Part 2

1451 Words
Cahaya matahari yang masuk lewat celah jendela, membangunkan Willy yang masih bergelung dalam selimutnya. Tangannya meraba-raba atas nakas di samping ranjang untuk mengambil ponselnya. "Oh, Shitt!" Pukul sembilan. Hal itu berhasil membuat mata Willy yg berat melebar. Tak perlu waktu lama baginya untuk bergegas menyelesaikan rutinitas paginya. Seharusnya satu jam yang lalu Willy sudah menghadiri meeting yang akan membahas kembali kerja samanya dengan Hampton Group. Tapi sialnya, kondisinya sekarang tidak memungkinkan untuknya bisa datang tepat waktu. Tiga puluh menit kemudian, Willy sudah terlihat rapi dengan setelan kantor yang melekat pas di tubuh tegapnya. Ia segera mengangkat ponselnya yang sejak tadi berdering. Tanpa melihatpun, ia tahu bahwa itu adalah panggilan dari asisten pribadinya. "Tiga puluh menit lagi. Cari cara untuk menahan mereka!" perintah Willy pada lawan bicara di seberang ponselnya, lalu tanpa menunggu balasan ia segera memutuskan panggilan itu. Sebagai pemilik perusahaan memang tidak menjadikan Willy bertindak sesuka hati dalam bekerja. Ia selalu berusaha mencontohkan sikap disiplin pada karyawannya. Willy memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Yang harus dilakukannya sekarang adalah segera sampai di kantor untuk menghadiri meeting sialan itu. Harga dirinya yang tinggi tidak membiarkannya menerima penolakan untuk kedua kalinya. Jika biasanya memerlukan waktu empat puluh lima menit untuk bisa sampai di kantornya, tapi sekarang hanya dalam dua puluh lima menit Willy sudah sampai. Beruntung jalanan kota New York hari ini tidak sepadat seperti biasanya. Langkah Willy yang sudah sampai di depan pintu ruang meeting terhenti begitu mendengar samar-samar suara bentakan pria tua yang baru kemarin menginjak-injak harga dirinya. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, Willy dapat melihat seorang wanita yang menjadi korban luapan kemarahan pria tua bernama Mr.Hampton itu menunduk ketakutan. "Kau telah mengecewakanku Ms.Hill. Kau memang berbakat, tapi aku tidak menyukai orang yang tidak disiplin sepertimu. Kau dipecat! Aku akan tetap membayar prestasimu selama kau bekerja di perusahaanku, tapi aku tidak bisa membiarkanmu bekerja bersamaku lagi." "Maafkan saya, Sir. Saya berjanji tidak akan terlambat lagi. Saya sangat membutuhkan pekerjaan ini." "Menarik." Itulah yang Willy pikirkan saat ini. Pemandangan wanita yang sedang berlutut sembari menangis di hadapan Mr.Hampton itu entah mengapa membuatnya terhibur. Willy bahkan tidak menyadari jika senyum kecilnya terbit hanya karena menyaksikan hal itu. "Tidak ada yang bisa mengubah keputusanku Ms.Hill. Pergilah! Aku yakin kau akan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuanmu." Mr.Hampton berbalik untuk duduk di kursinya mengabaikan permohonan wanita itu. Tadinya Willy pikir, wanita itu akan terus memohon dengan tangisan menyedihkannya. Tapi ternyata wanita itu tidak selemah yang Willy bayangkan. Itu terbukti dari sorot murka yang ditunjukkan wanita itu setelah berdiri tegak sebelum melangkahkan kaki meninggalkan ruangannya. Dan saat itu juga lah Willy masuk hingga tanpa kesengajaan tubuh wanita itu menubruk tubuhnya. "Maaf." Wanita yang semula menunduk itu segera mendongak menatap Willy dengan tatapan menyesal. Tatapan mereka bertemu selama tiga puluh detik. Jelas saja hal itu membuat Willy risih. Terlebih ketika tatapan yang mengarah lurus padanya perlahan berubah tajam seakan ingin mengulitinya. "Apa kau tidak bisa melihat aku ingin masuk? Menyingkirlah dari hadapanku!" ucap Willy sinis. Satu detik, dua detik, sampai sepuluh detik. Plakkk... Suara tamparan keras terdengar hingga berhasil menarik perhatian semua peserta meeting dalam ruangan. Tatapan horor kini mereka lemparkan pada Willy yang sedang memegangi pipinya. "Shitt!" Umpatan Willy menggelegar. Tapi belum sempat ia meluapkan kemarahannya, suara tamparan kembali terdengar. Untuk kedua kalinya wanita itu menamparnya tanpa alasan yang jelas. What the f**k! Rasanya Willy ingin meledak sekarang juga. Napasnya memburu, menahan keinginan kuat agar tidak membalas tamparan wanita itu. "Apa yang kau lakukan? Apa kau sudah gila?" "Pria brengsek." Tamparan ketiga kalinya akan Willy terima jika ia tidak segera mencekal tangan wanita itu. Hell, ia tidak akan mungkin membiarkan tangan kotor wanita itu kembali mendarat di pipinya. "Gadis gila! Siapa kau?" Willy menarik napas panjang berusaha mengontrol emosinya. Jika saja yang di hadapannya adalah pria, bisa dipastikan Willy akan membunuhnya sekarang juga. "Kau lebih buruk dari iblis. Pria bastard sepertimu seharusnya lenyap dari muka bumi ini," Wanita itu melangkah cepat mengabaikan pertanyaan Willy. Namun sebelum ia benar-benar pergi, segala sumpah serapah kembali mengalir dari bibir tipisnya. "Berhentilah menjadi pria b******k jika kau tidak ingin menjadi penghuni neraka! Dasar pria tak bermoral dan tidak punya hati." Untuk beberapa saat Willy hanya bisa ternganga menatap punggung wanita yang menjauhinya. Berbagai emosi kini berkecamuk dalam dirinya. Kemarahan karena telah direndahkan, kebingungan karena tidak tahu alasan kesalahannya pada wanita itu, yang terpenting Willy merasa ngeri mendengar perkataan wanita itu. Mengapa kata-kata tajam tadi terasa tepat untuk dirinya? For God Sake, belum pernah sekalipun Willy diperlakukan seperti ini oleh orang lain. Bagaimana bisa wanita itu berani merendahkannya? Mengabaikan itu semua, Willy melangkah memasuki ruangan dengan wajah angkuhnya seperti biasa tanpa mempedulikan pandangan bertanya semua orang dalam ruangan. "Apa meeting nya sudah bisa kita mulai?" tanya Willy setelah duduk di kursinya. "Yes, Sir." Walau sudah menunggu lama, namun tidak ada yang berani memprotes keterlambatan Willy. Mereka tahu bahwa sebuah kesalahan jika mengusik pria itu. Berbeda dengan Mr.Hampton. Pria tua itu hanya diam menahan kekesalannya. Meeting ini memang hanya dihadiri beberapa pihak penting dari dua perusahaan Hampton Group dan Rutter Group untuk membicarakan kembali kerja sama yang belum terjalin diantara dua perusahaan itu. Meeting dimulai. Namun tidak seperti biasanya, Willy tidak fokus dengan apa yang sedang dikerjakannya. Kata-kata wanita yang menamparnya tadi rupanya terus terngiang di telinganya. Willy yakin, pasti ada alasan kuat hingga wanita itu berani menamparnya. Otak Willy terus berputar untuk mengingat identitas wanita itu. Namun sialnya seberapa keraspun Willy mencoba tetap saja ia tidak berhasil mengenali wanita sinting itu. Jangan berpikir kalau Willy tidak memiliki memori jangka panjang yang baik, hanya saja ia sulit untuk mengingat wajah orang lain yang baru pertama kali dilihatnya. Tapi, tunggu! Tiba-tiba saja sebuah ingatan terlintas dalam pikiran Willy. Saat dimana seorang wanita meminta pertolongan padanya tadi malam. Willy memang tidak mengingat jelas wajah wanita itu, namun ia dapat melihat kesamaan rambut berwarna pirang panjang dan sedikit bergelombang. Ditambah lagi tas selempang yang sama digunakan wanita itu. Tidak salah lagi. Wanita itu pasti wanita yang sama dengan yang ditemuinya semalam. What the hell! Mengapa Willy selalu melihat wanita itu pada saat menangis? Sepertinya kehidupan wanita itu cukup menyedihkan. Tapi tentu saja hal itu tidak harus dipedulikannya. Willy harus menunjukkan pada wanita itu siapa orang yang telah dipermalukannya. Willy bersumpah untuk membuat wanita itu menyesal karena telah merendahkannya. "Bagaimana menurut anda, Mr.Rutter?" Pertanyaan Mr.Hampton menyadarkan Willy dari lamunannya. Sial! Willy sama sekali tidak menyimak pembahasan mereka. "Saya rasa semuanya sudah jelas. Kerja sama ini akan menguntungkan untuk kedua belah pihak." Mr.Hampton yang sejak awal sudah kesal dengan sikap tidak profesional Willy, akhirnya berdiri dari tempatnya dan membawa berkas penting dari mejanya setelah berkata sinis, "Saya pikir kerjasama ini tidak akan pernah terjadi mengingat sikap anda yang tidak profesional. Keterlambatan dan ketidakfokusan anda menunjukkan bahwa anda memang tidak serius untuk mengerjakan proyek ini." "Tidak baik terlalu terburu-buru mengambil keputusan, Mister!" Rupanya Willy sudah bisa memprediksi respon Mr.Hampton. Ia menatap pria berjas hitam di sampingnya yang ditanggapi pria itu dengan menyerahkan sebuah map pada Mr.Hampton. "Kau mengancamku, Mr.Rutter?" Mr.Hampton meremas kuat map di tangannya. "Aku hanya menunjukkan taringku, tapi sepertinya kau sudah ketakutan padahal aku belum menghisap darahmu." Willy menyeringai. Cukup menyenangkan memiliki kartu as yang bisa menjatuhkan lawanmu. Willy yakin sebentar lagi mangsa di depannya ini akan menyerahkan diri padanya. Semua orang dalam ruangan mulai bergidik mendengar perkataan Willy. Mereka memang sudah mengenal sosok Willy Rutter yang akan melakukan apapun untuk menaklukkan musuhnya, sekalipun itu hal kejam. "Katakan apa mau mu?" Mr.Hampton menggeram. Darahnya serasa mendidih karena merasa dipermainkan. Willy tersenyum miring memundurkan tubuhnya bersandar dengan tangan bersidekap. "Aku sudah mengatakan bahwa kerja sama ini merupakan simbiosis mutualisme." "Baiklah, kerja sama ini akan dilakukan." Terdengar helaan napas frusrtasi Mr.Hampton. Tanpa mau berlama-lama, pria tua itu melangkahkan kaki untuk meninggalkan ruangan yang berhasil membuatnya ingin meledak. "Tunggu!" ucapan Willy menghentikan langkah kaki Mr.Hampton. "masih ada satu lagi. Aku ingin kau meminta wanita yang kau pecat tadi untuk bekerja di perusahaanku mulai besok." suara Willy terdengar tenang namun sarat ancaman. "Kau sangat pintar memanfaatkan situasi, anak muda." ucap Mr.Hampton sarkas sebelum akhirnya meninggalkan ruangan itu. "Kalian sudah tahu kesimpulannya. Sekarang, silahkan keluar!" Dengan segera, semua orang yang ada di ruangan melangkah keluar satu per satu menyisakan Willy dan tawanya yang menggema di dalam ruangan. Willy merasa dirinya benar-benar hebat. Dengan menggunakan otak cerdasnya, ia bisa memanfaatkan kelemahan dari lawannya. Willy memang mendapatkan foto-foto Mr.Humpton dari orang kepercayaannya. Dari foto tersebut, terlihat pria tua takut istri itu sedang bermesraan dengan dua wanita muda di sebuah club malam. Inilah salah satu alasan Willy membenci wanita, karena wanita hanya bisa membawa petaka. Tapi sepertinya sebentar lagi Willy akan sedikit bermain-main dengan seorang wanita. Wanita yang bahkan namanya pun belum diketahuinya. Bukan hanya sekadar main-main, karena Willy harus menunjukkan pada wanita itu bahwa seorang Willy Rutter tidak pantas untuk direndahkan. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD