjutnya lagi.
"Aku mau bicara sama kamu, bisa?" tanyaku.
Dino mengangguk sambil menyeringai, "Lo mau bicara di sini atau di kamar hotel sekalian? Biar lebih nyaman," tanyanya kurang ajar.
Aku menghela napas seraya menggeleng, bertemu lagi dengan tipe lelaki macam Elang. "Enggak perlu nyaman, di sini lebih aman," ujarku. Aku menelan ludahku sebelum mengikutinya menuju tempat duduk di bagian yang lebih dalam.
"Lo mau ngomongin apa?" Ia melihat ke jam di tangannya, "malam-malam begini, dan sendirian?" katanya dengan raut wajah cemas. "Biar gue tebak, lo diputusin Elang, terus kepikiran gue, ya kan?"
"Wajah kamu laki-laki, tapi mulut kamu kok mirip perempuan," sindirku.
Ia tertawa pendek, mengeluarkan rokoknya dan membakar ujungnya. "Kalau lo enggak ketemu gue di sini gimana?" tanyanya sembari mengepulkan asap rokoknya dari ujung bibirnya ke samping.
"Bukan urusan kamu," sahutku ketus.
Asap rokoknya membuatku terbatuk sedikit, tapi tidak membuatnya urung mengisapnya. Elang sudah jarang sekali merokok ketika bersamaku, karena aku tidak suka asapnya. Tanganku mengibas di depan hidungku dan itu membuatnya menyembunyikan rokoknya yang menyala di balik meja.
"Katanya kamu mencariku?"
Dino menyeringai sambil mengangguk, "Gue mau macarin lo, yang kedua juga enggak apa-apa," jawabnya tanpa pikir panjang. Tangannya melambai memanggil pelayan.
"Untuk membalas Elang?"
Ia mendengkus pelan sambil menaikkan alisnya seolah terkejut dengan spontanitas komentarku barusan, "Wow sepertinya Elang jadi cowok jujur sekarang, kayaknya lo tahu banyak soal gue sama dia ... ya kan?"
Malam ini benar-benar aneh. Aku merasa tidak takut sedikit pun pada lelaki bernama Dino ini. Bahkan boleh dibilang aku merasa nyaman juga berbicara dengannya mengenai Elang dan Cheva. Darinya aku mengetahui cinta segitiga mereka dan alasan dendamnya pada Elang. Ia juga mengatakan padaku sebaiknya menjauh dari cowok itu. Dino menarik kedua ujung bibirnya membentuk senyuman ketika mendengar jawaban dari mulutku, bahwa aku mencintai mantan sahabatnya itu. Bagiku ia tidak seperti yang Elang gambarkan, aku merasa sudah mengenalnya lama dan sangat yakin bahwa sesungguhnya dia adalah pria baik. Hanya saja ia tidak mau menunjukkan itu.
"Kapan terakhir kali kamu ketemu Cheva?"
"Mau tahu aja, atau mau tahu banget?" Ia mematikan rokok keduanya yang sudah pendek. Matanya melihat ke arahku. "Terus terang gue enggak tertarik lagi sama cewek pengkhianat itu," ungkapnya.
Aku mengangguk, "Jadi kamu sudah lama enggak bertemu dengannya? Sebulan lalu mungkin?" desakku berusaha bertanya layaknya detektif FBI. Entah kenapa aku berharap Dino yang menghamili Cheva.
Keningnya berkerut, ekspresinya aneh menatapku. Ia menggeleng, "Gue cuma telepon dia beberapa hari yang lalu, itu pun gue tanya soal Leo. Dan dia kasih tahu tentang café itu," paparnya, "karena itulah gue ke sana dan iseng aja tanya soal lo ke Leo dan dari mulutnya keluar nama lo—Kirei," lanjutnya.
Harapanku pupus, dia tidak mungkin ayah janin itu.
"Ck, dan gara-gara keisengan kamu, Elang jadi kalang kabut!"
Cowok beralis tebal itu malah terbahak tidak jelas. Mataku melirik jam tangan, sudah hampir pukul sebelas malam. Aku benar-benar nekat datang ke sini dan malah tertawa-tawa dengan cowok yang baru saja kukenal. Tapi aku memang ingin membalas sikap Elang yang pergi tanpa kabar dengan mantannya yang hamil itu.
"Gue antar lo pulang," katanya sambil berdiri.
"Kamu pikir aku percaya kalau kamu akan nganter aku pulang sampai rumah?"
"Terserah lo aja sih. Tapi kemarin di daerah sini ada perempuan diperkosa bergantian sama sepuluh orang lebih cowok preman yang lagi mabuk," kilahnya membuat jantungku berdentum keras. "Kalau sama gue kan ketahuan, cuma satu orang," tambahnya membuat mataku melotot menatap cowok berambut hitam acak-acakan itu.
"Aku pilih sendiri aja."
Ia malah terkekeh ringan, "Tenang aja, setelah ngobrol panjang sama lo, gue kayaknya malah ilfil mau ngajak lo ke kamar hotel," timpalnya.
Dengan menggunakan perasaan, akhirnya aku menerima tawaran Dino untuk mengantarku pulang, ya karena ia juga pulang ke arah Jakarta. Jam tiga pagi mobil Dino sampai di depan rusunku. Aku turun dan mengucapkan terima kasih karena cowok itu sudah bersikap baik selama dalam perjalanan. Tentu saja sebisa mungkin aku membuat diriku tetap tersadar walau harus melawan rasa kantuk sangat melanda.
Setelah membersihkan diri, aku menyalakan ponsel dan cukup takjub mendapati hanya ada satu misscall saja dari Elang pukul sembilan malam tadi, tanpa ada pesan satu pun.
Wow rekor baru!
Aku terlelap sambil mendekap ponsel menunggunya meneleponku lagi.
***
Absennya Elang mencariku membuatku berpikir, bahwa mungkin aku tidak begitu istimewa baginya. Sampai pagi ini ponselku tidak berbunyi notifikasi apa pun dan anehnya aku juga tidak berniat untuk meneleponnya.
Pintu lift terbuka di lantai lobi dan mataku membesar melihat Elang sedang mengobrol dengan Pak Doel, satpam rusunku. Ia melihatku dan menghampiriku. "Kirei...," sapanya.
Keningku berkerut menatapnya, "Kamu ngapain di sini?"
"Rei ... aku mau jelasin kenapa aku kemarin enggak kasih kabar ke kamu," katanya mengekoriku menyusuri tangga kecil menuju jalanan beraspal, tidak ke parkiran. Namun Elang menyambar tanganku dan menarikku ke arah parkiran mobilnya. "Please Rei," ujarnya memohon agar aku mau masuk ke dalam mobilnya.
Entah sudah berapa kali aku mendengar kata ini sejak mengenalnya. Mungkin ini memang kata saktinya, membuatku luluh dan kembali memaafkan semua salahnya. "Sebetulnya kamu mau jelasin apa lagi, Lang?" tanyaku sedikit ketus sambil masuk ke dalam mobilnya.
Ekspresinya sedikit sumringah, "Kirei, aku mau sampaikan kabar gembira," katanya setelah kami berada di jalan raya.
Aku menoleh ke arahnya dan menatapnya dengan alis berkerut, tapi aku diam.
Kemudian ia melanjutkan, "Kemarin itu, aku mengantar Cheva menggugurkan kandungannya," ucapnya tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Huh?? Mataku membesar ke arahnya. "G-gugurin??" Terus terang aku terkejut.
Ia mengangguk dan matanya fokus ke jalan raya. "Cheva akhirnya mengakui kalau anak itu bukanlah anakku, Rei. Dan dia juga mengaku kalau dia enggak mau punya anak dari pria yang sudah membuatnya hamil itu," ujarnya dengan santai, seolah-olah apa yang sudah mereka lakukan itu adalah suatu yang benar.
Ini termasuk pembunuhan bukan?!
"Jadi ini kabar gembira yang kamu maksud, Lang?" tanyaku skeptis dengan ekspresi geram tentunya.
Dan ia sekilas melihatku dengan air muka kebingungan. Memang apa yang dia harapkan? Aku berteriak senang gitu?!! "I—iya, Rei. Bukannya ini berarti kita enggak ada masalah lagi soal Cheva?" kelitnya.
Kuhela napas dalam, "Kamu pergi berduaan dengannya tanpa kabar apa pun seharian kemarin dan sekarang kamu sampaikan berita ‘gembira’ ini ke aku?—Kamu pikir aku akan senang mendengarnya, Lang?!" semburku sedikit emosional.
Ia mengembuskan napasnya, "Ah ya! Aku belum bilang alasan kenapa aku enggak kasih kamu kabar seharian kemarin, ponsel aku mati, Rei dan—."
Aku menggeleng keras, "Aku enggak perlu alasan kamu, Lang!" lontarku membuatnya termangu menatapku. "Tapi ada yang mau kusampaikan juga," kataku. Elang tidak menyahut lagi, tapi ia seperti bersiap diri mendengarkan apa yang akan kusampaikan. "Aku ... pergi menemui Dino di puncak tadi malam," ujarku.
Mata Elang melotot ke arahku dan ia menepikan mobilnya dengan tiba-tiba. "Apa kamu bilang?! Kamu nemuin DINO?"
Aku mengangguk sembari menghela napas. "Aku datang ke restoran yang waktu itu kita datangi," ujarku terus terang. Entahlah saat ini sepertinya aku ingin Elang merasakan apa yang kurasakan kalau ia sedang berduaan sama Cheva, mantan selingkuhannya itu!
"Apa maksud kamu datang nemuin Dino, Rei?! Kamu tahu dia bisa bikin kamu celaka, kan?!!" semburnya marah.
"Tapi buktinya aku baik-baik saja sampai sekarang, kan?" kelitku, "mungkin Dino enggak sejahat yang kamu pikir, Lang!" dengusku kesal.
Mata cokelatnya menyorotku tajam. "Jadi menurut kamu dia cowok baik? Lantas kamu jadi suka sama dia, terus kamu mau juga pacaran sama dia, huh?" cecarnya murka.
Ekspresinya berubah drastis. Dia baru saja memohon padaku tadi, tapi sekarang ia malah menuduhku yang bukan-bukan. Aku menghela napas, "Kamu keterlaluan, Lang. Aku buk—"
"TURUN!!"
Mataku mendelik memandang matanya yang menyala karena api cemburu. Tangannya menunjuk ke arah pintu di samping tubuhku. Aku masih tidak percaya dia memintaku turun dari mobilnya di tengah jalan seperti ini hanya karena emosinya yang tidak beralasan. "Lang, kamu apa-apaan sih?"
"TURUN SEKARANG JUGA! Dan kamu ingat ini! Kalau kamu dengan sengaja ketemu cowok b******k itu lagi, dan sengaja untuk membuatku marah. Maka terima marahku!!" hardiknya. "Dan jangan salahin aku kalau Cheva atau siapa pun jadi pelarianku lagi!!"
Mataku membeliak demi mendengar kalimat yang keluar dari bibirnya yang sempat memabukkanku itu. Dadaku meradang—panas mendengar ancamannya. "f**k you, Lang!!" makiku seraya membuka pintunya dan melompat turun dari mobil secepat mungkin. Kubanting pintu mobilnya dengan keras dan pergi menjauh dari mobilnya. Dia pikir aku akan memohon agar tetap membiarkanku dalam mobilnya. Tidak akan!
Kakiku berlari menuju halte terdekat dan menunggu bisku di sana sampai mobil Elang sudah tidak terlihat lagi.
***