bc

Dating Agreement

book_age16+
1.6K
FOLLOW
11.9K
READ
HE
blue collar
kicking
city
like
intro-logo
Blurb

“Mau ke mana?” tanya pria itu dengan suara beratnya.

“Pergi!” jawab Alinka sewot. “Dasar cowok m***m!”

Pria itu menaikkan sebelah alisnya, menatap Alinka dengan kaget. “Apa? Kamu baru saja mengatai saya apa?”

“Cowok m***m! Mana ada cowok normal yang tiba-tiba cium orang sembarangan! Dasar m***m!” kata Alinka seraya memukul lengan cowok itu dengan buket bunga di genggamannya.

“Saya bukan cowok m***m,” balas pria itu terdengar tidak suka.

“Berarti Anda cowok b***t!”

****

Alinka tidak sengaja masuk ke ruangan yang salah, hasilnya ia malah bertemu dengan pria asing yang tiba-tiba saja menciumnya. Dan sialnya itu bukan pertemuan terakhir mereka. Malah, pria asing itu menawarinya sebuah perjanjian kencan. Alinka hanya perlu berpura-pura menjadi kekasih pria asing itu, sebagai gantinya Alinka bisa mendapatkan apa saja yang ia inginkan. Haruskah Alinka menerima perjanjian itu? Namun, masalahnya pria itu sangat menyebalkan!

Cover:

Image by Freepik

chap-preview
Free preview
Bab 1
Alinka berjalan terburu-buru sambil menatap jam di pergelangan tangannya. Pukul 20.17. Alinka sudah telat tujuh belas menit. Padahal, ia sudah berjanji akan datang tepat waktu. Namun, karena terjebak macet, akhirnya Alinka jadi terlambat datang ke restoran ini. “Semoga gue nggak diomelin,” gumam Alinka mengedarkan pandangan, mencari jalan menuju ruangan privat di mana seseorang sudah menunggunya untuk makan malam. “Selamat malam, ada yang bisa saya bantu, Kak?” tanya seorang pelayan yang tengah melihat Alinka kebingungan. “Oh, itu, saya ada janji dengan orang di sini. Kalau boleh tahu ruangan privat nomor 12 di mana, ya?” “Atas nama siapa, ya, Kak?” “Tamara Jaya.” Perempuan itu menatap layar tablet yang berada di tangannya. Setelah membaca sesuatu di layar tablet, dia langsung tersenyum ke arah Alinka seraya menunjuk ke arah kirinya. “Mari saya antar,” katanya sopan kepada Alinka. Alinka mengangguk lalu mengikuti pelayan itu yang sudah berjalan menyusuri lorong di depan mereka. Saat ini Alinka berada di salah satu restoran mewah yang Alinka yakin tidak akan pernah ia datangi jika tidak diajak dan ditraktir. Karena kalau boleh jujur Alinka kan sangat jauh dari kata berduit. “Silakan,” kata pelayan itu ketika sampai di depan pintu ruangan bernomor 12. “Terima kasih,” jawab Alinka. Setelahnya pelayan itu pamit undur diri dari hadapan Alinka. Ketika Alinka hendak membuka pintu ruangan di depannya, ponsel yang berada di dalam tasnya bergetar menandakan ada sebuah panggilan masuk. Alinka mengambil ponselnya lalu melihat kontak nama Tamara terpampang di layar. “Halo,” sapa Alinka mengangkat panggilan dari Tamara, sahabatnya sejak duduk di bangku SMP itu. “Lo di mana, sih? Udah ditungguin dari tadi,” kata Tamara mengomeli Alinka. “Udah sampai kok. Ini tinggal masuk aja,” balas Alinka. “Ya udah buruan. Katanya pesanannya udah datang semua tahu. Makanannya keburu dingin.” “Iya…, iya…,” ucap Alinka. “Ini juga mau masuk. Udah ya. Nanti gue hubungin lo.” “Oke. Bye!” Alinka memutus sambungan teleponnya dengan Tamara. Setelah itu, ia bergegas membuka pintu di hadapannya. Dirinya sudah telat lebih dari dua puluh menit. Alinka yakin, ia pasti akan diomeli habis-habisan. Ketika pintu sudah terbuka tiba-tiba saja ia mendengar suara letupan bertubi-tubi. Detik berikutnya confetti bertaburan di sekitarnya. Alinka hanya bisa mamatung di tempatnya. Ia mengamati orang-orang yang saat ini sedang tersenyum lebar ke arahnya. Mereka semua tampak bahagia. Hanya saja, Alinka tidak mengenali wajah orang-orang tersebut. “Sini,” kata seorang wanita menarik tangan Alinka dan membawanya berjalan memasuki ruangan itu. “Lihat.” Wanita itu menunjuk ke arah layar putih yang saat ini menampilkan rentetan kalimat diiringi alunan musik yang terdengar romantis. Lampu ruangan ini sontak saja meredup agar tulisan di layar itu tampak lebih jelas. Alinka mengabaikan rentetan tulisan di layar. Ia kembali sibuk mengedarkan pandangan di sekitarnya. Saat ini orang-orang yang berada di ruangan itu sedang mengambil gambar Alinka. Sungguh, Alinka tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tiba-tiba saja lampu ruangan ini menyala lebih terang yang membuat Alinka sedikit menyipitkan mata. Dari pintu yang berada di sudut ruangan, muncul seorang pria yang mengenakan setelan jas putih. Pria itu membawa sebuket bunga mawar merah yang terlihat sangat indah. Pria yang memiliki tubuh tinggi dan tegap itu berjalan mendekat ke arah Alinka. Senyum yang semula terukir di bibir pria itu perlahan pudar ketika jarak mereka sudah sangat dekat. Alinka yang masih tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi saat ini hanya bisa mematung. Ia tak tahu harus melakukan apa. Suara sorakan bahagia terdengar dari segala sudut. “Kamu siapa?” tanya pria itu yang saat ini sudah berada di depan Alinka. Dia menatap Alinka dengan bingung. “Di mana Rosalia?” Alinka menggelengkan kepala seraya melirik sekitarnya. Tampaknya hanya Alinka yang mendengar pertanyaan pria itu karena orang-orang lainnya masih sibuk bersorak ataupun mengabadikan momen aneh ini. “Terus kenapa kamu di sini?” tanya pria itu lagi berbisik. “Salah ruangan,” jawab Alinka. Pria itu menghela napas dalam. “Sial. Semuanya berantakan,” gumamnya seraya kembali menatap Alinka. Tahu jika Alinka benar-benar sedang berada di tempat dan waktu yang salah. Buru-buru ia menundukkan kepala sebagai gestur permintaan maaf. “Saya benar-benar minta maaf,” katanya. “Saya permisi.” Alinka berbalik, hendak berjalan pergi meninggalkan ruangan itu. Namun, tiba-tiba saja tangannya ditarik dari belakang yang membuat Alinka berbalik dan menabrak tubuh pria tersebut. Sebelah tangan pria tersebut yang masih menggenggam buket bunga memegangi punggung Alinka. Jarak mereka benar-benar terlalu dekat. Bahkan, Alinka bisa dengan jelas mengamati wajah rupawan pria itu. “Saya juga benar-benar minta maaf,” kata pria itu dengan ekspresi datar. “Ap—” Alinka tidak bisa meneruskan ucapannya karena saat ini pria itu sudah mencium bibir Alinka secara tiba-tiba. Alinka hanya bisa membelalakkan mata karena terkejut. Detakan jantungnya mulai menggila karena perbuatan pria itu. Alinka ingin mendorong pria ini menjauh darinya. Namun, tubuhnya seakan membeku karena ciuman tiba-tiba itu. Sorakan serta tepuk tangan terdengar di sekelilingnya. Meskipun suara mereka terdengar begitu keras, tapi Alinka tidak dapat fokus mendengarkan apa pun yang mereka ucapkan. Fokus Alinka masih berpusat pada bibir pria di depannya masih menempel pada bibirnya. Bagaimana semua ini bisa terjadi? Tak selang berapa lama pria tersebut menjauhkan wajahnya dari Alinka. Tatapan matanya tertuju pada Alinka. Alinka sama sekali tidak bisa membaca ekspresi yang ditunjukkan oleh pria itu. Yang pasti, pria itu hanya tampak biasa saja setelah tadi menciumnya secara tiba-tiba. Apa bagi pria itu, mencium seorang perempuan tanpa seizinnya adalah hal sepele? “Ini,” kata pria itu menyerahkan buket bunga mawar kepada Alinka. Alinka hanya menatap buket bunga itu tanpa berniat mengambilnya. Namun, pria tersebut menarik tangan kiri Alinka lalu menyerahkan buket bunga itu kepadanya. Mendadak Alinka merasa marah. Dicium oleh pria asing bukanlah hal menyenangkan. Bukankah ini sudah termasuk pelecehan? Ya, Alinka dilecehkan! “Apa-apa—” Sebelum Alinka berhasil memaki pria di hadapannya ini, tiba-tiba saja ponsel yang sejak tadi ia genggam berbunyi. Nama Tamara di layar ponselnya membuatnya membelalakkan mata karena terkejut. “Gawat,” gumamnya buru-buru mengangkat panggilan dari sahabatnya itu. Alinka melirik pria di hadapannya sekilas sebelum akhirnya ia berjalan pergi meninggalkan pria itu dengan ponsel menempel di telinganya. Di belakangnya, Alinka mendengar bisik-bisik orang yang tadi bersama dengan pria itu. Mereka seperti sedang kebingungan melihat Alinka pergi begitu saja. Namun, sungguh Alinka benar-benar tidak peduli. “Alinka! Lo ke mana aja, sih? Lo bilang kalau lo udah ada di restoran tapi, katanya lo masih belum juga datang. Lo tuh, udah ditungguin dari tadi. Lo nggak lupa kan, ada janji makan malam?” omel Tamara di seberang panggilan. “Iya, tentu aja gue nggak lupa. Gue hanya salah masuk ruangan.” “Hah? Gimana ceritanya lo salah masuk ruangan, sih?” “Panjang lah pokoknya ceritanya. Nanti deh, gue ceritain. Benar-benar gila, Tam.” “Apanya yang gila?” Alinka menghela napas dalam. Ia kembali merasa kesal mengingat dicium secara tiba-tiba oleh pria asing. “Orang. Gue ketemu orang gila!” kata Alinka. “Gue jadi kesel lagi.” “Gue jadi penasaran.” “Nanti deh, beneran gue ceritain semuanya.” “Ya udah kalau gitu. Buruan ke ruangan, lo udah ditungguin. Bye!” “Iya. Ini juga lagi otw ke sana,” balas Alinka seraya memutuskan sambungan telepon mereka. Tiba-tiba Alinka merasakan lengannya ditarik dari belakang. Sontak saja Alinka berhenti lalu berbalik untuk melihat orang yang menariknya. Betapa terkejutnya ketika Alinka mendapati pria tadi kembali berdiri di hadapannya. “Mau ke mana?” tanya pria itu dengan suara beratnya. “Pergi!” jawab Alinka sewot. “Dasar cowok m***m!” Pria itu menaikkan sebelah alisnya, menatap Alinka dengan kaget. “Apa? Kamu baru saja mengatai saya apa?” “Cowok m***m! Mana ada cowok normal yang tiba-tiba cium orang sembarangan! Dasar m***m!” kata Alinka seraya memukul lengan cowok itu dengan buket bunga di genggamannya. “Saya bukan cowok m***m,” balas pria itu terdengar tidak suka. “Berarti Anda cowok b***t!” “Saya juga bukan—” “Alinka?” Panggilan itu memotong ucapan pria tadi. Sontak Alinka menoleh ke belakangnya, ke sumber suara. Dilihatnya wanita tua tengah menatap Alinka dengan ekspresi bingung dan bertanya-tanya. “Oma,” ucap Alinka seraya berjalan menghampiri wanita tersebut. “Kamu ke mana aja? Oma udah nungguin dari tadi,” kata wanita itu. “Maaf, Oma. Tadi Alinka kena macet. Terus salah masuk ruangan. Alinka benar-benar minta maaf, ya, Oma, udah bikin Oma nunggu lama.” “Oma pikir kamu nggak jadi datang.” “Alinka kan udah janji nemenin Oma makan malam. Nggak mungkin Alinka nggak datang,” ucap Alinka berusaha menenangkan nenek Tamara itu. “Itu bunga buat siapa?” Alinka tersenyum lebar. “Tentu saja buat Oma sebagai tanda permintaan maaf dari Alinka,” katanya menyerahkan buket bunga mawar merah kepada Oma. “Wah terima kasih. Bunganya cantik banget. Sering-sering kasih Oma bunga, Alinka. Oma suka banget sama bunga.” “Baik. Akan Alinka ingat buat kasih Oma bunga di lain waktu.” Diam-diam Alinka menoleh ke belakang, ke arah pria yang tadi menciumnya. Pria itu masih berdiri di tempatnya dengan tatapan mengarah kepada Alinka. Ekspresi wajah pria itu tampak dingin dan penuh pertimbangan. Mendadak saja Alinka merasa ngeri sendiri. Alinka benar-benar tidak ingin bertemu dengan pria tadi lagi.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
95.7K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.4K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook