SEMBILAN BELAS

1762 Words
[Go confidently in the direction of your dreams! Live the life you've imagined. - Henry David Thoreau-] Untuk pertama kalinya aku berani bolos kuliah atas keinginanku sendiri setelah kecanggungan tadi malam bersama Elang. Dan sekarang aku mendapati diriku sudah berada dalam bis menuju suatu tempat. Bukan tempat mencari ketenangan memang, aku hanya ingin mengalihkan pikiranku dari laki-laki bermata cokelat itu. Tante Ida mememelukku penuh suka cita ketika menyambutku di depan pintu rumahnya. Ia sangat menyayangiku, karena aku adalah sahabat anaknya, Sean—cinta pertamaku. Tante Ida menuntunku masuk ke dalam rumahnya yang rapi dan bersih. Aku sempat mendambakannya sebagai ibu mertuaku, ujung bibirku menyunggingkan senyum mengingat hal konyol itu. "Kirei??" Suara berat seorang lelaki yang sangat familier membuatku menoleh ke belakang dan aku terperangah melihat sosoknya ada di rumah ini. "Sean!?" Mataku berbinar dan menghambur ke arahnya, tapi berhenti tepat di depannya, ketika ia sudah merentangkan tangannya untuk menyambutku. Alisnya berkerut jadi satu.Sean Morgan adalah cinta pertamaku waktu SMA. Ia berperawakan tinggi, berkulit sawo matang bersih, dengan mata abu-abu yang teduh, sangat sempurna di mataku. Tapi Sean tidak pernah tahu perasaanku secara langsung dan aku merasa puas dengan hanya menjadi sahabatnya. Ia melanjutkan kuliah chemistry ke London dan kami tidak pernah bertemu lagi sejak itu. Hanya beberapa kali bertelepon saat ia di sana—London, namun tidak lagi sejak dua tahun lalu. Setelah berada dalam keadaan canggung beberapa detik, ia meraih tanganku dan saling berciuman pipi, seperti dulu. Ia tertawa pendek melihatku menjadi sangat kaku di depannya. "Rei??" panggilnya. "Kok kamu makin cantik sih...," godanya. “Enggak operasi plastik kan?” Aku merengut mendengar tudingannya. “Enak saja! Uang dari mana untuk operasi plastik? Yang ada nanti pakai plastik kresek,” timpalku sambil tertawa. "Mama berpikir begitu juga, Sean. Kirei memang makin cantik," sambar Tante Ida. Aku berdecak sambil memandang diri sendiri. Ini pasti karena aku bukan memakai celana jeans seperti biasanya. "Sean, kenapa kamu enggak kabarin aku kalau sedang di sini sih?" tanyaku sembari menuju meja makan yang ditunjuk Tante Ida, Sean mengikuti langkahku. Ia menempati kursi setelah menarik kursi untukku, "Aku juga baru sampai tadi malam...," jawabnya, "kamu sendiri?" Ia balik bertanya penuh selidik. “Kenapa enggak ada kabar-kabar lagi, huh?” "Sudah-sudah ... tanya jawabnya nanti saja, sekarang sarapan dulu," ajak Tante Ida. Aku dan Sean mengangguk dan menyendok masakan Mamanya. Seketika aku teringat ibuku. "Aku minta maaf enggak ada di sini waktu ibu kamu meninggal Rei," ujar Sean melihat ke arahku seolah ia tahu kalau aku sedang memikirkan ibuku. Ujung bibirku tertarik paksa. Saat menyakitkan itu sudah terlewati dan aku tidak ingin mengingatnya lagi. "Iya Sean, aku tahu. Tapi ada Mama kamu waktu itu...." Aku melihat Tante Ida yang menyunggingkan senyum malaikatnya. *** "Kamu lama di sini, Sean?" tanyaku sambil meraih camilan yang ada di meja belajarnya dan membawanya ke tempat tidur. Kamar Sean berukuran sedang dengan barang-barang yang minimalis. "Jangan makan di tempat tidur, Rei," tukasnya. Dan ia adalah cowok paling bersih yang pernah kukenal. Aku langsung melompat dari sana, "Ups, maaf. Kukira kamu sudah agak lunak soal itu," ucapku terkekeh dan mengembalikan toples camilannya ke tempat semula. "Aku enggak lama di sini—besok aku harus kembali lagi," jawabnya. Bibirku melengkung ke bawah agak kecewa, "Pasti enggak boleh lama-lama sama pacar kamu ya," tudingku. Ia terkekeh geli, "Kami udah enggak sama-sama lagi, kok." Kedua alisku meninggi, hatiku mendadak lega, tapi perasaan itu berubah ketika wajah berlesung pipi melintas begitu saja di pelupuk mataku. "Owh," gumamku. "Kamu gimana? Udah ada yang mau belum?" tanyanya sambil terkekeh jahil. "Aku nih barang langka, jadi yang butuh juga langka sepertinya...," sahutku sambil tertawa kecut. Kami lebih banyak bernostalgia masa SMA sambil membuka-buka album foto lama. Kebetulan Sean suka sekali fotography dan ia punya banyak koleksi foto kami sewaktu SMA. Kami larut dalam masa lalu sampai tidak menyadari waktu berlalu begitu cepat. Sudah jam satu siang dan seharusnya aku bergegas ke café untuk bekerja. Sedangkan ponselku masih dalam keadaan mati, Elang pasti sudah seperti orang gila mencariku. "Rei? Kamu kenapa?" tanya Sean. "Aku harus kerja, Sean," sahutku sambil berdiri dan meraih tasku. Air muka Sean berubah simpati, "Aku antar kamu ya ... tunggu sebentar," ujarnya berlari dan kembali dengan ponsel dan kunci mobil di tangannya. Kening Tante Ida berkerut melihatku berpamitan, "Tapi Tante sudah siapkan makan siang lho..." ucapnya, "makan dulu?" Aku menggeleng dan menjelaskan situasinya sampai akhirnya ia mengangguk dan mengizinkanku pergi—dengan catatan kembali lagi besok untuk makan siang sebelum Sean pergi. Walau ragu-ragu, kepalaku mengangguk juga. Ini supaya ia cepat membolehkanku pergi. "Semangat Sean, Mama merestui kalian berdua! Sebelum Kirei diambil orang!" serunya dengan suara keras. Membuat Sean membulatkan matanya pada wanita yang punya senyum malaikat itu. Sayangnya hatiku memang sudah dimiliki orang lain. Seandainya ini terjadi sebelum ada Elang. "Jangan dengerin Mama, Rei," ujarnya. Ia memang selalu menolak ejekan mamanya dengan alasan persahabatan. Ia mendorongku keluar dengan tangannya. *** "Jadi kamu bolos kuliah, karena malas ketemu pacar kamu?" tanya Sean saat kami di dalam mobil. Aku mengangguk sambil menimbang-nimbang ponsel ditanganku. "Aku enggak nyangka kamu bisa punya pacar Rei," katanya sambil melihatku. Huh? Dia pikir aku enggak laku atau bagaimana? Mataku memicing menatapnya. Sean menarik kedua ujung bibirnya membentuk senyuman menyebalkan. Dan ia malah tertawa lepas ketika aku memukul bahunya yang keras. Ia melihat ke arah ponselku, "Sebaiknya kamu nyalain ponsel kamu, aku yakin pacar kamu pasti khawatir enggak nemuin kamu di kampus ataupun di rumah kamu, Rei," sarannya. Aku terdiam sambil berpikir bahwa Sean ada benarnya. "Kalau kamu mau berkomitmen sama seseorang, itu artinya kamu harus berkomitmen juga sama masa lalunya. Dan setiap orang berhak punya kesempatan untuk berubah, Rei," ujarnya bijak seolah mengenal Elang saja. Aku hanya terpaku menatapnya dan membayangkan Elang yang sedang cemas mencariku. Rentetan notifikasi pesan masuk ketika ponselku menyala sempurna. [Kamu di mana, Rei?] [Di mana, Rei?] [Rei di mana?] [Sialan Rei! Nyalain ponsel kamu!] [Rei!] [Kalau kamu marah, enggak begini caranya.] [Aku kahawatir Rei.] [Please Rei.] [Kamu bisa maki aku sepuas kamu, Rei.] [KIREI MUYASSA, kamu di mana????] [Demi Tuhan aku khawatir, Rei.] Dan masih berentet pesan yang kurang lebih isinya sama. Panggilan tidak terjawabnya ada 100 kali lebih! Aku balik meneleponnya, tapi giliran ponselnya yang tidak aktif. Mata abu Sean mengarah padaku, ia mengangguk ketika aku mengucapkan terima kasih karena sudah mengantarku sampai café. Namun dalam hitungan detik aku melihat tubuhnya terseret keluar dari mobil dan tersungkur di sisi mobil akibat pukulan keras dari Elang yang entah muncul dari mana. Jeritanku tidak menghentikannya dari memukuli Sean, sampai aku berhasil mendorongnya dari atas tubuh Sean. "Berhenti LANG!!" Mataku menyorotnya tajam. Ia berdiri sembari balik menatapku dan berganti memandang sinis ke arah Sean yang kucoba bantu berdiri. Matanya yang menyala penuh api cemburu kembali melihat ke arahku, "Aku cemas setengah mati, dan kamu senang-senang sama cowok lain, Rei?" tudingnya, membuat Sean bergerak ke arahnya, namun aku berhasil menahannya. "Hentikan Lang atau kamu akan menyesal karena menuduhku macam-macam," sergahku. "Dia sahabat SMA-ku—Sean." Ia terkekeh mengejek, "Sahabat, huh?" gumamnya sambil menatapku penuh selidik. Sean maju menghalangiku, "Dengar, aku enggak akan biarin Kirei ditud—" Aku dengan cepat berada di tengah-tengah mereka karena dari gestur Elang sepertinya ia akan melayangkan tinjunya lagi. Sedangkan sudut bibir Sean sudah berdarah. "Rei, dia enggak berhak nuduh kamu...." "Ini bukan urusan kamu Sean, sebaiknya kamu pulang," usirku dengan raut memohon sambil mendorong tubuhnya untuk masuk lagi ke dalam mobilnya. "Maafin aku Sean...," ucapku. Elang tidak seharusnya membuat bibir Sean berdarah seperti itu, dasar laki-laki temperamen! Selalu saja kekerasan yang jadi penyelesaiannya. Aku berbalik dan melihat ke arahnya yang masih memperhatikan mobil Sean pergi, sedetik kemudian pandangannya beralih padaku. "Jadi kamu seharian sama dia?" Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku, “Setengah hari,” ralatku. Dan demi Tuhan aku melihat ketidak percayaan diri di raut wajahnya. Aku mendekatinya dan ternyata balasan pukulan Sean juga membuat tulang pipinya memar berwarna merah. "Kamu enggak bisa ya, menyelesaikan masalah dengan bicara baik-baik?" cetusku sambil meraih tangannya dan menariknya masuk ke dalam café lewat pintu belakang. Ia mengikutiku tanpa perlawanan. Ia masih terdiam ketika aku mengolesi luka memarnya dengan gel pereda nyeri. Kemudian Elang merebahkan kepalanya di sofa sambil menghela napas panjang. "Aku enggak tahan lihat kamu berduaan sama cowok lain...," katanya. Dengan duduk di sebelahnya saja jantungku berdebar tidak karuan. Inilah efek Elang padaku. Mata cokelatnya menatapku, sementara tangannya meraih pinggangku mendekatinya. "Kamu jahat, Rei," lirihnya. "Ish, kamu yang nyebelin tahu enggak!" selaku sambil mencubit hidungnya. Bibirnya mencebik, "Iya, tapi cowok nyebelin ini cinta banget sama kamu...," ungkapnya. Kepalaku mengangguk cepat, "Aku baru sadar kalau aku juga cinta sama cowok nyebelin kayak kamu...," cetusku dengan pipi menghangat. Entah keberanian dari mana aku berani mengungkapkan perasaanku seperti sekarang. "Tapi aku bukan Cheva yang bisa membuatmu rileks dengan layanan seks seperti yang kamu butuhkan, Lang." Ia menggeleng cepat sembari menangkup kedua pipiku. Dan aku bersumpah melihat matanya berkaca-kaca, "Thanks, Rei," ucapnya tulus, "satu hal yang perlu kamu tahu, aku cinta Kirei Muyassa, bukan yang lain. Aku butuh kamu, cukup kamu seperti sekarang sudah membuat aku tenang," tuturnya terdengar sungguh-sungguh, bahkan sempat membuatku terharu. "Kamu yakin bisa kuat?" tanyaku dengan ekspresi menggodanya. Ia mengangguk kecil, "Aku sih yakin, tapi enggak tahu kalau si 'dicky'," kelakarnya sambil terkekeh dan melirik ke arah bawah. Aku memukul perutnya pelan karena ia membuat pipiku merona merah. Kemudian ia menarik tubuhku—memelukku dengan erat—dan menyembunyikan kepalanya di antara rambutku yang tergerai. Lama-kelamaan posisi kepalanya turun dan sekarang ia bersandar di dadaku. Ya pipinya pasti merasakan kekenyalan dua buah gunungku yang mungil ini. Alih-alih mengusir kepalanya dari sana, jari-jariku malah menyisir rambut cokelat Elang dengan asal. Sementara detak jantungku makin tidak karuan ritmenya. "Suara jantung kamu sama dengan detak jantungku juga, Rei," ujarnya sembari meletakkan tanganku di dadanya. "Aku suka suaranya ... dan aku juga suka rasanya...," cetusnya sehingga membuatku tersadar dan menjauhkan diri darinya. Waaa, tuh kan! Aku berdecak, memukul bahunya bertubi-tubi. Setelahnya kami hanya duduk berdampingan dan ia bertanya detail tentang Sean. Walau ia tahu bahwa hatiku saat ini hanya dikuasai olehnya, tetap saja ia merasa Sean adalah ancaman. Karena laki-laki itu adalah cinta pertamaku—yang konon akan sulit terlupakan. "Lagi pula Sean berencana tinggal di London setelah lulus nanti kok," kataku. Air mukanya berubah sumringah, ia mengangguk-angguk seperti boneka di dashboard mobil, "Pilihan yang bagus," cetusnya. "Karena ia akan berhadapan dengan kepalanku kalau ada di sini...," tukasnya. Bibirku melengkungkan senyuman, "Harusnya kamu berterima kasih padanya, karena Sean-lah aku berpikir untuk melupakan masa lalu kamu," selaku. "Dan karena sarannya juga aku memilih untuk memaafkan kamu, Lang," tambahku seraya berdiri dan berniat untuk melakukan pekerjaanku—bernyanyi. Elang ikut berdiri dan meraih pinggangku, "Jadi, menurut kamu, aku harus berterima kasih padanya?"Aku mengangguk dengan alis meninggi, "Oke, fine.Kapan-kapan aku akan berterima kasih padanya." Ia mencium leherku. "Sekarang biarin aku menenangkan diri lebih lama lagi...," bisiknya. Erangan kecil lolos dari mulutku ketika bibirnya yang panas mencapai sudut bibirku. "Kamu itu milik Elang...." Ujung jarinya meluncur menyusuri lenganku, perlahan naik ke leherku—kemudian kurasakan tangannya berada di bagian bawah punggungku. Jari-jarinya semakin rendah lagi, sebelum aku merasakan tangannya meraih bokongku dan meremasnya lembut. Hal itu sempat membuatku terlonjak kaget, namun Elang menutupnya dengan ciuman yang keras dan dalam. "Ahh...Lang." ***   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD