Part 1

2170 Words
Suara bentakan terdengar keras dari ruangan bertuliskan CEO Room. Seorang pria terlihat sedang memarahi kedua bawahannya yang sedang menunduk ketakutan. Rahang pria itu mengetat tajam, matanya berkilatkan kemarahan yang jelas. "Kalian kupecat! Pastikan jangan pernah menunjukkan wajah kalian lagi dihadapanku!" "Maafkan kami, Sir! Kami tidak bermaksud seper—" Belum sempat salah seorang dari bawahan itu menyelesaikan ucapannya, suara hantaman meja disertai ancaman dari sang atasan menggelegar dalam ruangan yang mendadak bagaikan neraka untuk keduanya. "Pergi atau aku akan membunuh kalian sekarang juga!" Sukses saja ancaman itu berhasil membuat kedua bawahan itu bergidik ngeri. Jantung keduanya berpacu kencang mendapati atasannya yang sudah bertransformasi menjadi malaikat kematian. Ayolah, siapa yang tidak mengenal CEO muda mereka? Willy Rutter yang terkenal dengan sikap dingin dan kekejamannya. Hanya dengan menatap mata birunya saja mampu menciutkan nyali seseorang karena sorotnya yang tajam. Suara berat yang penuh ketegasan mampu membuat siapapun yang mendengar perintahnya akan memilih tunduk menurutinya. Seorang Willy tidak pernah bermain-main dengan ucapannya, karena itu kedua bawahan itu memilih melangkahkan kaki keluar, sebelum membiarkan nyawa mereka melayang begitu saja akibat ledakan kemarahan atasan mereka itu. Setelah kedua bawahannya pergi, Willy berbaring di sofa seraya memijat pelipisnya yang berdenyut. Kemarahan dan gurat penat terlihat jelas di wajah tampannya. DAMN! Willy merasa sudah salah memperkerjakan orang yang bisanya hanya menghamburkan uang perusahaan saja. Belum pernah sekalipun Willy mendapat penolakan kerja sama dari perusahaan lain, karena biasanya perusahaan lain lah yang akan mengemis untuk menjalin kerja sama dengan perusahaannya. Tapi hari ini, rekor itu terpecahkan oleh Hampton Group yang menolak kerja sama atas proyek baru yang sejak lama diimpikan Willy. Dan tentu saja ini semua disebabkan oleh kedua bawahannya yang bodoh itu. "Hei, Dude! Ada apa dengan wajah menyeramkan itu?" "Jangan membuat mood ku semakin buruk, Joe! Ada apa?" tanya Willy datar. Tanpa melihat pun, ia tahu jika yang sudah masuk ke ruangannya tanpa mengetuk pintu adalah Joshua Kenward, sahabatnya. Joe terkekeh kecil sembari mengambil posisi duduk di seberang Willy dengan tangan bersidekap santai. "Kenapa kau tidak mengangkat panggilanku? Come on, Dude! Dunia ini indah, kenapa kau harus merusak keindahannya dengan memilih berkencan dengan berkas-berkas sialan ini?" Willy berdeham singkat sembari memejamkan mata malas. Ia tidak mau menyia-nyiakan energinya hanya untuk membalas ucapan Joe yang menurutnya sangat tidak penting. "Dasar pria kesepian! Astaga, kau benar-benar terlihat menyedihkan seperti ini." Lagi-lagi hanya deheman singkat Willy yang menyambut suara Joe. "Disaat seperti ini aku pikir kau sangat membutuhkan wanita, Dude." "Stop it, Joe!" Geram Willy. Denyutan di kepalanya mendadak bertambah hebat mendengar omong kosong sahabatnya ini. "Kurasa merelakan teman tidurku malam ini untukmu tidak jadi masalah untukku." "Joe!" "Tidak perlu berterimakasih, Dude! Ini adalah bentuk kepedulianku yang memiliki sahabat kesepian sepertimu." "Joe." "Aku tahu, aku baik. Kau memang beruntung memiliki sahabat setampan dan sebaik diriku." "Keluar!" Bentakan Willy menggelegar, tapi hal itu justru disambut Joe dengan tawanya yang lepas. Mudah sekali bagi Joe untuk menggoda sahabatnya yang pemarah ini. "Kau tidak merindukanku? Aku bahkan harus berjuang menempuh perjalanan berjam-jam untuk menemuimu, tapi kau malah mengusirku. Tega sekali kau ini." Bukannya mencoba meredakan amarah Willy, Joe justru semakin menyulut emosi sahabatnya itu dengan ucapannya yang sengaja didramatisir.  Padahal jelas-jelas tadi siang mereka baru bertemu dan jarak dari kantornya kesini hanya memakan waktu empat puluh lima menit, bukan berjam-jam seperti yang Joe katakan. "Sekali lagi kau mengeluarkan ocehan bodohmu, aku pastikan kau berakhir jatuh dari jendela ini!" ancam Willy dengan suara yang sudah meninggi. "Jika kau menjatuhkanku, maka kau akan benar-benar menjadi pria kesepian, Dude. Tidak akan ada lagi yang menelpon mu hanya untuk menanyakan apakah kau sudah makan atau belum, tidak akan ada lagi-" Ocehan Joe masih terus berlanjut jika suara murka Willy tidak segera menghentikannya. "Keluar sebelum aku benar-benar melemparmu keluar!" bentak Willy yang sudah bangkit dari posisi tidurnya hingga membuat Joe tidak mampu lagi menahan tawanya. Tawa lepas yang semakin membuat Willy meradang. "Fine, aku pulang," Joe berdiri. "apa kau tidak ingin mengantarku, Babe?" lanjut Joe menaik turunkan alisnya menunjukkan ekspresi menggoda. "DAMN YOU!" Willy mengumpat seraya berdiri siap memberikan serangannya. Tapi tentu saja Joe sudah lebih dulu memperkirakannya, pria itu melangkah cepat keluar ruangan seraya melambaikan tangan kanannya. "Sampai jumpa pria kesepian." ejek Joe sebelum menghilang di balik pintu. Willy menghela napas berat, tidak habis pikir, kenapa ia bisa memiliki sahabat yang selalu membuatnya kesal. Bukannya menghibur, Joe malah membuat kepalanya terasa semakin berdenyut akibat ocehan sialannya itu. Lupakan... Sekarang yang harus Willy pikirkan adalah cara untuk mendapatkan kerja sama dengan Hampton Group pada meeting besok. Dengan otak Willy yang cerdas dan bisa dikatakan licik, ia memang selalu punya cara untuk menaklukkan perusahaan lain yang akan menjadi partner kerjanya. Kali ini ia harus memutar otak untuk menemukan cara itu. Karena tidak akan pernah ada kata menyerah dalam kamus hidupnya. Willy melirik jam tangannya, tepat pukul sepuluh malam. Lebih baik baginya pulang mengingat energinya sudah terkuras habis akibat kemarahannya tadi. Ya, lebih baik ia memikirkannya lagi nanti di rumah. *** Seorang wanita terlihat berjalan tergesa-gesa menuju ruang CEO dengan membawa tumpukan map ditangannya. Segala rutukan tak henti keluar dari bibir wanita itu akibat banyaknya pekerjaan yang mengharuskannya lembur sampai malam seperti ini. Setelah mengetuk pintu, wanita itu masuk ke dalam ruangan dengan langkah gontai. Ia merasa tenaganya telah terkuras habis karena pekerjaannya hari ini. "Maaf Sir, apakah masih ada yang harus saya kerjakan lagi?" tanyanya pada pria tua yang sedang duduk di kursi kebesarannya. Pria itu menatapnya tajam namun terlihat jelas tatapan nakal dari mata lebarnya. "Tidak. Sekarang kau bisa pulang," ucap pria itu datar. "dan jangan pernah coba untuk terlambat lagi jika kau masih tetap ingin bekerja disini!" lanjutnya memberi peringatan. "Baik Sir, saya permisi." Wanita itu mengangguk mengerti lalu segera berbalik meninggalkan ruangan. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam yang menandakan bahwa wanita itu terlambat empat jam dari seharusnya ia pulang. Ini memang salahnya, hampir setiap minggu selalu ada waktu yang diisi dengan keterlambatannya. Dan hari ini kesalahan fatal yang dilakukan wanita itu adalah terlambat empat jam yang membuat atasannya melaporkan itu langsung pada CEO perusahaan mereka. "Jeslyn!" sapa seorang pria berkacamata dari belakangnya. Pria itu masih mengenakan setelan kantor serta menenteng tas kerja yang menandakan jika ia juga bersiap untuk meninggalkan kantor. "Kau mengagetkanku, Cal. Beruntung aku tidak menendangmu dengan sepatu heels ku ini." gerutu Jeslyn seraya menjulurkan kaki kanannya dengan kesal. Suasana kantor yang terlihat sepi membuatnya sedikit waspada, dan suara tiba-tiba Calvin berhasil membuat jantungnya nyaris jatuh ke perut. "Hei, santai ladies!" Calvin terkekeh geli melihat wajah tertekuk Jeslyn. "Kenapa baru pulang jam segini?" tanyanya bingung. Terdengar helaan napas berat Jeslyn ketika menjawab, "Aku mendapat jatah lembur karena keterlambatanku." "What?" pekik Calvin tak percaya. Ia pikir, selama ini Jeslyn selalu mendapat perlakuan istimewa dari CEO mereka, mengingat tidak pernah mendapat teguran ataupun hukuman atas kesehariannya yang sering terlambat. "Apa kau akan dipecat juga?" tanya Calvin dengan senyum jenakanya. "Astaga! Doamu kejam sekali," sangga Jeslyn tidak terima. Ia melipat tangannya di d**a lalu tersenyum penuh percaya diri. "tentu saja aku tidak akan dipecat, mengingat prestasiku sangat baik." "Well, kau memang selalu menang dalam hal itu," Calvin mengangguk-ngangguk mengerti. "jadi, apa kau ingin ku antar?" Jeslyn menggeleng kecil seraya merapatkan mantel serta mengusap-ngusap kedua lengannya. "Tidak, terimakasih Cal. Aku naik bus saja." "Tidak baik bagi wanita seorang diri di malam hari. Terlebih cuaca sangat dingin, kau akan membeku jika terlalu lama berada di luar." ucap Calvin panjang lebar. Terdengar jelas nada khawatir dalam suaranya. Sejujurnya, perkataan Calvin memang dibenarkan batin Jeslyn. Tapi ia tidak ingin merepotkan pria itu. Pria yang telah mengungkapkan perasaan cinta padanya, namun berakhir dengan penolakan darinya. Karena bagi Jeslyn, Calvin tidak lebih dari seorang teman yang baik untuknya. "Tidak apa-apa. Kau lihat jalanan masih ramai dan aku sudah memakai mantel tebal!" Calvin berdecak tidak suka, namun selanjutnya ia menyunggingkan senyumnya. "Kau memang selalu punya alasan untuk menolakku. Baiklah, kalau begitu hati-hati dijalan! Hubungi aku jika kau memerlukan bantuan!" "Yes, Sir!" ucap Jeslyn sebelum berlalu meninggalkan Calvin. Jeslyn melangkah dengan tergesa-gesa. Perlu waktu sepuluh menit berjalan dari kantor menuju halte. Ia tahu akan sangat sulit menemukan bus di waktu seperti ini. Namun tidak ada pilihan lain bagi Jeslyn. Bus adalah pilihan baik untuk menghemat dibandingkan taksi. Karena itu Jeslyn terus menunggu di halte sambil sesekali melirik jam ditangannya. Tangannya terus mengusap-ngusap kedua lengannya yang terasa dingin. Ia harus segera ke rumah sakit, karena tidak pernah sekalipun ia meninggalkan kakaknya seorang diri pada malam hari. Rumah sakit memang sudah seperti rumah kedua bagi Jeslyn. Setiap hari ia harus menemani kakaknya yang sedang menjalani perawatan di tempat itu. Hanya sesekali Jeslyn pulang ke apartemennya yang kecil untuk mengambil pakaian dan barang-barang penting lainnya. Sudah hampir satu jam Jeslyn menunggu, namun belum ada satupun bus yang datang. Sementara tubuhnya sudah mulai bergetar kedinginan. Berkali-laki ia menghela napas berat yang menimbulkan kepulan asap ke udara. Matanya memandang was-was ke jalanan yang mulai terlihat sepi. Tiba-tiba tampak tiga orang pria berjalan sempoyongan ke arah Jeslyn. Masing-masing mereka memegang botol minuman yang bisa Jeslyn pastikan adalah minuman keras. "Hei, cantik. Sedang apa sendirian disini? Menunggu kami, eh?" Seorang pria berperut buncit mendekat ke arah Jeslyn dan memegang dagunya. Alarm bahaya dalam kepala Jeslyn berbunyi. Dengan segera, Jeslyn menepis dan mendorong pria itu hingga tersungkur. Aroma rokok dan alkohol dari para pria itu berhasil membuat perut Jeslyn mual seketika. "Wow. Kau kasar sekali, Nona. Tapi aku menyukainya." ujar pria lain dengan tato elang di lengannya. "Aku rasa malam ini kita mendapatkan santapan lezat." sahut pria berkepala plontos yang sedang menatap tubuh Jeslyn dari kepala sampai ke kaki dengan seringaian menyeramkan. "Jangan mendekat! atau aku akan berteriak." Jeslyn berusaha menutupi ketakutannya. Ketiga pria itu sontak mengeluarkan tawanya. Mereka melangkah semakin mendekati Jeslyn yang mengambil langkah mundur. "Silahkan! Tidak akan ada yang mendengarnya." ucap salah satu dari ketiga pria itu. Jika tadi tubuh Jeslyn bergetar karena kedinginan, kini ia semakin gemetaran karena rasa takut. Jalanan tampak sepi, hanya sesekali terlihat mobil bergantian lewat dan percuma ia berteriak karena pasti tidak akan ada yang mendengarnya. Jeslyn menarik napas panjang berusaha mengontrol ketakutannya. Tidak mungkin ia bisa mengalahkan tiga pria berbadan besar ini. Hanya kabur satu-satunya cara yang bisa dilakukannya. Tepat saat Jeslyn akan berlari, cekalan tangan seseorang menghentikannya. "Mau kemana, Nona? Kau tidak akan bisa kabur dari kami." ketiga pria itu berdiri membentuk lingkaran mengepung Jeslyn. "Mau apa kalian? tolong lepaskan aku! aku tidak mengenal kalian." Jeslyn meronta berusaha melepaskan cekalan kuat di tangannya. "Karena itu kau harus berkenalan dengan kami dan kita akan bersenang-senang." ucap pria berkepala plontos yang sedang mencekal tangan Jeslyn sambil berusaha menciumnya. "Tidak! Jangan lakukan itu! Kumohon seseorang tolong aku!" teriak Jeslyn masih berusaha memberontak melepaskan diri. Air matanya telah merambas keluar. Kakinya bergerak-gerak ingin menendang apapun yang ada didekatnya, tapi sial karena dua pria lainnya kini ikut menahan kakinya hingga membuat Jeslyn sulit bergerak. "Hei, Man! Sedang apa kalian?" ucapan seseorang mengalihkan perhatian mereka semua. Seorang pria asing dengan setelan mahal khas kantornya tiba-tiba sudah menjulang tinggi di hadapan mereka. Dengan terisak, Jeslyn menatap pria asing yang kini juga sedang menatapnya. Sama sekali tidak terlihat tatapan iba dalam mata biru itu. Atau mungkin karena air mata yang membuat mata Jeslyn buram hingga tidak dapat melihat dengan jelas. Entahlah, yang pasti Jeslyn berharap jika pria ini akan menjadi malaikat penolongnya. "Bukan urusanmu. Jika kau ingin selamat, segera pergi dari sini!" kata pria yang sedang memegangi tangan Jeslyn. "Santai, Man! Aku hanya ingin bertanya tempat mengisi bahan bakar disini, karena aku tidak bisa menyetir mobilku yang kehabisan bahan bakar." Willy menunjuk ke arah mobilnya yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka berada. "Tidak ada yang kau cari di sini, cepatlah pergi sebelum kesabaranku habis!" kata pria berperut buncit. Ketiga pria itu menggeram marah karena kesenangannya terganggu. "Ah, sayang sekali. Kalau begitu, aku akan meminta bantuan pada orang lain saja." Willy menyuarakan penyesalannya yang dibuat-buat, namun walaupun begitu mata Willy tetap mengarah pada wanita yang masih dalam kepungan ketiga pria yang bisa Willy pastikan sedang mabuk. Wanita itu menangis dengan tatapan mengisyaratkan permohonan yang jelas. Willy tahu wanita itu akan menjadi korban kejahatan ketiga pria itu, tapi tetap saja Willy memilih mengabaikannya. Salahkan saja wanita itu yang berkeliaran sendiri di malam hari. Jika ia berada di rumah, pasti tidak akan terjadi hal seperti itu, pikirnya. "Baiklah, Selamat bersenang-senang!" ucap Willy sebelum berbalik kembali ke mobilnya. Tidak sampai satu menit setelah itu, mobil lain datang untuk menjemput Willy. Seorang pria berjas hitam keluar dari mobil dan menunduk hormat padanya. "Bereskan semuanya!" perintah Willy sambil berlalu masuk ke dalam mobil yang dibawa pria berjas hitam tadi. Di dalam mobil, Willy kembali memijat pelipisnya yang masih berdenyut. Kenapa kesialan bertubi-tubi harus menimpanya hari ini? Mulai dari penolakan kerja sama perusahaan serta mobilnya yang mogok karena kehabisan bahan bakar. Sialan! Mungkin ia harus memecat pegawai bodoh yang sudah mempersiapkan mobilnya hari ini. Ah, kenapa juga ia harus melihat kejadian menjijikkan seperti tadi? Willy masih mengingat jelas tatapan memohon serta tangisan wanita tadi yang sampai saat ini memenuhi kepalanya dan berhasil membuatnya merasa menjadi pria b******k karena telah meninggalkan wanita itu. Tapi Willy tetaplah Willy yang begitu membenci wanita. "Kau bukan b******k Will, kau hanya menyelamatkan dirimu dari kaum hawa itu." batinnya dalam hati. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD