Suami Terbaik

3379 Words
Pita: Suami Terbaik Menikah muda nggak terlalu buruk kok. Apa lagi kalau suaminya kayak Lucky begini. Nggak bakalan sadar kalau kalian suami-istri. Ya iyalah, sering banget diajakin berantem, diajak adu bacot, diajakin curhat, tapi dibalik itu semua dia sangat-sangat perhatian sama gue. Lucky, suami terbaik di dunia!  Gue nggak lebay, ya. Bukan karena dia suami gue, terus gue jadi bangga-banggain dia. Tapi nyatanya emang bener kok. Lucky melebihi ekspetasi gue.  Awalnya gue sempat menyesal kenapa mengiakan perjodohan kita. Gue sama Lucky udah terbiasa sama fasilitas keluarga yang nggak ada abisnya. Kebutuhan kita dipenuhi, mana pernah kita merasa kekurangan selama ini. Alasan kenapa gue mau menerima perjodohan keluarga, karena gue udah muak tinggal sama Papa yang lebih sayang sama Mama tiri dan Kakak tiri gue. Apa-apa selalu Kakak tiri gue yang dibanggain. Kakak tiri gue ginilah, gitulah. Sedangkan di mata mereka, gue ini cuma anak pembangkang yang bisanya bikin ulah. Gue bikin ulah juga karena Papa. Kalau aja Papa nggak terlalu fokus sama anggota keluarganya yang baru, dan mengesampingkan gue yang notabene adalah anak kandungnya. Gue nggak bakalan bikin huru-hara di sekolah cuma buat menarik perhatian Papa.  Papa memang memenuhi semua kebutuhan gue dengan fasilitas mewah. Tapi, tolong dong, pernah nggak, Papa mikirin gue? Jadi gue sebentar aja, gue bukan cuma kesepian, tapi juga menyedihkan setelah Mama meninggal. Ah, nggak. Mama nggak meninggal. Lebih tepatnya pergi dari rumah, meninggalkan gue dan Papa demi laki-laki lain.  Miris nggak, sih, jadi gue? Mama pergi sama laki-laki lain, gue dicap anak tukang selingkuh dari jaman sekolah SMP, terus, Papa menikah lagi tanpa nanya ke gue dulu setuju apa nggak. Apa, gue nggak dianggap kali, ya? Baik Mama atau pun Papa nggak ada yang peduli sama gue.  “Kakak lo telepon gue, nih.” Lucky keluar kamar lalu menyodorkan ponselnya ke gue.  Kedua mata gue berputar jengah. Malesin banget, sih. Pagipagi udah bikin mood gue jelek aja! Mau apa, sih? Mau pamer kalau dia udah bisa menguasai rumah sama perhatian Papa?  Lucky menarik tangan gue lalu meletakkan ponselnya ke telapak tangan gue. “Angkat, Pit. Kakak lo mau ngomong." Kepala gue menggeleng sebagai tanda penolakan. Gue meletakkan ponselnya Lucky ke atas meja lalu melengos ke arah lain. “Lo aja.”  “Dia maunya ngomong sama lo.” Lucky menarik kursi di samping gue dan duduk di sana.  Cowok itu melipat tangannya di atas meja, kepalanya menoleh ke gue yang lagi ngambek. Gue tahu si Lucky bakalan membujuk gue supaya gue mau mengangkat telepon Kak Evan, Kakak tiri gue yang berdarah campuran Indonesia-Korea itu. Keren, ya. Harusnya gue seneng dapet Kakak tiri ganteng dan keren kayak Kak Evan. Tapi, menurut gue, dia sama mamanya dateng di waktu yang nggak tepat. Dan lagi, gue nggak suka sama mamanya! Wanita itu sok baik, sok perhatian, padahal gue yakin, nih, orang yang bikin Papa menjodohkan gue, pasti wanita itu.  “Angkat, Pit. Kasian Kak Evan,” Lucky menepuk kepala gue, pelan. “Kak Evan baik, loh. Coba deh, sekali aja ngobrol banyak sama Kak Evan.”  Gue menoleh, mengarahkan pandangan ke Lucky dengan sengit. “Lo tahu apa soal dia, sih, Ky? Lo, kan tahunya dia Kakak gue. Ah, Kakak tiri!”  Lucky mengambil ponselnya dari meja. Dering ponsel udah nggak kedengaran lagi. Mungkin aja Kakak tiri gue udah capek karena teleponnya nggak direspons sama gue. Bagus, deh. Supaya dia sadar kalau gue nggak suka diganggu dia atau pun mamanya.  “Jangan mentang-mentang Kak Evan temennya Bang Lakka, lo jadi belain dia, ya. Emang lo kenal sama dia?!” cerocos gue galak.  Dunia berasa sempit banget kayaknya, ya. Masa gue baru tahu kalau Kak Evan temenan sama Bang Lakka dari jaman kuliah. Bukan cuma temenan aja, sih, tapi dua cowok itu punya bisnis bareng di bidang fashion. Usaha yang dirintis sama Kak Evan dan Abang ipar gue cukup sukses kalau gue bilang, sih. Brand yang mereka beri nama KC Brand jadi favorit anak-anak muda termasuk temen-temen gue. Tiap kali mereka ngomongin koleksi terbaru KC, gue cuma nyengir. Dalam hati, “Kalau gue mau, gue bisa minta sama gudang-gudangnya sekalian!” Tapi nggak berani ngomong ke temen-temen gue, cuma bisa dipendam dalam hati doang. Takut mereka heboh, ntar.  Jarak usia gue sama Kak Evan lumayan jauh. Sekitar sepuluh tahun, mungkin. Pertama kali gue ketemu sama Kak Evan, komentar gue cuma, ganteng. Tapi setelah Papa bilang kalau cowok itu bakal jadi Kakak tiri gue, seketika mood gue jelek. Harus banget Papa nikah lagi kalau udah ada gue yang bisa menemaninya hingga tua nanti?  “Kak Evan sama Mama nggak seburuk yang lo pikir."  Gue menyeret kursi yang lagi gue duduki menjauhi kursinya Lucky, tapi dengan jahilnya cowok itu menariknya lebih kuat hingga kursi gue makin dempetan sama kursi dia. “Lo, tahu nggak, sih—"  “Nggak," sela gue buru-buru.  Lucky berdecak, menarik ujung rambut gue, gemas. “Suami lagi ngomong, tuh, didengerin, Pit.”  Cowok itu mengembuskan napas panjang. Tangannya yang menarik ujung rambut gue menjauh, berubah merangkul bahu gue lalu menepuknya dengan pelan. Entah kenapa gue selalu nyaman setiap kali Lucky menepuk bahu atau kepala gue. Rasanya kayak dilindungin banget, dia biarpun tukang receh, tapi Lucky orangnya ngemong banget. Apa lagi sama gue yang lebih sering kayak anak kecil. Yang mau melakukan apa-apa harus dibantuin, dikasih tahu, diberi arahan dulu. Lucky nggak pernah protes atau pun komentar setiap gue melakukan sesuatu yang bikin repot. Yang ada malah si Aree bacot mulu. Katanya, ngapain memelihara istri nggak guna kayak gue.  Dasar bule KW, Sialan!  Untung suami gue Lucky, bukan dia! Gue sumpahin naksir cewek yang lebih-lebih kayak gue. Lebih galak, lebih ngerepotin, lebih judes. Dan yang jelas, nggak naksir Aree! Biar Aree ngerasain gimana rasanya ngejar-ngejar orang yang dia suka. Biar bukan dia mulu yang ditaksir orang. Sekali-kali biar Aree tahu gimana rasanya suka sama orang, tapi orangnya nggak suka sama dia!  “Telepon Kak Evan, mau, ya?” Lucky melingkarkan tangannya hingga menyentuh ujung kening gue.  “Nggak mau,” Gue menunduk, kalau Lucky udah lembut begini, gue nggak punya tenaga buat marah-marah kayaknya. “Lo jangan maksa gue, dong, Ky,” kata gue memelas.  Lucky menarik tangannya menjauhi pipi gue, kemudian melipatnya kembali ke atas meja. Lucky nggak bilang apa-apa selain mengantongi ponselnya, lantas beranjak dari kursi yang dia duduki.  “Ky,” panggilan gue nggak direspons sama Lucky. Cowok itu masuk ke dalam dapur, mungkin aja siap-siap mau bikin sarapan karena ini memang masih pagi. Gue aja yang bangunnya kepagian. Aree aja, nih, masih molor di kamarnya. “Luckyyyy,” Gue setengah berteriak, menghampiri Lucky di dapur.  Lucky menyiapkan bahan-bahan di atas meja dapur. Gue lihat ada telur, nasi di dalam wadah, sawi hijau, sama kerupuk mentah. “Apa?” Lucky menoleh sekilas, abis itu sibuk mengiris daun bawang.  “Jangan marah.” Gue menarik ujung kausnya. “Ngertiin gue, dong."  Bibir gue mencebik, sengaja gue maju-majuin supaya Lucky luluh dan nggak marah sama gue lagi. Dibanding Papa yang marah, gue lebih takut kalau Lucky yang marah, lalu berujung nggak ngajak ngomong. Apa ya, Lucky, tuh, emang receh banget orangnya. Apa-apa selalu dibikin ketawa, dibuat nyengir, nggak pernah marah biarpun gue sama Aree sering ngeledek, atau ribut-ribut cuma karena main games doang. Kalau Lucky udah marah, dia nggak bakalan membentak, apa lagi main tangan sama perempuan. Nggak. Lucky nggak pernah kasar sama gue. Dua bulan gue jadi istrinya, selama itu dia nggak pernah membentak sekali pun.  Ciri-ciri kalau dia marah, dia nggak mau ngajak ngomong. Itu lebih nyeremin. Kalau Lucky marah, siapa yang ngurusin gue? Siapa yang nemenin gue tidur, bangunin gue pagi-pagi, nguncirin rambut gue sambil ngajak ngobrol sesuatu yang random? Gue nggak betah lamalama didiemin sama Lucky.  “Daripada lo manyun-manyun gitu, mending lo bantuin gue bikin sarapan," kata Lucky tanpa menoleh ke gue.  Gue mendongak, jari-jari gue masih mengapit ujung kaus Lucky. “Ntar bikin dapur rusuh, lagi.”  Kali ini Lucky menoleh ke gue, kepalanya menggeleng. “Nggak bakal. Ada gue, nih.”  Kedua sudut bibir gue tertarik, membentuk cengiran lebar. Lucky nggak ngomong lagi setelah itu, dia menghidupkan kompor lalu meletakkan alat penggorengan di atasnya.  “Ambilin telurnya,” perintah Lucky sembari menunjuk telur di atas piring.  Gue maju dua langkah untuk mengambil telur yang ditunjuk Lucky. “Nih," kata gue lalu menyodorkannya ke Lucky.  “Kok diem?”  “Hah?”  “Pecahin sekalian, Pit,” katanya, sesekali menunjuk ke alat penggorengan yang sudah dituangi minyak goreng. “Nggak bisa?” tanyanya, terdengar meledek gue.  Lucky masih marah sama gue kayaknya. Kelihatan banget dia nyuruh gue memecahkan telur dengan sengaja karena dia tahu gue nggak bisa. Satu, dua, tiga....  “Hueeeek!”  Tuh, kan. Baru aja gue pecahin telurnya, malah gue lempar ke alat penggorengan sekalian sama kulitnya. “Amiiiis!” jerit gue menjauhkan telapak tangan yang dibasahi putih telur.  “Pit, ya ampun!"  “Amis, Ky! Gue mau muntah! Nggak mau lagi pecahin teluuuur!”  Gue jerit-jeritan lebay banget. Ketimbang kena putih telur doang udah bikin heboh orang serumah sampe Aree keluar kamar dan protes karena gue berisik banget.  Setelah Aree masuk lagi ke kamarnya, Lucky mematikan kompor lalu menarik tangan gue dan mencucinya ke westafel. Kepala gue setengah miring, sibuk memandangi wajah Lucky yang kelihatan serius sekarang.  “Udah.” Lucky mengambil lap bersih, kemudian membantu gue mengeringkan tangan dengan telaten. “Duduk aja di kursi, apa masuk kamar sana. Ada lo malah bikin gue nggak kelar-kelar masaknya.”  Gue cemberut, dan menggelengkan kepala sebagai penolakan. “Gue temenin, ya?”  “Nggak.” Lucky menolak. “Lo nemenin bukan buat bantuin. Yang ada ngerecokin gue mulu!"  “Kok, jahat?"  Lucky menarik napas panjang-panjang lalu dia embuskan pelan. Dengan lembut dia menarik lengan gue dan menuntunnya sampe ke kamar kita berdua. Lucky mendudukkan gue ke tepi dan menepuk puncak kepala gue. “Tiduran atau duduk yang manis. Jangan keluar kalau belum gue panggil.”  Cowok itu akan balik badan, tapi gue tarik ujung kausnya, lagi. Lucky menghadapkan badannya ke gue. “Nggak ada yang marah sama lo. Udah, ya?” Dia melepaskan jari-jari gue dari ujung Gue naik ke atas ranjang, secepat kilat gue melingkarkan kedua tangan ke lehernya Lucky. Gue peluk dia erat-erat sampai pipi gue menempel ke pipi cowok itu. Dia diem aja gue peluk, nggak protes atau pun melepas pelukan gue. Yang ada, malah lengan gue yang ditepuk-tepuk sama Lucky, terus berpindah ke pipi.  “Jangan marah,” bisik gue di telinganya  “Kalau boleh jujur, gue lebih takut lo yang marah ketimbang Papa yang marah.”  “Gue nggak marah, Pit,” Cowok itu balas berbisik. “Gue cuma nggak mau lo terus-terusan salahpaham sama keluarga lo. Terutama sama Mama dan Kak Evan." Pelan-pelan Lucky membalikkan badannya. Cowok itu memegangi kedua tangan gue dan mengalungkannya ke lehernya. “Mereka sayang sama lo,” kata Lucky menyunggingkan senyum. “Kapan-kapan kita pergi ke rumah Mama sama Papa, mau ya?”  Gue bingung mau memberi respons kayak gimana. Jujur aja gue males kalau harus pulang ke rumah dan ketemu sama Papa, juga Mama dan Kakak tiri gue. Tiap gue ke sana, Papa selalu nyindir gue, ngomong sesuatu yang nggak enak di telinga. Kurang dari lima menit gue duduk di sofa keluarga, gue udah nggak betah.  “Janji, kalau lo nggak betah lama-lama di sana, kita langsung pulang. Okay?”  Mau nggak mau, gue pun mengangguk. Nggak ada salahnya nurut sama suami, kan?  *** Hari itu tiba. Di mana Lucky mengajak gue berkunjung ke rumah Papa. Gue ogah-ogahan. Pura-pura nggak enak badan supaya Lucky nggak jadi mengajak gue pergi ke sana. Lucky yang tahu tabiat gue, seketika menyeret gue masuk ke kamar mandi dan menyuruh gue membersihkan diri sebelum Lucky menyusul masuk dan mandiin gue. Itu salah satu ancaman Lucky yang bikin gue ngeri. Gimana ya, gue sama dia emang suami-istri. Sebenernya sah-sah aja kalau dia mau melakukan sesuatu yang menjurus ke sana. Gue istrinya yang sah, kita ngapa-ngapain pun nggak ada yang melarang. Justru yang melarang bakalan dosa.  Kalau kalian nanya apa aja yang udah kita lakuin selama jadi suami-istri. Nggak ada yang lebih dari cium pipi sama kening doang. Ya, Lucky seringkali memerlihatkan kalau dia, tuh, gemes banget sama gue. Kadang, saking gemesnya, Lucky terlalu semangat mencium pipi gue, tapi setelah itu kayak sadar dan buru-buru pergi keluar kamar dengan alasan menunggu Aree pulang karena nggak bawa kunci cadangan.  Bohong kalau gue nggak tahu dia kenapa. Gue udah cukup ngerti soal reaksi badan dia. Tiap kali dia melihat gue pake gaun tidur tipis yang kata Lucky kayak saringan tahu, gue menangkap gelagat aneh dari Lucky. Kayak, tiba-tiba aja dia membuang pandangannya ke arah lain, atau buru-buru menyelimuti gue sampe nggak bisa napas. Sebenernya, sih, gue nggak keberatan kalau Lucky mau minta hak dia. Gue nggak bakalan nolak, kok.  Pernah sekali, gue nggak sengaja denger obrolan Lucky sama Aree di teras.  “Lo betah banget, anjir!"  Umpatan keras Aree dari teras, bikin gue jalan ke dekat pintu. Kadang-kadang gue penasaran obrolan sesama cowok, tuh, apaan aja sih. Kayak cewek juga, nggak?  “Kalau gue nih, Ky, udah dari kemaren gue terkam si Pita!”  Lucky menoyor kepala Aree, sampe rokok cowok itu jatuh ke lantai. “Dia masih sekolah, setan!”  Aree memungut rokoknya, kemudian mematikannya. “Emang, lo kuat nahan gitu? Pita cantik, badan Pita, duh—"  Dukkkk!  Lucky menendang kaki Aree lumayan keras hingga cowok berambut pirang itu nggak berhenti mengumpat. “Yang lo omongin barusan istri gue,” gumam Lucky, “Dijaga mulut lo, b**o. Gue tahu lo lagi berimajinasi yang nggak-nggak!”   “Nggak wajar kalau ceweknya, istri temen lo.”  Aree nyengir. “Tapi, Ky, beneran deh ya. Kok lo kuat? Kalian tidur seranjang, baju Pita keseringan kurang bahan gitu.”  Gue yang lagi sembunyi di balik pintu, menunggu jawaban apa yang bakalan keluar dari mulut Lucky. Gue juga penasaran, kenapa Lucky nggak pernah ngapa-ngapain gue.  “Ya kalau dibilang tahan, ya nggak juga. Gue cowok normal. Tapi, gue lebih mikirin Pita. Dia masih sekolah. Kalau dia hamil, gimana?”  Aree berdecak, cowok itu menyahut. “k****m banyak, b**o! Lo bisa beli di mana-mana kalau lo mau.”  Lagi, Lucky menoyor kepala Aree. “Ya itu kan kebiasaan lo. Malahan gue sering nemu banyak bungkus k****m di tas lo."  “Gue masih ada yang belum kepake, nih. Mau nggak?”  Lucky mengangkat tangannya ke udara, siap-siap nampol kepalanya Aree.  Obrolan cowok nggak jauh-jauh ke sana ternyata. Apa lagi mulutnya Aree, kayaknya licin banget kalau menjurus ke hal-hal begituan. Lucky bilang, dia nemu banyak bungkus k****m di tasnya Aree, tapi Aree kelihatan bangga banget. Malah nawarin ke Lucky k****m yang belum dia pake.  “Gue lebih mikirin Pita, Ar. Masalah begituan bisa nanti. Pita masih terlalu muda banget.”  Aree menepuk-nepuk bahu Lucky, sok mendramatisir. “Ternyata, dibalik kerecehan lo, lo suami yang bijak. Gue bangga punya temen kayak lo. Sayang, adek gue cowok.”  Lucky terkekeh, cowok itu menepukkan kedua tangannya. “Mana bongsor banget lagi! Tingginya ngalahin lo, padahal masih SMP.”  Aree mendengus, ganti dia yang menoyor kepalanya Lucky. “Nggak usah bawa-bawa tinggi, ya!”  “Gue cuma bilang bongsor, Ar. Bukan tinggi. Lagian, lo sewot banget kayaknya kalau gue bilang tinggian adek lo.”  “Sebodo amat!” Aree kelihatan senewen.  Gue merasa lega sekaligus kasian sama Lucky setiap kali mengingat jawaban cowok itu. Ini bukan pertanyaan pertama Aree kayaknya, beberapa kali cowok berwajah bule itu sering memberi kode ke Lucky lewat candaannya. Cuma, gue nggak pernah ambil pusing sama mulut licin si Aree.  “Ayo, hei,” Suara Lucky menyadarkan gue. Cowok itu menyenggol lengan dan pinggang gue, lalu nyengir lebar.  “Malah ngelamun!” Lucky merangkul bahu gue. “Ayo masuk. Papa sama Mama, ada Kak Evan juga di ruang tamu.”  Ah, iya. Gue baru sadar kalau kita ada di rumah Papa. Rumah yang hampir nggak pernah gue injak lantainya lagi setelah gue nikah sama Lucky. Seringkali Lucky ngajak gue kemari, tapi selalu gue tolak. Gue udah bahagia sama Lucky, kok. Biarpun gue nggak dapet fasilitas dari Papa lagi, hidup seadanya sama Lucky, udah cukup bikin gue seneng. Lucky emang nggak bisa memenuhi kebutuhan gue kayak sebelum gue menikah. Tapi, Lucky melimpahkan banyak perhatian dan kasih sayang dia ke gue. Gue dimasakin, gue diberi perhatian, dia yang telaten mengajari gue banyak hal, Lucky yang nggak pernah ngeluh. Itu udah lebih dari cukup. Gue bahagia walaupun cuma sama dia doang.  “Tumben kamu mau ikut ke sini?” Baru aja gue menunjukkan wajah, Papa menyambut gue dengan nada sinisnya. Mama tiri gue menatap Papa gue dengan tatapan protes, seolah-olah nggak terima sama nada bicara Papa gue barusan.  Selalu begitu, sok baik!  “Ky, Pita...” Kak Evan beranjak dari sofa lalu mendekati kita berdua. “Makasih, Ky, lo mau repot-repot bujukin Pita buat pulang walaupun cuma bentar."  Lucky menggeleng, cowok itu terkekeh kecil. “Nggak repot kok, Kak. Pita juga pasti kangen sama orang rumah.”  “Kangen orang rumah, atau kangen uang Papa, kamu?” sahut Papa gue. Bicaranya, tuh, nyelekit banget.  Mama tiri gue menyenggol lengan Papa, kemudian beranjak dan menyusul Kak Evan yang berdiri di tengah-tengah gue sama Lucky. “Pita, Lucky,” sapanya. “Nggak usah didengerin Papa kamu, ya.” Wanita itu mengusap lengan gue, tapi dengan sengaja gue mendorong tangannya.  Suasana kian memanas waktu Papa melihat reaksi gue barusan. Laki-laki itu mendengus, melengos ke arah lain seolah nggak sudi melihat wajah gue. “Masih aja kalian baik-baikin dia! Udahlah, Ma, Van, berhenti bersikap baik sama Pita. Kalian bakalan capek sama tingkah bar-barnya, nggak punya sopan santun kayak Mama kandungnya!”  Dada gue nyeri, banget. Bisa-bisanya Papa gue sendiri bilang kayak barusan, di depan istri dan anak tirinya, juga di depan Lucky.  “Kamu juga, Ky, betah banget punya istri kayak Pita! Kalau Papa, sih, nggak bakalan mau.” Papa terus-terusan memborbardir gue dengan kata-katanya yang nyelekit. “Awas aja, Ky, kamu bisa ditinggal selingkuh kayak yang mamanya Pita lakuin ke Papa dulu!”   Udah cukup banget gue menahan diri untuk diem gitu aja. Gue tahu kalau Mama kandung gue selingkuh dan kabur sama laki-laki lain. Tapi, apa harus banget semua kesalahan Mama dilimpahkan ke gue? Emangnya, gue yang nyuruh Mama selingkuh, terus kabur sama selingkuhannya? Nggak, kan!  Emang, cuma Papa doang yang sakit? Gue juga, b*****t!  “Ayo pulang.” Tanpa sadar gue meremas jari-jari Lucky. “Ayo pulang, Ky!"  Sebisa mungkin gue menahan diri buat nggak nangis di depan laki-laki itu. Gue nggak mau menunjukkan betapa menyedihkannya gue selama ini. Disiksa sama kesalahan para orang tua. Diejek anak tukang selingkuh, diejek anak pembantu gara-gara Papa nggak pernah datang ke sekolah setiap ada acara, dan malah nyuruh pembantu sama supir yang datang.  Sekarang, masih aja nyalahin gue? Di sini, gue korban mereka. Harusnya gue yang marah. Bukan Papa!  “Pit..." Kak Evan menahan bahu gue.  “Nggak usah sok baik!” bentak gue ke Kak Evan. “Kalian seneng, kan? Papa makin benci sama gue. Denger, nggak, yang dibilang sama Papa tadi?!”  “Papa membenci kamu bukan karena mereka! Papa punya alasan sendiri!” seru Papa, lalu beranjak mendekati gue.  Kak Evan segera menghalangi langkah Papa dan berdiri tepat di depan gue. “Papa...” Kak Evan menahan Papa.  “Minggir kamu, Van!” Papa menepis tangan Kak Evan.  “Udahlah, Pa! Papa bisa menghargai Pita, nggak? Dia udah mau datang ke sini, menjenguk kita orang tuanya. Kenapa harus marahmarah?” Mama tiri gue melakukan hal yang sama kayak yang Kak Evan lakuin.  Dalam hati gue mendengus, mereka mau bikin drama? Sok banget mau belain gue. Dih!  “Dia harus tahu, dia siapa!” tunjuk Papa ke gue.  Lucky menyembunyikan tubuh kecil gue di belakang punggungnya dan berusaha ikut membujuk Papa. Gue masih diem di tempat, menunggu kata-kata apa lagi yang bakalan keluar dari mulut laki-laki itu.  “Dia harus tahu kalau dia itu bukan—"  “PA, UDAH, DONG!” Mama tiri gue menjerit, menyela kalimat Papa.  “Papa udah terlalu baik sama dia yang jelas-jelas bukan anak kandung Papa, Ma! Pita, anak hasil perselingkuhan!”  Gue membeku di tempat. Apa katanya barusan? Gue? Anak hasil perselingkuhan?  “Nggak cuma sekali Mama kamu, tuh, selingkuh! Papa nggak tahu kamu anak hasil perselingkuhan dari laki-laki yang mana!” Papa nggak mempedulikan Mama tiri gue yang terus-terusan berusaha menyela setiap kalimat yang keluar dari mulut Papa.  Gue meringis. Fakta macam apa ini? Seriusan, gue anak hasil perselingkuhan Mama? Dan nggak jelas siapa Ayah gue, dong?  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD