Gue Milik Lo

1530 Words
Lucky: Gue Milik Lo Untuk meluluhkan Pita, jelas nggak mudah. Pita yang dulunya begini, dulunya begitu, mulai berubah menjadi sosok yang lebih baik ketimbang sebelumnya. Ya nggak langsung berubah baik. Tapi paling nggak, Pita udah mau berubah. Pita bukan lagi cewek remaja urakan yang jahil, apa lagi tukang bolos. Biarpun kadang suka susah dibangunin, tapi Pita tetap berangkat sekolah. Dan, satu lagi, nilai-nilai Pita mulai meningkat. Kalau gue masih kekeuh melanjutkan hal semacam ini, apa Pita nggak akan marah nantinya? Yang gue takutkan, adalah, Pita jadi balik benci sama gue, dan menganggap gue udah melecehkan dia. “Sori.” Nyaris aja gue membuka pengait bra Pita. Entah datang dari mana kesadaran gue, gue bergerak mundur, menarik tangan gue menjauhi Pita yang sekarang sedang tertegun. Gue nggak berani menatap Pita. Gue terlalu takut kalau cewek itu akan marah lalu menampar gue keras-keras, lebih menakutkan lagi dia akan pulang ke rumah orang tuanya. Nggak. Gue nggak mau. Pita harus tetap di samping gue. Gue nggak mau kehilangan dia. Apa lagi gue sangat-sangat tahu bagaimana Papa mertua gue memperlakukan Pita selama ini. “Gue nggak bermaksud melecehkan lo, Pit,” gumam gue pelan. Gue jalan mundur begitu punggung gue menempel ke pintu kamar mandi. Buru-buru gue buka lalu keluar meninggalkan Pita yang masih tertegun di sana. Kayaknya gue mulai gila. Gimana bisa gue terpancing cuma gara-gara ditantang sama Pita, sih? Gue yakin si Pita nggak benar-benar menantang gue. Dia cuma lagi kesal aja karena terus-terusan dipaksa buat mandi, padahal gue tahu dia lagi nggak mood. Gue masuk ke dalam kamar dan membiarkan pintu setengah terbuka. Gue menggeram, memukul kepala gue sendiri. Ya ampun. Gue barusan abis ngapain? Hampir aja...hampir aja gue membuat Pita menyerahkan dirinya. Pita masih SMA, Lucky! Harusnya lo bisa menahan diri lagi. Paling nggak, tunggu dia lulus tahun depan. “Ky!” seruan dari arah belakang membuat gue refleks menoleh. Di depan gue sekarang, Pita berdiri dan hanya mengenakan handuk yang tersampir di bahunya. Sedangkan badannya masih mengenakan pakaian dalamnya. Gue mendesah panjang, merutuki kecerobohan Pita yang suka sembarangan memakai handuk, padahal di sini yang tinggal bukan cuma gue sama dia aja. Tapi juga Aree. Kalau Aree lihat, gimana reaksinya? Gue nggak mau Aree sampe lihat tubuh istri gue, ya! Gue menarik Pita lebih dekat, lalu menutup pintu kamar, nggak lupa menguncinya juga. Siapa tahu Aree tiba-tiba datang, terus menerobos masuk dalam saat kondisi gue sama Pita kayak gini. Penampilan gue sama Pita bisa bikin orang lain salahpaham. Gue masih bertelanjang d**a, sedangkan Pita, cewek itu benar-benar cuma pake bra sama celana dalam doang. “Pit,” Gue menarik ujung handuk Pita, “Berani banget masuk kamar cuma pake beginian, sih!” dengus gue, merapatkan handuk di bahunya. Pita menepis tangan gue, kemudian membuang handuknya ke lantai. “Kenapa lo minta maaf?” tanyanya, kesal. “Kenapa juga lo harus pergi?" Gue berdecak, memungut handuk Pita, hendak menutupi tubuh cewek itu. “Pake, Pit. Ntar lo masuk angin.” “Di mata lo, gue ini apa sih, Ky?” tanya Pita, lagi. “Istri? Temen? Atau seseorang yang lo anggap beban?” Gue menggelengkan kepala. Apa yang dibilang Pita nggak benar. “Semenjak lo nikahin gue, semenjak itu juga lo berhak atas gue. Apa pun. Termasuk tubuh gue. Kalau aja lo minta dari awal kita nikah, gue nggak nolak, kok.” Pita menundukkan kepalanya, seolah malu telah mengatakan kalimatnya barusan. “Gue kecewa lo malah minta maaf, terus pergi gitu aja. Apa, menurut lo gue kurang?” “Nggak, Pit,” Kepala gue menggeleng cepat. “Ya udah. Kalau menurut lo, gue nggak memiliki kekurangan, kenapa lo malah pergi? Minta maaf? Buat apa? Gue ini istri lo. Lo berhak, Ky. Apa pun yang lo mau dari gue, lo berhak minta.” Gue meneguk ludah susah payah. Antara senang sama bingung. Pita memberikan lampu hijau sekarang. Cuma, gue masih memikirkan konsekuensi apa kalau gue tetap kekeuh meminta hak gue sebagai suami. “Lo masih sekolah," gumam gue. “Ya, terus?” tanyanya, mengangkat dagu. “Tinggal beberapa bulan lagi gue lulus, kenapa harus lo pikirin, sih? Kalau pun gue hamil, ya nggak masalah. Selama gue hamil anak lo, bukan anak cowok lain,” cerocosnya blak-blakkan. Pita melangkahkan kakinya menghampiri gue, cewek itu tersenyum setengah mewek. Mungkin aja kesal karena gue tinggal gitu aja setelah meminta maaf. Sebelum kedua tangan cewek itu direntangkan lebar-lebar, gue lebih dulu menarik Pita lalu gue peluk cewek itu erat-erat. “Maaf,” bisik gue di telinga Pita. “Harusnya gue yang minta maaf,” Pita balas berbisik. “Gue baru bilang ini sekarang.” Gue mengurai pelukan kita, menangkup pipi cewek itu dan menciumnya lama. Ada semburat merah di pipi Pita, terlihat sangat-sangat kentara hingga membuat gue semakin gemas dan menarik Pita lagi untuk gue peluk. “Lakuin apa pun yang lo mau.” Pita kembali berbisik, “Gue punya lo.” Setelahnya, Pita berjinjit dan mencium pipi gue malu-malu. Gue mengulum senyum, memandangi penampilan Pita yang jelas bikin pandangan mata gue berbinar. Gue mendapatkan lampu hijau, nih? Nggak boleh disia-siain, dong? Segera gue menggendong Pita, membawa cewek itu ke ranjang lalu membaringkannya di sana. Gue setengah menindih badan Pita, mengusap kening dan pipi cewek itu dengan gerakan lembut sampai Pita memejamkan matanya menikmati setiap sentuhan yang gue berikan ke tubuhnya. Pita mencengkram bahu gue, bisa gue rasakan rasa perih akibat ujung kuku Pita yang menancap di kulit gue. “Ky,” gumam Pita menggigit bibir bawahnya. Wajahnya mendongak, matanya yang setengah terpejam memandangi gue. Gue menundukkan kepala, jari-jari gue bergerak mengusap keringat di seluruh wajah serta lehernya. “Apa, hm?” Gue menenggelamkan wajah di antara bahu Pita, berbisik di telinga cewek itu. “Pelan-pelan,” bisik Pita. “Gue takut sakit.” Kalimat Pita barusan membuat gue terkekeh geli. Gue mencium keningnya, lantas menganggukkan kepala. “Santai, okay? Jangan tegang.” *** “Kenapa, sih? Bangun-bangun cemberut, gitu.” Pita duduk bersandar ke kepala ranjang. Pita mengapit selimut dengan kedua tangannya, kepalanya menoleh ke gue. “Mau mandi,” katanya, terdengar kesal. “Tapi ada Aree di luar.” “Terus, kenapa kalau ada Aree?” Pita memiringkan tubuhnya menghadap ke gue yang masih berbaring di ranjang. “Aree, tuh, nyinyir! Kalau dia tahu jalan gue aneh, gue yakin dia nggak bakalan berhenti ngeledekin gue.” “Jadi, maunya gimana?” “Ya mau mandi," jawab Pita mencebikkan bibirnya lucu. “Sini, deh!" Pita menatap gue horor. “Nggak! Mau ngapain, sih? Pasti...,” Gue ikutan duduk di samping Pita, lantas menarik tangan cewek itu sampai setengah tubuhnya menempel ke d**a gue. Selimut yang Pita kenakanan sejak tadi jadi melorot, memerlihatkan punggung polos cewek itu. “Apa? Mikirnya pasti aneh-aneh,” Gue menangkup pipinya gemas. “Gue cuma mau peluk doang.” Pita memukul d**a gue pelan. Gue memegangi d**a pura-pura kesakitan. Gue mencium bibir dan kening Pita berkali-kali. Pita sama sekali nggak protes atau pun marah. Malahan, cewek itu kelihatan sangat-sangat menikmati perlakuan gue. “Bohong.” Pita mengerucutkan bibirnya tiba-tiba. Kedua tangan gue mendekap bahu Pita, “Bohong apa?” Matanya menyipit, bibirnya bergerak-gerak lucu. “Kata lo nggak akan sakit! Apaan? Sekarang gue malah susah jalan. Sakit, Ky!” Ya ampun. Istri gue kenapa lucu banget, sih? Gue nggak bermaksud bohong sama Pita, tapi ya gimana, daripada gue bilang jujur kalau awal-awal emang sakit, nanti Pita berubah pikiran lagi. Sedangkan gue udah diujung tanduk. Bahaya, ntar. “Nggak mau lagi, ah. Sakit.” Ganti gue yang menatap dia cemberut. “Yaaah, jangan dong, Pit!” “Sakit tahu, Ky. Perih juga." “Ya kan pertama,” kata gue. “Ntar yang selanjut hingga seterusnya nggak bakalan sakit, kok.” “Bohong.” “Nggak, Pit, seriusan.” “Gue nggak percaya sama lo.” “Nggak, Pita Sayang." Lagi-lagi pipi Pita merona. Sontak dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, menyembunyikan ekspresi malu-malunya. “Lihat sini dong, Yang,” kata gue menggoda Pita. “Jangan malu-malu gitulah. Mas, kan, udah lihat.” Sepasang mata Pita membeliak. “Ih, Mas apaan, sih! Geli, tahu, Ky!” “Emangnya kenapa? Kan, harusnya lo, tuh, panggil gue Kakak atau Mas, kalau bisa. Supaya lebih manis kalau didenger orang.” “Nggak mau!” Gue memegangi tangan Pita, berusaha merengkuh tubuh polos cewek itu. “Sekali aja, coba,” kata gue. “Buat latihan doang, Pit. Nggak sekarang gue nyuruh lo panggil gitu.” Pita meringis, dia kelihatan canggung menggerakkan bibirnya. “Gimana bilangnya, ih!” Pita menggerakkan bahunya kesal, sehingga d**a Pita yang nggak tertutupi apa pun terlihat ikutan bergerak dan membuat gue kehilangan fokus. Gue berdeham, menarik selimut dan menutupi tubuh polos Pita. “Mas Lucky..." “Hih!” Pita bergidik geli. “Kok, hih, sih?” “Lo nggak cocok dipanggil, Mas, Ky." “Terus, dipanggil apa dong?” Pita nyengir lebar, “Abang tukang bakso!” “Oh, gitu, ya!” Pita tertawa cekikikan setelah meledek gue barusan. “Sini lo,” kata gue menarik lengan Pita, “Minta dikekepin emang lo, Pit. Sini!” Gue menciumi seluruh wajah Pita, leher dan telinga cewek itu gue gigit sesekali hingga membuat Pita meringis, setengah mendesah. Gue membungkam bibir Pita segera, sebelum Aree mendengar suara istri gue, lalu menggendor pintu kamar kita dengan rusuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD