Lima Pendaki

913 Words
    Suara kokok ayam jantan berkaki hijau Pak Kadus menandai berkumpulnya kami di perempatan. Suaranya yang panjang dan melengking lama kelamaan mulai memekakkan telinga. Eko dengan petromak bawaannya, aku dengan beberapa selimut. Semua serba-sibuk, kecuali beberapa peserta lain di luar sepengetahuanku.      Dia terlihat tengah mengusap-usap perut bulatnya. Pemuda gempal itu mencermatiku dengan bola matanya yang naik-turun. Dilihatnya ujung kepalaku hingga ke bawah. Matanya terfokus pada kedua kaki kotor dan sendal jepit hijau norak yang kukenakan. Aku hanya mendehem kecil, membalas tatapan intervensinya dengan elegan. Pasalnya, sendal jepit kuning yang dia kenakan juga seguru seilmu dengan yang kini kukenakan. Lagi pula, sendal merk itu adalah sendal paling universal di zaman itu.      Pemuda itu mengernyitkan dahinya. Membelalakkan mata, dan memandangku rendah dari atas pembatas. Eko yang bersandar pada tempat yang sama berusaha menenangkannya. Hingga gadis cantik di sebelahnya tertawa kecil, melihat pertikaian bodoh kami. Seperti biasa, pemuda sengak itu tak akan memperpanjang urusan jika saudarinya sudah begitu.  “Jadi, ini kejutannya?” Kupalingkan wajahku dengan dongkol. Suara langkah lain mulai terdengar. Kulihat gadis lain berjalan mendekat. Ngapain dia ngajakin yang beginian? Pikirku, sembari membuang napas.  “Apa maksudnya?!” Ilham, pemuda gempal tadi memelototi Eko.    Eko tampak tak memedulikannya, dan terus menggaruk-garuk kepala.  “Maunya sih, yang kuajak Marni saja. Tapi, mana mungkin kau mengizinkannya pergi sendiri,” jawab Eko dengan nada kecewa.  “Tentu saja begitu. Apalagi, kudengar juga kalau dia itu ikut!” Telunjuk ekstra besar Ilham mengarah kepadaku.  “Mas Ilham, sudahlah! Marni sendiri yang pengin naik gunung!” lerai gadis cantik itu.    Ya, nada lembut itu memang selalu berhasil meluluhkan kami sejak dulu.  “Tapi, kan ....”  “Ini terpalnya!” Gadis lain menyela. Itu membuat Ilham semakin tak enak hati untuk memancing keributan.  “Gulung dan masukkan ke dalam karung! Nanti aku yang bawa naik!” pungkas Eko.       Marni, Si Gadis yang tadi coba melerai. Dia memang memiliki kulit yang bersih dan tampak bersinar dibanding gadis lain. Wajahnya cukup menawan dan terkesan tidak berlebihan. Tak salah rasanya, dia diincar banyak lelaki. Bahkan, pria desa lain. Meskipun begitu, gadis tadi juga memiliki kecantikannya sendiri. Memang kulitnya jauh lebih gelap, terkesan dekil, dan kurang mampu merias diri. Namun, dia memiliki perpaduan keindahan wajah Jawa; kulit eksotis khas gadis desa yang tak kalah mentereng. Semua akan sempurna jika saja bukan karena betisnya, yang seperti tukang bangunan. Apalagi, tumit kutu airnya yang pecah-pecah. Itu membuat wajah cantiknya seolah terbuang sia-sia.  “Jumi, kamu juga ikut?” Marni menyapa gadis yang juga teman mainnya sejak kecil itu dengan semringah.  “Iya, Mbak. Eko yang ajak saya.” Jumi menjawabnya sedikit enggan sambil sesekali menggerak-gerakkan kakinya yang basah.         Suara decitan sendal norak yang bergesekan dengan telapak kakinya yang kasar, membuatku agak geli. Tak lama kemudian, gadis yang rajin membantu orangtuanya itu segera membaur dan membuat kelompok ini terlihat lebih bernyawa. Begitulah perjalanan kami dimulai. Lima orang remaja polos mendaki jalan terjal berbatu, menanjak, panjang, dan berliku-liku.       Sesekali, aku mendapati Jumi tengah mencuricuri pandang dari balik punggungku. Dia pasti juga sangat menyukai pria samba bernomor punggung sepuluh, seperti kaos yang kukenakan. Striker buas yang kala itu masih membela Barcelona itu, kebetulan pemain idolaku.       Di kampung, Jumi sendiri masih sering ikut bermain sepak bola, meski usianya sudah mulai menginjak remaja. Disaat gadis lain mulai belalakan mencari jejaka, Jumi masih senang menendang bola ke sana kemari bersama temanteman prianya. Posisinya sebagai striker tangguh tak mampu disaingi laki-laki lain di desa kami. Terlebih, tak banyak pria mampu menandingi tenaga badak-nya. Padahal, usianya lebih muda dibanding kami.  “Kenapa lihat-lihat, Mat?” tegurnya.  Kamu yang lihat-lihat, pikirku.  “Enggak apa-apa, Jum, cuman takut ada celeng,” kibulku sambil cengengesan.  “Tenang saja! Kalau benar ada, biar saya yang usir celengnya!” Jumi menjawabnya dengan pede sambil memamerkan otot lengannya, yang terlihat seperti kayu kopi.  Iya juga sih, mana bisa menang, celeng lawan badak. Kasihan celengnya kalau sampai kamu gebuki, pikirku. “Kenapa?!” Jumi menegurku.  “Ndak … ndak apa-apa!” kataku sambil menahan geli.       Sebenarnya, ada isu lain bahwa dia menaruh hati kepadaku. Aku yang terlalu acuh tak bisa lebih peka merasakannya. Hati kecilku bahkan menganggapnya kurang pantas berpasangan denganku. Sikap sombong itu tentu akan menjadi cambuk jika menilik Jumi ke depannya. Mungkin tidak. Betisnya masih saja seperti buruh pabrik besi yang membuat itu tetap jadi nilai minus.       Sesampainya di tempat peristirahatan, Ilham dan Marni tampak paling kelelahan. Berlindung dari terik matahari yang mulai panas di bawah gubuk kecil di tepi jalan itu, masih terasa seperti kemarin. Seingatku, tubuhku masih sanggup menapaki jalan terjal itu, setidaknya sampai setengah jam lagi. Namun, dua orang penuh keringat itu memaksa kami beristirahat secepatnya. Di sana, kami menyantap bekal kami masing-masing. Kami juga menyempatkan diri bercengkerama untuk sejenak melepas penat.       Marni yang sedang bercanda dengan Ilham, dan Eko menarik bola mataku. Aku juga ingat tentang perbandingan senyum manis Marni, dengan wajah cemberut Jumi. Tempat itu juga menjadi titik balik, di mana permusuhan membuyutku dengan Ilham mulai bisa kulupakan. Bahkan, sambal gosreh yang kuminta dari bekal yang dia bawa masih sering membuatku merasa kangen dengan suasana desa.  “Masih jauh?” Belum lama berjalan, Ilham sudah kelelahan lagi.  “Belum juga separo.” Sambil melempar karung berisi terpal biru yang kami bawa dari rumah, Eko menjawabnya santai. “Gantian kamu yang bawa!” suruhnya kepadaku.  “Biar saya yang bawa!” Jumi menawarkan diri dengan kesan cari muka.  “Jadi, kita masih harus berjalan sejauh ini lagi?” Sambil membungkuk dan mengerutkan dahi, Ilham menghela napas. Wajah enggan yang tak bisa dia tutupi membuatku menggeleng, saat melewatinya.  “Kan, aku sudah bilang, kamu tidak usah ikut!” protes Eko.         Ilham mencoba mendebatnya sebelum dilerai Marni. Namun meski enggan, dia akhirnya mau juga melanjutkan perjalanan. Toh, perjalanan sudah sejauh ini. Akan terasa tak berarti jika harus turun gunung hanya karena stamina buruk satu orang.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD