Pita: Menebak Perasaan Lucky
Gue mengekor di belakang Lucky, mengikuti ke mana pun cowok itu pergi. Entah itu lagi nyapu teras depan, menjemur pakaian di belakang, bahkan gue ikut pergi belanja ke pasar walaupun berujung ngambek gara-gara Lucky nggak berhenti digangguin sama cewek-
cewek kos di depan rumah.
Ya gue tahu sih, Lucky adalah tipe cowok yang murah senyum dan ramah. Berbanding balik sama abangnya, Lakka. Kalau Bang Lakka, jangan kan senyum sama cewek yang godain dia, lo dilirik aja udah suatu keajaiban. Lo nggak diketusin aja udah beruntung banget.
Beda sama Lucky. Udah tahu digodain, tapi malah balas nyapa sambil senyum. Tadinya gue mau membantu Lucky. Mulai hari ini gue mau belajar menjadi istri sesungguhnya. Hih. Kok geli nyebutnya, ya?
Harusnya gue biasa aja dong. Kan, Lucky emang suami gue. Cuma punya gue!
Gara-gara anak kos depan yang godain Lucky tanpa malu, mood gue berantakan. Semula yang semangat mau membantu Lucky memasak di dapur malah berakhir membuat acara masaknya jadi berantakkan. Dan, yang namanya Lucky akan selamanya menjadi Lucky.
Cowok itu sama sekali nggak marah biarpun gue bikin masakannya kacau-balau. Lucky yang nyuruh gue ambil garam, malah gue sodorin gula. Bodohnya si Lucky nggak lihat dulu, main masukin gulanya ke dalam masakan dia. Otomatis, waktu Lucky mencicipinya, cowok itu mengernyitkan dahi, meleletkan lidahnya seolah ingin muntah.
Gue menarik sendok dari tangan Lucky lalu ikut mencicipi sayur sop dari dalam panci. Sialan. Ini bukan lagi sayur sop. Manis, banget. Rasa-rasanya bakalan enak kalau gue celupin teh.
Lucky menarik napas, kedua tangannya diletakkan ke
pinggang dan menatap gue heran. Lucky sama sekali nggak marah, atau pun kelihatan kesal. Yang gue tangkap dari raut wajahnya cuma heran dan bingung. Kenapa punya istri macam gue, mungkin.
Pagi itu, gue sama dia berakhir makan mi instan karena waktu yang mepet buat masak lagi. Sedangkan gue harus pergi sekolah, dan Lucky ada kelas pagi hari ini. Gue pergi ke sekolah dengan bibir mencebik, merasa kesal setiap kali melihat Lucky digodain cewek lain,
terus Lucky membalas sapaan mereka yang ramah banget.
Seharian gue di sekolah nggak mood buat ngapa-ngapain. Bawaannya pengin marah, pengin mengumpat, tapi bingung harus gue lampiaskan ke siapa. Gue udah janji ke diri sendiri untuk mengurangi
kenakalan yang gue lakukan di sekolah, demi Lucky. Ya walaupun kadang masih suka jahilin temen sama guru, tapi paling nggak udah nggak separah dulu.
Temen gue nanya ada apa sama gue hari ini, gue cuma
menggelengkan kepala lalu meletakkannya ke atas meja dan berakhir ketiduran. Pulang sekolah gue nggak ke mana-mana. Gue langsung pulang, penginnya tidur supaya lupa sama kekesalan gue soal pagi tadi.
Seperti biasa, setiap gue pulang ke rumah, nggak ada siapa-siapa. Hari ini jadwal Lucky ngajar les, cowok itu bakalan pulang sekitar jam delapan malam. Gue mendesah, kedua bahu gue turun dengan lesu.
Sebenarnya gue sedang bingung, yang gue rasain apa sih? Sekadar kesal, atau malah cemburu? Eiiii. Mana mungkin cemburu. Nggak mungkinlah.
Pernikahan gue sama Lucky terhitung sekitar tiga bulanan. Itu artinya, gue sama dia udah cukup lama menghabiskan waktu berdua. Lucky yang begini, Lucky begitu, pelan-pelan gue mulai mengenali kepribadian Lucky yang memang sangat-sangat ramah sama semua
orang. Selain wajahnya yang ganteng, dia juga baik, nggak salah kalau banyak cewek yang naksir sama suami gue.
Mata gue terpejam, merasa sedikit aneh saat tanpa sengaja menyebut Lucky sebagai suami gue. Ini kali pertama gue mengakui cowok itu sebagai seorang suami. Sosok yang gue kenal secara singkat.
Dan sekarang kita udah resmi menikah.
Gue meletakkan sebelah tangan ke d**a, merasakan debaran jantung yang sangat-sangat kentara. Atau, mungkin aja orang lain bisa mendengar suara jantung gue sekarang?
"Pit!" Kepala gue yang semula menunduk, jadi mendongak. Sekarang jam berapa? Refleks gue mengangkat sebelah tangan
dan menatap arloji yang melingkari pergelangan tangan gue.
Masih jam empat sore. Kok, ada suara Lucky?
"Pit, Pita! Udah pulang sekolah, kan?"
Gue melepas tas sekolah lalu melemparnya sembarangan. Sebelum Lucky membuka pintu kamar, gue menghambur ke atas ranjang, berbaring dalam kondisi tengkurap. Susah payah gue memejamkan mata, berpura-pura untuk tidur. Selain karena nggak
mood, gue lagi gelisah. Seharian pikiran gue random banget. Tiba-tiba aja gue jadi penasaran sama perasaan Lucky ke gue selama ini. Kira-kira, gue dianggap apa sama dia? Istri? Temen? Atau cuma seseorang yang menambah beban buat dia?
Gue mencengkram ujung bantal ketika mendengar suara pintu kamar dibuka. Beneran Lucky yang masuk, kan? Bukan orang lain? Harusnya gue pastikan lebih dulu itu Lucky atau Aree yang pulang ke
rumah. Tapi, kalau Aree kayaknya nggak, deh. Suara si bule KW, tuh, khas banget. Biarpun cuma denger tanpa lihat wajahnya, pasti mudah ditebak.
"Hmm," Gue mendengar gumaman Lucky di dekat ranjang.
Pura-pura gue menggerakkan kepala dan berpindah
menghadap ke arah dinding. Kalau wajah kita sedekat tadi, gue yakin si Lucky bakal tahu kalau gue cuma pura-pura tidur doang.
"Kebiasaan banget lo, Pita," gerutu Lucky lalu beranjak dari tepi ranjang.
Gue kira, Lucky bakalan keluar kamar meninggalkan gue sendirian di sini. Tapi nyatanya nggak. Cowok itu berdiri di depan ranjang, membungkuk, lantas melepaskan sepatu dan kaus kaki yang belum sempat gue buka. Selanjutnya gue nggak tahu apa yang
dilakukan Lucky setelah melepas sepatu dan kaus kaki gue. Cuma, samar-samar gue mendengar Lucky membereskan sesuatu. Dalam detik berikutnya, terdengar suara resleting yang ditarik. Kayaknya, Lucky
sedang membereskan tas sekolah yang gue lempar tadi, deh.
Lucky duduk di tepi ranjang lagi. Pengin banget gue ngintip sebentar, pengin tahu apa yang akan dilakukan Lucky setelah ini. Kepala gue diusapnya lembut, kemudian melayangkan kecupan ke ujung kening gue, lantas berbisik, "Untung gue sayang, Pit," katanya,
mengelus rambut gue sekali lagi.
Lucky sayang sama gue? Seriusan? Gue nggak salah denger, kan?
***
"Ayo mandi." Ini udah ketiga kalinya Lucky masuk ke kamar
dan membujuk gue untuk mandi. "Emang bisa tidur kalau badan pada lengket? Dih, gue mah nggak, ya." Lucky pura-pura bergidik sok geli.
"Males," sahut gue lalu merebahkan diri lagi.
Mood gue belum balik juga biarpun udah tidur lebih dari dua jam. Tadi yang awalnya pura-pura tidur malah ketiduran beneran.
Sekitar jam enam lewat Lucky membangunkan gue untuk mandi lalu pergi makan. Cowok itu bilang, dia membelikan gue ayam goreng di ujung gang, sebagai tanda permintaan maafnya karena udah bikin gue
senewen hari ini. Lucky bukan cuma sekadar ganteng, baik, perhatian aja. Tapijuga sangat-sangat peka sama apa yang gue rasakan. Entah itu nggak mood karena orang lain, entah karena Lucky sendiri. Kalau gue mah sama kayak cewek pada umumnya. Di saat gue lagi kesal, gue lebih memilih memendamnya, menyindir, atau yang paling sering dilakukan sama kebanyakan cewek, adalah, diam. Dan, Lucky menyadari kalau
mood gue jelek gara-gara dia.
"Bangun, Pita," Lucky naik ke ranjang, menarik lengan gue.
Posisi gue awalnya memunggungi Lucky di ambang pintu, sekarang berubah menghadap ke arah cowok itu. Gue memejamkan mata erat, seolah menolak untuk melihat Lucky.
"Mandi dulu, Pita," kata Lucky, terdengar gemas. "Lo boleh tidur lagi asal mandi sama makan dulu."
"Males!" seru gue hendak memunggungi Lucky lagi.
Kayaknya Lucky mulai hilang kesabarannya karena gue yang kekeuh nggak mau mandi. Ih, gue bukannya nggak mau mandi, ya. Gue, tuh, nggak mood. Tahu sendiri cewek kalau mood lagi jelek, pasti
mau ngapa-ngapain aja males.
"LUCKYYYY!" jerit gue ketika Lucky menyusupkan satu tangannya ke leher, dan satunya lagi menyusup ke belakang lutut gue.
Gue memberontak, memukuli d**a cowok itu dan nggak berhenti menjerit karena Lucky tahu-tahu menggendong gue sampai keluar kamar. Gue tahu, Lucky akan membawa gue ke arah mana. Kamar mandi.
Lucky mendorong pintu kamar mandi menggunakan sebelah kakinya hingga gue sama dia benar-benar masuk ke dalam sana. Gue berhenti menjerit, Lucky pun menurunkan gue di dekat bak mandi.
"Gue nggak mau mandi!" teriak gue sambil mengentakkan kaki.
Tubuh gue masih dibalut sama setelan putih abu-abu. Rambut gue yang dikuncir kuda udah kebuka, dan entah ke mana perginya ikat rambut gue. Badan gue asem, banget. Tapi tetep aja ngeyel nggak mau
mandi.
"Mandi sendiri atau gue yang mandiin?" ancam Lucky melipat kedua tangannya di depan d**a.
Gue memandangi Lucky yang bahkan masih mengenakan pakaiannya sejak pagi tadi. "Ck," decak gue, meletakkan sebelah tangan
ke pinggang lalu melengos. "Kayak lo berani aja. Gue yakin, lo cuma gertak gue doang, kan?"
"Lo nantangin?" Lucky tampak tenang, tapi sorot matanya berbeda dari biasanya.
Gue menelan ludah susah payah. Dalam hati gue mulai takut sama Lucky. "Ya udah! Kalau lo berani, gue bersedia lo mandiin. Gue nggak bakal protes!"
Gue mengatupkan bibir, menelan ludah sekali lagi dan terasasakit. Lucky menutup pintu kamar mandi dengan satu tangannya lalu mendekati gue sembari membuka kancing-kancing kemejanya. Kamar mandi di rumah kontrakan kita, tuh, kecil banget. Sempit kalau diisi
gue sama Lucky, juga bak mandi. Gue nggak bisa bergerak ke mana-mana selain pasrah sama apa yang Lucky bakal lakukan ke gue setelah ini. Kalau aja kita lagi di kamar mandi di rumah Papa, gue bisa dengan
mudah menghindari Lucky. Tapi, jelas gue sekarang nggak tinggal di rumah Papa lagi.
Jari-jari Lucky sampai ke kancing terakhir. Untuk pertama kalinya gue bisa melihat d**a Lucky tanpa penghalang setelah cowok itu melepaskan kemeja berlengan pendek yang dia kenakan sebelumnya.
"Lo yang mulai ya, Pita." Bulu kuduk gue meremang. Sontak aja gue memeluk tubuh gue sendiri, berjalan mundur, padahal tahu kalau kamar mandi ini sempit.
Gue tersentak, tumit kaki gue
menyentuh dinding yang dingin. Itu artinya, nggak ada pilihan lagi selain pasrah Lucky mau ngapain gue sekarang.
Ujung jari Lucky menyentuh pipi gue, merabanya lembut lalu turun ke bahu dan mengusapnya pelan. Dalam hati gue mengumpat, bertanya kepada diri sendiri, apa malam ini gue siap memberikan hak
Lucky sebagai suami?
Tangan kanan Lucky kian turun, menyentuh kancing seragam paling atas. Gue memejamkan mata, dan pasrah apa yang akan Lucky lakukan selanjutnya...