Caping Misterius

1574 Words
Gunung Sindoro. Aku yakin, kalian tak banyak tahu soal gunung di dataran tertinggi seJawa ini. Toh, tempat ini memang kalah menarik dibanding Prau atau Sikunir yang ada di Dieng sana. Sering disebut gunung kembar. Walau aku berkata demikian, tentu bukan gunung kembar yang biasanya dipanjat malam itu yang kumaksud. Ya, Gunung Sumbing yang bersebelahan dengan Gunung Sindoro membuat julukan ini melekat kuat. Ada lagi anak-anak gunung di sekitaran, seperti Kekep dan Kembang. Seperti namanya yang berarti bunga, di Gunung Kembang banyak sekali bunga-bunga indah. Percaya tidak percaya, kadang bunga tersebut tertata amat rapi walau berada di alam liar. Kalau sudah begitu, kusarankan agar kalian tak mendekatinya. Alasannya sederhana. Sesuatu yang bukan makhluk kasatmata, mungkin yang menanamnya. Sedangkan Kekep, merupakan spot yang amat indah. Namun jangan sekali-kali kalian berucap kotor di tempat ini. Bila berani, tanggung sendiri akibatnya. Aku masih ingat ketika cerita ini begitu sakral terdengar. Semua anak di desaku akan berlarian begitu mendengar “Wong Gadung”. Kisah yang serupa juga diceritakan turun-temurun di sebagian daerah Wonosobo, dengan nama yang berbeda. Maklum, daerah Wonosobo memiliki ciri khasnya masing-masing. Walau sama-sama menggunakan bahasa Jawa, pelafalan beberapa kalimat akan terdengar berbeda satu desa dengan lainnya. “Sikil Panja”. Begitulah mereka menyebut. Sikil berarti kaki, sedangkan panja adalah alat melubangi tanah menyerupai alu, tetapi berbentuk runcing. Aku lahir dan dibesarkan di sebuah desa, di lereng Gunung Sindoro. Setelah sekitar empat desa dari desa terdekat dengan puncak Gunung Sindoro, di situlah tempatku tinggal. Desaku merupakan wilayah Kabupaten Wonosobo. Selain Dieng, tak banyak tempat lain yang menonjol di sana. Kecuali sayur, kami tak memiliki komoditi menarik lainnya untuk diulas. Namun, aku tak datang dengan cerita indah dan pengalaman travel menarik untuk dijelaskan. Sebaliknya. Meski sudah dewasa kini, nyatanya aku masih sering ketakutan saat melihat petani di petang hari. Salahkan saja mataku ini dan anggap aku tak waras, atau berpikir berlebihan. Namun bagi mereka (sesepuh desaku) pasti setuju dengan apa yang kulihat. Mereka juga tak pernah menertawakanku seperti teman-temanku tempo hari. Pandangan takut mereka bukanlah pandangan untuk menakut-nakuti anak desa kami; setidaknya aku berpikir demikian. Malam itu adalah malam sakral. Tanggal pertama di bulan Suro menurut keyakinan Jawa. Tradisi turun-temurun untuk naik ke puncak gunung tentunya harus kami jaga. Pemikiran kultur yang kuanggap mulia tersebut ternyata merupakan jarum dalam bantal, yang tak pernah kusadari. Sesuatu yang sebelumnya kami tertawakan, sebagai mitos, ternyata merupakan kenyataan mengerikan yang tak dapat lagi kami sangkal. Di perempatan jalan desa, kami berkumpul sesuai janji. Pemuda keriting berkulit gelap itu menenteng lampu-lampu petromak mati; bau minyak yang menyengat minta ampun. Duduk di atas sepikul rumput basah, dia mengedikkan tangannya pelan. Semangat beraroma janggal tampak dari gesturnya; melambaikan tangannya lalu membuat keningku terpelintir. Tubuhnya kurus dan ceking. Kulit gelap, yang seperti kecoa, membuatnya terlihat menyerupai siluet. Kemeja dekil. Bau kompos menusuk hidung menyelimuti di tempatnya berdiri. Dia menyerahkan lampu-lampu tersebut lalu berpamitan pulang untuk mandi. Dia bernama Eko. Teman masa kecilku, yang selalu menemani perjalananku. Jika ada kebiasaan buruknya yang tak kusuka, maka inilah jawabannya. Hilangnya pendaki secara misterius, beberapa kematian janggal, mitos tentang makhluk tanpa tungkai. Ya, mengumpulkan cerita seram yang memenuhi gunung yang menjulang tinggi di dataran yang memang sudah tinggi itu. Bahkan dia kadang kala dengan sengaja menunggu waktu hingga benar-benar mepet dengan hari pendakian, untuk menceritakannya. Padahal, rutin setiap tahun, kami tak pernah melewatkan kesempatan untuk naik gunung. Lebih-lebih Malam Satu Suro. Selamatan dan hal-hal mistis yang digelar di atas sana acap kali menelan korban. Ada saja hal janggal yang terjadi. Pendaki yang hilang lah, bawaan yang tidak jelas keberadaannya lah. Bahkan, sakit mendadak, dan meninggal tanpa aba-aba usai mendaki gunung yang satu ini tak lagi menjadi hal yang mengejutkan. Konon, terdapat semacam akar gaib yang tidak boleh sampai terlangkahi di sana. Jika hal tersebut terjadi, sesuatu yang mengerikan akan terjadi pada korban. Meskipun dipenuhi bumbu-bumbu mengerikan itu, naik gunung tetap menjadi rutinitas tahunan banyak orang. Kami orang Jawa percaya, di tanggal inilah segala yang baik datang. Tak terkecuali di gunung. Entah mengapa, hari ini Eko memutuskan memetakan rute. Dia bahkan berencana menandai jalan agar tidak tersesat. Padahal, kami berdua sudah hafal betul dengan semua rute menuju puncak. Lagi pula, rute yang kami ambil kali ini terlalu manja. Pasalnya, kami akan terus melewati desa berpenduduk, hingga sampai ke puncak gunung. Rute ini juga agak memutar dan kurang menantang, dibanding rute yang biasa kami ambil. Bagiku, rute Tambi, rute ladang penduduk, atau lewat Temanggung jauh lebih mamacu adrenalin. Namun, ya sudahlah. Sudah lama juga aku tak menggunakan rute ini. Hari itu, sang pemuda ceking memiliki semangat dan antusias yang berbeda. Kedatangannya dengan memakai kaos hadiah pestida yang lebih bersih beberapa saat kemudian, menjelaskannya. Wajah cengengesan itu, tampang gembira itu. Jika biasanya dia akan membuka pertemuan dengan cerita seram, dan desas-desus terbaru. Hari itu dia hanya meminta kembali lampu-lampu tadi. Dia bahkan hanya menyembunyikannya di gubuk samping rumah tetangga, tanpa menceritakan apa pun. Benarbenar barang langka. “Jangan kaget, Mat!” Sambil menyulut rokok lintingan tembakau lokal, dia memperingatkanku. “Kenapa?” jawabku sambil membuka selepi. Aku sebenarnya sudah cukup kaget. Namun kuyakin, dia menyimpan hal yang lebih mengagetkan lagi. “Malam Satu Suro nanti, akan ada kejutan bagus!” ujarnya. “Kejutan?” Aku menoleh kepadanya. Menatap segala gerak-geriknya yang mungkin jadi petunjuk. Satu hal yang jelas, ini pasti berhubungan dengan tingkah anehnya. Terutama, pemilihan rute. Ah, kemenyannya belepotan, pikirku, sembari membubuhkan benda keputihan itu. Ya, potret buruknya gaya hidup merokok memang sudah beranak pinak di sini. Sebab, budaya yang berkembang di pedesaan memanglah sedemikian rupa. Apalagi, desa kami juga penghasil tembakau. Hal ini semakin membuat rokok amat lazim, bahkan untuk para remaja seperti kami. Dan dibandingkan perkataannya aku lebih tertarik dengan aroma aneh dari tembakau yang dia bawa. Hidungku tak salah mengenali asal tembakau tersebut. Tembakau lokal yang aromanya lebih magak dari biasanya. Mungkin Tieng aroma itu, bahkan membuat tenggorokanku sedikit tergelitik. Sambil membubuhkan cengkeh lebih banyak untuk mengakalinya, kupandangi punggung kurusnya yang tengah bersandar di tepi pembatas perempatan. “Yuk, kita berangkat!” ajaknya, sambil berdiri. Sensasi saat dia menarik lenganku malah membuatku membatu. “Kuselesaikan dulu lintingan ini,” jawabku sambil menunjukkan hasil lintinganku setengah jadi. Jalan berbatu, terjal, dan menanjak di depan mata kami. Selinting tembakau lokal kami bakar, sembari berjalan dengan begitu norak. Kami bergaya seakan orang-orang tergagah sekampung sedang berjalan. Mengingatnya sekarang hanya membuatku semakin malu. Seperti kataku, rute terlalu manja. Kami bahkan sudah selesai melakukan inspeksi sebelum hari mulai petang. Eko masih saja menertawakanku. Itu karena tembakau magak yang terasa menyodok tenggorokan itu. Ujung garet sampai mengembang menyerupai kelopak bunga mawar dari bara api. Suara letupan puntung tembakau itu, bahkan masih kuingat jelas. Percikan bara juga terlontar ketika asap putih kebiruan itu keluar tak beraturan dari mulutku. Sontak aku terbatuk-batuk hingga mataku memerah, dan air mata merembes deras. Ini merupakan tembakau paling galak yang pernah kuhisap, bagiku. Hingga turun gunung, Eko tak berhenti mentertawakan tingkahku. Namun, kurasakan jalanan semakin sepi. Itu karena para petani sudah enggan menggarap ladang mereka yang sudah gelap. Di awal, kami memang masih sering melihat beberapa buruh tani turun ladang. Pemandangan itu mulai jarang terjadi, seiring kami turun. Parahnya, kami masih jauh dari rumah dan belum keluar dari area ladang. Meskipun termasuk ke dalam wilayah desa, tetap saja suasana hari itu terlalu senyap. Perasaan lega tatkala kulihat sosok caping bambu dengan tepi biru melingkar, menghangatkan pikiranku. Dalam hati aku bersyukur. Di waktu senja ini, masih ada petani yang belum puas menggarap ladangnya. Syukurnya lagi, semakin turun, siluet membungkuk sosok petani itu kian jelas dan kian jelas lagi terlihat. Sayang, kecerobohan membuat mataku sejenak mengalihkan pandangan. Itu terjadi karena Eko berteriak-teriak, kala melihat beberapa batang tebu nganten. Begitu dia mendekat, tiba-tiba saja sosok petani dengan caping bambu, serupa yang kuawasi tadi sudah berdiri di sana. Yang membuatnya janggal, sihir apa yang membuatnya bisa beralih dari tempat tadi ke sana dalam jangka waktu kurang dari semenit. Ia bahkan bisa berdiri di seberang jalan tanpa kami sadari sedikit pun. Padahal, jaraknya dari tempat kami dibatasi sebuah jalan besar dan berjarak ratusan meter. Aneh, benar-benar aneh, pikirku. “Pulang!” bentaknya dengan suara begitu berat. Berat yang sangat janggal dengan frekuensi yang menyakiti telinga. Masih kuingat tubuh kurusnya yang dipenuhi dengan tanah. Agak janggal jika berasumsi itu hanya karena kerja kerasnya. Apalagi, kami tak bisa mengingat wajah pria tersebut, meski kami melihatnya dengan jelas. “Saya minta tebunya sedikit, Mbah!” pinta Eko, sambil sedikit membungkuk. “Pulang! Waktu kalian di ladang sudah habis! Sekarang giliran kami untuk berladang!” bentaknya lagi. Bulu kudukku mulai berdiri tegak. Tenggorokanku tiba-tiba terasa agak kering. Namun, seakan tak menyadari kejanggalan itu, Eko masih saja mencoba berdebat. Sontak aku teringat peringatan kakekku. Sambil sesekali melirik-lirik kaki pria itu, aku memperingatkan Eko dan memaksanya meminta maaf. Perasaan determinasi yang kuat kala pria itu menoleh kepadaku membuatku berlari tunggang-langgang. Beberapa saat kemudian, Eko menyusulku. Meskipun kami berhasil kembali dalam waktu kurang dari dua jam, harusnya aku sadar jika itu merupakan peringatan pertama yang mereka berikan. “Sekarang giliran kami berladang,” katakata itu adalah kata-kata yang mengerikan jika kita cerna lebih dalam.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD