Gemas

1428 Words
Lucky: Gemas “Bangun, hei,” Gue menepuk pipinya Pita. “Mandi dulu, Pit. Makan, abis itu tidur lagi.”  Gue barusan pulang dari ngajar les anak-anak. Maunya disambut sama makanan atau minuman hangat pas pulang, tapi yang ada gue disambut sama Pita yang tidur tengkurap di atas ranjang. Masih mengenakan seragam sekolah, tas yang menempel di punggung, sepatu yang belum dibuka. Waktu gue nyampek ke rumah, pintu dalam keadaan terbuka lebar-lebar. Gue mencari sosok Aree ke kamarnya, tapi ternyata nggak ada. Di rumah cuma ada Pita doang yang tidur kayak orang mati. Ini anak nggak ada takutnya sama sekali. Mbok ya kalau mau tidur, udah tahu nggak ada cowok yang menjaga dia di rumah, harusnya dikunci dulu pintunya. Ganti seragam, lepas tasnya, sepatunya juga. Nah, ini nggak. Dia main tidur aja. Tadinya gue mau istirahat sehabis pulang ngajar. Tapi begitu melihat rumah masih berantakkan, meja makan banyak bungkus makanan, gue jadi beresberes dulu, gue masak nasi dulu, baru setelah itu membangunkan Pita.  Gue yakin, nih, si Pita belum makan apa-apa. Lagian si Aree juga, mana pernah dia mau masak nasi kalau bukan gue.  “Pita!" Badan gue setengah membungkuk, berbisik di telinga cewek itu sampe gelagapan.  Gue cekikikan. Ekspresinya kelihatan bodoh banget sekarang. Cewek itu mengusap matanya beberapa kali, menengok ke kanan ke kiri lalu menguap lebar. “Jam berapa sekarang? Kok udah pulang?” tanya Pita di sela-sela cewek itu menguap.  Gue memerhatikan penampilan Pita yang baru bangun tidur. Rambutnya yang tadi pagi gue kuncir kuda jadi berantakkan. Sebelah pipinya tercetak bekas jari-jarinya yang dijadikan bantalan waktu tidur. “Lain kali kalau mau tidur, tuh, ditutup dulu pintunya," kata gue menarik bibirnya yang sering bikin gue gemes. “Udah tahu nggak ada gue sama Aree, berani banget tidur sendirian, pintunya nggak dikunci, lagi!”  Pita menepuk-nepuk punggung tangan gue, mendorong tangan gue sejauh-jauhnya dari bibirnya yang udah mirip kayak bebek. “Gue ngantuk banget tadi, Ky."  “Tutup pintu nggak sampe lima menit loh, Pit,” sindir gue. “Ayo, bangun! Gue udah masak nasi sama beli sate ayam buat lo."  “Bumbu kacangnya, banyak?”  Gue mengangguk.  “Pake cabe, nggak?”  Kali ini gue menggeleng.  Bibirnya cemberut. Bener-bener mirip bebek.  “Nggak mau, ah.” Cewek itu melengos, melipat kedua tangannya di depan d**a. “Nggak enak kalau nggak pedes, Ky," rengeknya mirip anak kecil.  “Nggak mau? Gue kasih ke Aree aja kalau gitu." Gue bangun, pura-pura pergi ke dapur meninggalkan Pita.  “Jangan, ih!” Pita nggak berhenti merengek, setengah badannya berdiri dengan kedua lututnya menyentuh kasur. “Jangan kasih ke Aree! Lo kan beliin buat gue, bukan homoan lo, itu!”  Mulai, deh. Mulai lagi dia meledek gue yang katanya homoan sama Aree cuma gara-gara sering bareng sama cowok berwajah bule KW itu. “Gue cipok, nih!” ancam gue, dan si Pita refleks menutupi bibirnya dengan satu tangan. Satu tangannya lagi menahan d**a gue yang agak dicondongkan ke dia. “Biar lo tahu mana cowok homo beneran sama bohongan. Siapa tahu lo nggak bisa bedain.”  Cewek itu menggelengkan kepalanya. Pita masih meletakan tangannya di bibir, bikin gue gemes setengah mati. “Ngeledek gue sama Aree homoan lagi, nggak?”  Pita menjauhkan tangannya dari bibir, sambil cemberut, cewek itu bilang, “Nggaaaak,” katanya, suaranya kedengaran melengking.  “Ya udah, buruan mandi, terus makan,” kata gue, kemudian menarik tangan Pita yang masih menempel di d**a gue. “Jangan lama-lama. Jangan tidur di kamar mandi!”  Pita berpegangan ke bahu gue waktu cewek itu turun dari ranjang. “Iya, Ky. Iya," balasnya, terdengar pasrah.  *** Kepala gue terangkat, pandangan gue tertuju ke arah Pita yang duduk bersandar ke kepala ranjang. Cewek itu mengenakan gaun tidur tipis berwarna merah muda. Sadar atau nggak, gue kesulitan menelan ludah sekarang. Gue nggak berhenti mengutuk baju-baju punya Pita. Khususnya gaun tidur sama baju rumahan yang sering dia pake. Harusnya dia risih pake baju-baju kurang bahan. Di rumah aja, dia sering pake kaus kedodoran, tanpa celana lagi. Kadang pake celana super pendek, atasannya cuma pake kaus tanpa lengan dan ngepas banget di badan dia. Seringkali gue bilang ke Pita untuk mengurangi berpakaian model begitu. Kalau cuma pake di kamar aja, sih, nggak masalah. Gini-gini, gue suaminya. Cuma, gue harus sering-sering mengelus d**a aja, nggak berhenti nyebut setiap kali Pita menunjukkan lekuk tubuhnya yang nggak jarang bikin gue menelan ludah susah payah.  “Gerah, Ky!” rengek Pita. “Kalau bisa, nih, gue tidurnya nggak pake baju!”  Gue mendelikkan mata dengan garang. Cewek remaja itu seolah sengaja mengatakan hal barusan. Dia masih pake gaun tidur setipis itu aja gue suka deg-degan. Lah, kalau dia tidur nggak pake baju, coba tebak, gimana reaksi badan gue selanjutnya.  Gue nggak munafik, ya. Gue cowok normal. Di depan mata ada pemandangan yang menggiurkan mata, siapa yang nggak bakalan mikir aneh-aneh? Apa lagi Pita istri gue.   “Coba aja tidur nggak pake baju. Besok kalau lo bangunbangun nggak bisa jalan, jangan salahin gue ya. Gue nggak tanggung jawab!"  Pita mengerutkan dahinya. Menutup novel di tangannya. Rambut cewek itu digelung asal-asalan, menambah kesan imut sekaligus seksi. “Emang hubungannya apa, Ky? Dulu, waktu di rumah Papa, gue sering tidur nggak pake baju. Cuma pake bra sama celana dalam doang, tapi, gue masih bisa jalan kok.”  Modelannya doang yang begajulan, tapi sebenernya Pita ini polos banget. Jelas-jelas dari kalimat gue menjurus ke sana, dan dia nggak paham. Malah nanya balik dengan ekspresi polosnya yang bikin gue makin gemes.  “Sinian, Pit,” Jari-jari gue bergerak, mengisyaratkan agar cewek itu mendekat. “Agak deketan, dong!"  Cewek itu meletakkan novelnya di atas pangkuannya, lantas menyeret bokongnya agar bisa duduk lebih dekat ke gue. Kepala Pita lebih dulu mendekati gue, bahunya menempel ke lengan gue. Dengan gemas, gue merangkul bahu Pita, kemudian bergerak melingkari leher cewek itu dan menghujani ciuman di pipinya.  Pita menjerit, kaget sekaligus terkejut karena gue mencium pipinya terlalu semangat. Dia mendorong d**a gue, wajahnya memberengut kesal.  Sedangkan gue mulai menyemburkan tawa. “Ih!” Pita menggosok pipinya lucu. “Apaan, sih, Ky! Nyebelin banget!” katanya sambil menggosok pipinya.  “Makanya jangan mancing-mancing." Gue menarik ujung hidung Pita. “Lo sadar nggak, sih, tiap hari lo kayak mancing-mancing gue mulu. Untung gue kuat imannya.”  Kening Pita berkerut, tanda bingung.  “Tuh, kan.” Gue meraba wajahnya dengan jahil. “Udah sana, lo tidur. Besok sekolah, kan?” Pita mengangguk. Gue membantu Pita membaringkan tubuhnya, lantas menarik selimut hingga ke batas lehernya. “Gue keluar bentar."  Pita menarik tangan gue, cewek itu melirik ke kanan dan ke kiri. “Mau ke mana? Jangan ke mana-mana, Ky. Gue takut!" rengeknya.  Gue melepaskan tangan Pita. Bahaya kalau gue deket-deket dia mulu. Sedangkan dia nggak peka. “Mau nunggu Aree pulang. Dia nggak bawa kunci cadangan."  Pita bangun, dia duduk bersandar di ranjang kembali. “Di sini aja kalau gitu!"  Gue menggeleng pelan, sebelah tangan gue menyentuh puncak kepalanya. Gue tepuk beberapa kali. “Di luar aja. Kalau di kamar, gue takut nggak denger.”  “Dia kan punya HP, Ky,” Pita memelas. “Gue takut kalau tidur di kamar sendirian."  “Tadi nggak, tuh," sindir gue, melipat kedua tangan di depan d**a.  “Kan, sore. Ini malam, Ky. Takut, Ky. Kalau ada Mbak Kunti, gimana?” Pita bergidik, bikin gue cengengesan. Jari-jarinya yang lentik itu menarik ujung kaus gue, kepalanya menoleh ke setiap sudut. “Temenin. Nunggu Aree nanti aja. Atau nggak, suruh pulang ke rumah orang tuanya sekalian!”  Terpaksa gue kembali ke ranjang, duduk di samping Pita. “Buruan tidur. Gue temenin lo dulu.”  “Nanti lo tinggal,” Pita menggigit bibir bawahnya.  “Ya kalau lo udah tidur.” Gue memegang bahu Pita, lalu membaringkannya ke ranjang.  Pita berbaring, menarik ujung selimutnya. Sepasang matanya yang hitam itu mengerjap, memandangi gue selama beberapa detik. Gue ikut berbaring dengan posisi miring, sebelah tangan gue menyangga kepala, satu tangan gue yang lain menepuk-nepuk kepalanya lalu turun ke bahu cewek itu.  Badan Pita bergerak, yang tadinya telentang, sekarang ikutikutan miring. Kelihatan banget kalau takut gue tinggal beneran. “Jangan ditinggalin,” bisiknya dengan mata tertutup. Gue sendiri nyaris aja tidur kalau nggak denger Pita ngomong barusan.  “Kyyyy!"  Gue menepuk kepalanya. “Iya, Pit. Iya."  “Awas aja kalau ditinggal.” “Nggak. Ya ampun.”  “Awas aja kalau gue bangun, lo nggak ada.”  “Iya."  “Ky, beneran ya. Kalau lo—"  Gue mendecakkan lidah. “Tidur sekarang, atau gue cium sampe bibir lo dower, nih!” ancam gue sembari mendelikkan mata.  Dan bener aja, Pita langsung diem. Nggak nanya-nanya mulu. Takut gue cium beneran mungkin. Haha!  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD