[Kamu tidak perlu lari, aku tahu bagaimana caranya untuk mundur
- sepercikkisah.blogspot.com –]
Pembahasan soal Elang ingin aku pindah ke apartemennya berlanjut sampai rumahku. Ia baru berhenti ketika kuajukan persyaratan padanya, jika masalahnya dengan Cheva selesai—aku akan mempertimbangkan usulnya. Dan ia setengah hati menerima syaratku karena rasa cemasnya soal Dino.
Elang baru pulang saat jarum jam menunjukkan pukul dua belas malam. Dan semalaman aku memikirkan tawarannya yang tidak masuk akal itu. Hanya karena Dino mencariku ia berasumsi kalau aku dalam bahaya. Memangnya Dino akan melakukan apa kepadaku??
***
Seperti kuduga sebelumnya, hari ini aku duduk sendirian lagi di dalam kelas. Beberapa pasang mata menatap aneh padaku, dan kali ini aku benar-benar tidak peduli. Ditambah ketika Elang masuk kelas dan mengusir orang di sebelahku untuk pindah duduk. Sekilas kulihat Ruth dan Ina menatap sinis ke arahku. Sementara Elang bersikap seolah tidak ada masalah sama sekali saat tangannya dengan santai merangkul bahuku.
Kejadian Cheva bukannya tidak berpengaruh padaku, namun kali ini aku ingin memberinya kesempatan untuk membuktikan kata-katanya. Lagi pula apa yang terjadi antara Cheva dan Elang itu kan memang sebelum adanya 'kami'.
Bahuku sedikit miring untuk menghindari rangkulannya dan itu membuatnya menatapku aneh. Mungkin ekspresiku menjawab semuanya, sehingga tangannya melepaskan bahuku.
***
Elang bernyanyi dengan gitarnya, sesekali matanya melihat ke arahku dan Rosa yang ada di balik meja bar. Sikut Rosa bolak balik menyenggol tanganku, "Si Bos nyanyinya menghayati banget, Rei," cetusnya. Bibirku melengkung tersenyum, ketika menyadari bahwa mata cokelat itu memang fokus kepadaku. Sampai beberapa mata terpaksa harus menoleh ke arahku. Mereka pasti penasaran ke mana mata Elang itu memandang.
Dadaku menghangat ketika ia dengan lantangnya berujar, "To my girl ... Kirei." Ia menunjukku dengan tangannya dan memberikan gitarnya pada salah satu personil band café yang akan perform.
Bukan hanya dadaku yang berbunga-bunga, pipiku juga pasti merah merona karena Rosa dan teman lainnya sibuk menggodaku. Namun suasana berubah tegang ketika Rosa melihat seorang pelanggan wanita yang datang memasuki area panggung dan menuju ke arah Elang.
Wanita itu yang kutahu bernama Cheva itu langsung memeluk Elang, walau dari gesturnya aku tahu Elang berusaha menolaknya. Tapi wanita itu masih berusaha memeluk Elang. Dari tempatku berdiri, aku tidak bisa mendengar apa yang dibicarakan perempuan itu pada laki-laki yang baru saja memujaku tadi. Dadaku meradang ketika Elang justru menarik wanita itu ke arah belakang. Seketika tatapan Rosa berubah melihatku. "Rei, kamu baik-baik aja kan?" Ia menyentuhkan tangannya pada bahuku.
Aku mengangguk sambil tersenyum kecut dan kembali pura-pura menyibukkan diri.
Selang beberapa saat kemudian. "Kirei."
Aku menoleh ke arah suara dan mendapati Elang bersama dengan Cheva di belakangnya, ada di depan meja bar. "Ya," sahutku menghampirinya.
"Aku harus pergi...," pamitnya dengan eskpresi seolah hanya aku yang tahu untuk apa kepergiannya itu. Ia meraih tanganku, "sebentar saja...," lanjutnya.
Aku mengangguk dengan berat hati.
"Ngapain sih kamu, Lang. Pakai pegang tangan pelayan segala!?" hardik Cheva.
Elang menghela napasnya dan menatapku, kemudian berpaling ke arah perempuan sinis itu, "Pelayan ini pacar gue!" tegasnya lantang.
Giliran mata Cheva yang membesar ke arahku, menatapku tajam seolah tatapannya itu sanggup membunuhku. Ia kembali melihat ke Elang, rahangnya berdenyut menahan cemburunya, "Kamu pasti sengaja bohong kan, Lang? Enggak mungkin kamu ... sama cewek kayak dia??"
Kepala Elang menggeleng, "Gue cinta sama dia!" akunya tegas sembari melambaikan tangan padaku. Ya tentu saja ia tidak mau semua karyawannya mengetahui masalahnya. Kaki kurus Cheva ikut berlari kecil mengikutinya, sepatunya yang tinggi membuatnya sedikit tertinggal. Bayangan mereka menghilang di balik dinding pemisah area bar dan ruang belakang.
Leo muncul dari arah yang sama, ia melihat ke arahku dengan tatapan prihatin. Ia berjalan menghampiriku, "Kamu—"
"Aku enggak apa-apa ... kalau itu yang kamu mau tanya." Dan ia mengangguk pelan, setelah itu tidak bertanya lagi.
***
Elang kembali ke café dan mengantarku pulang, namun sejak bertemu kembali sampai sekarang tiba di rusunku ia tidak bersuara sama sekali. Air mukanya juga berubah, ini pasti berkaitan dengan Cheva. Dugaanku, Cheva benar-benar mengandung anaknya. Kalau ini benar, maka semuanya akan selesai.
"Aku langsung pulang ya Rei," pamitnya tidak seperti biasanya. Wajahnya lesu dan seperti menanggung beban berat. Dugaanku semakin kuat.
Aku menelan ludah sambil mengangguk, padahal mulutku ingin sekali melontarkan pertanyaan, bagaimana hasil tadi dengan Cheva? Tapi suaraku tercekat ketika Elang langsung melajukan mobilnya meninggalkan rusunku.
Demi Tuhan aku tidak merasa nyaman dengan apa yang kurasakan sekarang. Seharusnya aku marah karena ia tidak memberitahu hasil pembicaraannya dengan Cheva yang berlangsung setengah harian tadi. Kenapa aku jadi lembek seperti ini? Apa karena aku juga takut kehilangan dia?
Pintu rumahku terbuka lebar karena terdorong tubuhku yang gusar. Kulempar tasku ke arah sofa dengan emosi dan menutup pintunya dengan tendangan. Kakiku melangkah ke kamar mandi dan mengguyur diriku dengan air dingin untuk menenangkan diri.
Sepuluh menit kemudian seseorang mengetuk pintuku dengan keras, "Kirei, buka!"
Dan laki-laki itu masuk begitu saja ketika pintunya baru kubuka setengahnya. Ia langsung memelukku seraya satu kakinya menendang pintunya agar menutup rapat. "Maafin aku Rei, aku tadi udah b******k ngebiarin kamu naik ke atas sendirian," katanya.
Sementara aku masih membeku termangu dengan sikapnya sekarang. Tangannya mengusap punggungku dan di situlah aku tersadar bahwa pakaianku saat ini sangatlah tidak manusiawi. Lagipula tadinya aku hanya berniat untuk mengintip dari balik pintu untuk melihat siapa yang datang. Elang menjauhkan dirinya sambil memegang bahuku dan mata cokelatnya membesar memandangku dari atas sampai kakiku tanpa berkedip. Ia pasti sedang berpikiran m***m sekarang karena melihatku berpakaian menerawang seperti ini. Tangannya kulepaskan dan aku berlari ke dalam kamar untuk segera berganti baju.
"Padahal aku lebih suka kamu pakai baju yang tadi, Rei," katanya setelah melihatku keluar kamar dengan pakaian yang lebih tertutup.
Aku berdecak menanggapinya.
"Kamu seksi banget pakai baju tadi, Rei."
"Aku tahu."
"Terus buat apa dibeli kalau enggak ada yang lihat kamu pakai?"
"Sssh, sudah enggak usah dibahas," selaku, "bahas kamu saja," ujarku sembari duduk di sofa kecilku dan memeluk bantalan. "Kamu balik lagi, pasti ada yang mau kamu sampaikan, kan?"
Ia duduk di sebelahku, dan memeluk pinggangku dari belakang. "Aku mau peluk kamu, enggak mau lepasin kamu, Rei," ujarnya sambil menempelkan bibirnya di bahuku yang terbuka karena atasanku yang agak longgar.
Aku melepaskan diri darinya dan memutar tubuhku untuk menghadap cowok dengan lesung pipi yang dalam itu. "Bagaimana hasil pemeriksaan tadi?"
Elang mengembuskan napasnya, "Kirei, aku ingin kamu berjanji dulu, apapun yang aku jelasin ke kamu tentang Cheva enggak akan merubah perasaan kamu ke aku...."
Perasaanku tidak akan berubah, tapi mungkin hubungan kita yang akan berubah, Lang. Hatiku mulai tidak enak, kutarik napas dalam-dalam untuk menghirup oksigen sebanyak mungkin. Bersiap untuk kemungkinan terburuk.
"Cheva benar-benar hamil, tapi itu belum membuktikan bahwa janin itu punyaku, Rei."
Aku terbatuk hebat dan beranjak dengan gusar dari sofa menuju ke lemari es untuk mencari air dingin yang bisa membuatku lebih enak. Kutuangkan satu gelas air dingin dan minum beberapa teguk untuk meredakan rasa syokku. Biar bagaimanapun lututku lemas mendengar wanita itu benar-benar hamil. "Tapi kemungkinan itu ada, kan Lang?"
"Tapi aku enggak berharap kemungkinan itu ada, Rei!" sergahnya.
"Harusnya kamu berpikir kemungkinan seperti ini setiap kali kamu meniduri cewek-cewek kamu itu, Lang!" semburku kesal dan cemburu.
Elang menatapku dengan mata membesar, mungkin ia syok melihatku marah dan berkomentar buruk. Kalau memang Cheva mengandung anaknya, tidak mungkin aku tetap bersamanya kan? Tentu saja dia harus bertanggung jawab! "Apa yang akan kamu lakukan kalau ternyata janin itu benar-benar milik kamu, Lang?" tanyaku.
"Kamu itu harusnya mendukungku, Rei. Aku itu cintanya sama kamu! Bukan sama cewek yang suka cari perhatian itu!" kelitnya berapi-api sambil berdiri dan menghampiriku.
Bukannya melunak, dadaku malah makin memanas, "Tapi cewek yang suka cari perhatian itu selalu bisa memuaskan kamu, kan? Buktinya kamu selalu lari ke dia dan sekarang dia hamil!!" berondongku tidak mau kalah.
Mata cokelatnya makin berkilat, "Aku lari ke kamu sekarang, dan sikap kamu malah begini, Rei?!" tukasnya. "Kamu mau aku nikahin dia dan ninggalin kamu?? FINE!!" Tubuhku terlonjak kaget mendengar suaranya yang keras sambil menggebrak meja makan. Dalam keadaan marah ia berjalan keluar dari rumahku dan membanting pintunya dengan keras.
Mataku terpejam dan memanas dengan sendirinya.
***