DUA PULUH

1527 Words
[We created stories, We told stories too, Now the stories are all over, What's left is only you - Akanksha Gulia -] "Tolong bilang maaf sama Mama kamu ya Sean." "Iya Kirei, kamu tenang aja...." "Kamu juga hati-hati ya, maaf aku enggak bisa nemenin kamu ke bandara." "Mendingan jangan deh, dari pada aku kena pukul lagi sama pacar kamu yang posesif itu." ujarnya sambil terkekeh di ujung sana. Aku tertawa pendek. "Haha, iya juga ya." "Tapi kelihatannya dia sayang banget sama kamu." "Iya Sean." "See you Kirei." "See you Sean. Semoga lancar penerbangan ke London ya." *** Tenggorokanku tercekat ketika mendapati Elang yang sedang berdiri di depan gedung kampus. Aku menelan ludah dan memandang sekitar ketika melihatnya melangkah menghampiriku. "Pagi, pacar," sapanya menyamai langkahku. Mataku melihat sekitar sekali lagi, "Pagi, kamu ngapain di sini?" "Nungguin pacar aku." Bibirku melengkung membentuk sebuah senyuman kecil, "Kenapa ditungguin?" Kepalanya agak mendekat ke telingaku dan berbisik, "Mendadak kangen," gombalnya. Sontak perutku bergejolak aneh karena mendengar kata manisnya barusan. Sekilas aku menatapnya dan bergumam pelan, "Aku juga...," balasku sambil mempercepat langkahku menjauh darinya dengan pipi merah merona. Untungnya kali ini Elang tidak mengejarku, mataku membesar ketika melihatnya memutar tubuhnya kembali ke parkiran motor dan memakai helmnya. Hah? Bukankah dia juga ada kelas pagi ini? Aku masih memperhatikannya dari kejauhan sambil menempelkan ponsel pada telingaku. Kulihat ia meraih ponsel di saku celananya dan melihat ke arahku sambil membuka kembali helmnya. "Kamu mau kemana?" "Pulang." "Huh? Tapi bukannyakamu kan ada kuliah pagi ini?" "Aku kuliah sama kamu aja nanti siang." Apa? Jadi dia ke kampus cuma mau bilang kangen padaku, terus pulang lagi? "Aku mau tidur, karena semalaman aku enggak bisa tidur, mikirin kamu." "Kamu gila...." "Kamu yang bikin." Aku berdecak. "Lagi pula di kampus enggak bisa nempel-nempel sama kamu, enggak seru!" "Issh." Bukan Elang kalau tidak membuatku geleng-geleng kepala. *** Duduk berdampingan lagi dengan Ruth dan Ina selalu membuatku merasa bersalah. Perasaan mengganjal ini harus dihilangkan dengan cara berterus terang kepada mereka berdua tentang hubunganku dan Elang. Jadi ketika dosen menyudahi kuliahnya, aku menahan Ruth dan Ina agar tetap di tempatnya. Mereka menatapku dengan ekspresi aneh, namun tetap bergeming di tempatnya. "Aku minta waktu kalian sebentar...," ujarku. Air muka Ruth dan Ina berubah serius, "Perasaanku kok enggak enak," cetus Ina. Helaan napas panjangku makin membuatku terlihat gugup. Mataku menatap mereka bergantian dengan perasaan tidak menentu. Kemudian pandanganku menetap pada Ruth, "Sebelumnya aku mau minta maaf, Ruth, kalau keputusanku ini membuatmu kecewa dan menganggapku sebagai teman yang berkhianat," paparku. Ruth dan Ina memicingkan matanya tajam padaku seolah menuntut kelanjutannya lagi. Pada saat ini aku kesulitan menelan ludah. "Sepertinya aku tahu kemana arah pembicaraan kamu, Rei," sela Ruth. Kepalaku mengangguk cepat, "Iya, mungkin apa yang kamu pikirkan benar Ruth. Aku mau mengatakan bahwa aku menerima cinta El—" Ina berdiri dengan gusar dan memotong kalimatku, "Kamu gila ya Rei?" serunya. "Kamu sadar kan kalau dia itu cuma menjadikan kamu sebagai taruhannya?" "Aku enggak nyangka kamu berubah seperti ini, Rei!" Ruth ikut menyudutkanku dengan raut muka penuh kecewa. "Padahal kita begitu percaya kalau kamu sudah menolak cowok itu...." "Aku sudah berusaha menolaknya, Ruth. Tap—" "Kamu bohong Rei!" potong Ruth. "Dari awal aku tahu kalau kamu memang cuma bersandiwara menolak Elang. Kamu sengaja menjauhkanku dari Elang supaya kamu bisa deketin dia kan? Di tambah kamu memohon sama Pak Yanuar untuk jadi tutornya!" cecar Ruth sambil berdiri. Huh? Kenapa Ruth jadi menuduhku seperti itu? Dadaku panas mendengar tuduhannya yang bertubi-tubi. "Hati-hati Ruth, aku sama sekali bukan seperti yang kamu tuduhkan tadi," tampikku. "Aku hanya mengikuti kata hatiku, dan maaf kalau itu ternyata membuat kalian marah...." "Ya jelas! Karena sebelumnya kamu melarangku untuk mengikuti kata hatiku!" balas Ruth didukung dengan anggukan kepala Ina. "Sekarang begini saja, kamu pilih, Rei," usul Ina, "Kita atau Elang," lanjutnya. Jantungku berdegup kencang, tapi aku sudah menduga ini akan terjadi. Walaupun yang kuharapkan mereka bisa bersikap netral dan mendukungku sebagai sahabatnya. "Aku cinta sama dia, Na," ungkapku. Ina memandangku sambil menggelengkan kepalanya, "Aku kira kamu itu cewek cerdas, Rei," sindirnya. "Sekarang kamu lebih memilih cowok itu daripada persahabatan kita. Bagiku itu sudah menunjukkan siapa kamu sebenarnya." Ia meraih tasnya dan mengajak Ruth untuk pergi juga dari hadapanku. Sebelum jauh, Ina menoleh kepadaku dan berkata, "kamu akan sakit hati karena cowok itu, Rei. Percaya padaku." Mataku terpejam seraya menarik napas panjang. Aku memang sudah mempersiapkan mental akan kehilangan mereka lagi, tapi tetap saja mataku memanas mengingat aku sudah menyakiti mereka dengan memilih Elang. *** Elang menjemputku karena aku meneleponnya tadi. Mata cokelatnya menenangkan hatiku ketika jarinya menyapu sisa air mataku di sudut mataku. "Kamu enggak salah, Rei," katanya seraya tangannya menarikku dalam pelukannya. Tubuhku tidak lagi menolak ketika itu terjadi di parkiran kampus. Biarkan semua orang melihat bahwa Kirei jatuh dalam perangkap Elang dan menjadi mangsa baru cowok berlesung pipi itu. Aku tidak peduli! Elang benar, seharusnya sejak awal aku tidak usah terlalu peduli dengan gunjingan orang lain. "Kamu enggak butuh mereka, kamu cuma butuh aku...," bisiknya. Walau mataku masih terasa basah, tapi bibirku menyunggingkan senyum. Kepalaku bersandar di dadanya yang lebar dan keras. Suara detak jantungnya sedikit lebih cepat—membuat senyumku lebih lebar lagi—karena tahu penyebabnya. "Aku senang bisa meluk kamu sebebas ini di kampus," kelakarnya. Ck, tuh kan, playboy m***m dasar. Aku pun melepaskan diri darinya dan mengangkat diriku ke belakang motornya setelah Elang menghidupkan mesinnya. Kupeluk pinggangnya dengan erat seolah ingin menunjukkan bahwa hanya aku yang bisa memeluknya seperti ini. *** Beda lagi situasi di café, ketika Rosa melihatku masuk bergandengan tangan dengan bosnya, air muka berubah bahagia dan diam-diam memberiku dukungan. "Aku senang akhirnya kamu menyerah dan memilih cinta kamu, Rei," kilahnya. "Kamu dan si bos itu cocok banget! Sama-sama bisa nyanyi, ganteng-cantik, aku bahagia lihat pipi kamu merona terus," godanya. Kata orang bahagia itu sederhana, sesederhana mencintai dan dicintai. Rosa benar, pancaran kebahagiaan ini tidak mau pergi dari wajahku—katanya. Mungkin karena hari ini aku juga merasa lega sudah melepaskan beban berat—yaitu memberitahu Ruth dan Ina—perihal aku dan Elang. Kakiku berderap menaiki tangga menuju lantai dua—kantor Elang. Sudah pukul delapan tiga puluh malam dan sebentar lagi jam kerjaku sudah selesai. Walau tadi sudah bertemu dengannya dan sempat bernyanyi bersama, tapi aku tetap ingin menemuinya lagi. Langkahku terhenti saat kudengar suara Leo dari dalam ruangannya. Suaranya samar-samar terdengar. "Ngapain Dino cari Kirei ke sini?" Suara Elang bertanya. "Ya, dia awalnya cari lo, terus dia tanya juga soal cewek yang lagi lo deketin." "Gue ketemu Dino di puncak beberapa hari lalu, Tapi dia tahu dari mana cafe ini?" tanya Elang. "Cheva yang kasih tahu soal cafe ini...." "Oh pantas." Ada jeda beberapa detik, kemudian terdengar lagi suara Leo, "Oh iya, ini dari Cheva, tadi malam dia ke rumah gue dan titip ini buat lo," katanya. Terdengar suara seperti selembar kertas yang dirobek kasar, "Apaan nih?!! Ngapain dia ngasih ginian ke gue?!!" terdengar suara Elang yang sangat emosi. Cheva titip apa kira-kira sama Leo? "Lo harus bicara sama Cheva, Lang. Ini serius, karena gue enggak ma—" "Alaaah!" potong Elang. "Dia itu drama queen, Le! Gue selalu main aman sama dia, dan ini enggak mungkin!" Jantungku berdegup kencang sambil berusaha mencerna pembicaraan mereka. "Gue percaya sama lo, Lang. Tapi dia mengaku enggak ngelakuin hal itu selain sama lo sejak terakhir lo ketemu dia! Itulah kenapa lo harus temuin dia dan bicarain hal ini baik-baik!" Mataku membesar sambil menelan ludah, mulai memahami arah pembicaraan mereka. "Dan gue enggak percaya dia!" tampik Elang dengan keras. "Dia—" Kalimat Leo terpotong karena sekarang keduanya menoleh ke arahku yang sudah berdiri di ambang pintu. "Kirei? " Elang yang pertama kali menyapaku dan menghampiriku. "Sejak kapan kamu ada di situ?" Aku mengangguk sambil tersenyum kecut, "Sejak Leo bilang Cheva menitipkan sesuatu padanya...," sahutku. Elang menghela napasnya, "Rei ... aku bisa jelas—" Aku meraih tangannya, "Aku enggak marah Lang," potongku. "Tapi buktikan padaku bahwa wanita itu memang hanya mengada-ada," kataku. Lesungnya semakin dalam, "Thanks God, Rei." Tangannya meraih pinggangku. "Aku akan buktiin ke kamu!" janjinya sembari menyisir lembut rambutku dengan jarinya. "Aku janji akan buktiin bahwa Cheva cuma bersandiwara, dia hanya kehabisan cara mencari perhatian aku, Rei," dalihnya. "Lagi pula aku selalu menggunakan pengaman." "Pengaman itu ada 1% kemungkinan gagal, Lang. Jadi belum tentu aman—yang aman adalah enggak melakukannya...," timpalku agak sinis. "Rei," Elang dengan ekspresi memohonnya dan menjauhkan tubuhku sambil memegang kedua bahuku. Aku mengalah dan memilih diam saja. "Ehem!" Leo berdeham, "sepertinya aku harus pamit sekarang," katanya. Leo menghampiriku dan menepuk pundakku, "terima kasih, Rei," ucapnya sambil melangkah keluar ruangan. Terima kasih untuk apa? Elang menyentuh pipiku, tangannya hangat, "Rei, kamu masih ingat Dino kan?" tanyanya dan aku mengangguk. "Dia ke sini cari kamu...." Ia mendengkus pelan sambil jari-jarinya menyelipkan helai rambutku yang terurai ke belakang telingaku. "Aku takut dia bertemu kamu saat aku enggak ada di samping kamu, Rei," kilahnya. Keningku berkerut, "Uhuuum ... terus?" "Aku enggak akan pernah biarin dia deketin kamu dan melakukan sesuatu yang buruk ke kamu. Kamu tahu aku bisa bunuh orang yang melakukan itu ke kamu, kan, Rei," ujarnya, membuatku tersanjung dan ngeri sekaligus. Aku melihat ke manik mata cokelatnya, mencoba merangkai kalimatnya pelan-pelan. "Dengar Lang—" "Enggak, kamu yang dengar aku," potongnya. "Sepertinya akan lebih aman kalau kamu tinggal sama aku, Rei," usulnya dan mataku membesar ke arahnya. Kakiku melangkah mundur sembari menelan ludah dan terus menyorot matanya tajam. Baru beberapa hari resmi jadi pacarnya, ia sudah mau mengajakku tinggal bersama?? Gila atau bagaimana? "Kamu gila ya?" tukasku gusar. "Aku udah bilang kamu yang bikin aku begini—gila," sahutnya cepat. "Aku enggak mungkin pindah ke apartemen kamu, apa kata orang nanti?" "Bu Lurah yang selalu peduli mulut orang lain," sindirnya. "Aku enggak mungkin dan enggak mau pindah ke apartemen kamu!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD