02

997 Words
Pria berusia 25 tahun tampak merangkul mesra seorang wanita. Keduanya tengah berada di bawah pengaruh alkohol. Mereka berjalan menyusuri lorong lantai di mana apartemen dari si pria berada. Pria itu menekan beberapa digit angka untuk membuka pintu apartemen yang kurang lebih baru lima hari belakangan ini dia tinggali kembali. "Sayang, kamu begitu tampan," racau wanita itu dalam keadaan setengah sadar. Dia membelai wajah si pria bermaksud menggoda. Wanita itu baru saja dikenal oleh si pria di sebuah bar beberapa jam yang lalu. Mereka akan melakukan 'kencan semalam'. Wanita tersebut menarik si pria dengan cepat ke arah kasur. Posisi si pria kini tengah terlentang di atas kasur. Kesadarannya kurang dari 50% akibat efek beberapa botol minuman beralkohol dia tenggak di bar tadi. Wanita itu naik ke atas kasur setelah berhasil melepaskan blazer yang digunakannya. Dia mencium si pria dengan agresif. Berbeda dengan si pria yang terlihat tak nyaman. Pikirannya senantiasa dihantui oleh 'sosok seorang perempuan' setiap kali ia ingin melakukan kencan semalam dengan wanita manapun, termasuk malam ini. Sial! Kenapa dia terus terlintas di pikiran gue! "Lo kenapa, Aditya?" tanya wanita itu saat pria bernama Aditya melepas ciuman di antara mereka lalu bangkit dari tempat tidur. "Gue capek," jawab Aditya dingin. Kini tubuhnya bersadar di atas sofa. "Gue bisa buat rasa capek lo berkurang," kata wanita tersebut dengan nada menggoda. Dia juga ikut duduk di samping Aditya. Aditya tak menyahut, matanya terpejam sejenak. Kembali bayangan sosok seseorang perempuan muncul di benaknya. Sosok yang telah menghilang beberapa bulan belakangan ini dan menyita pikiran Aditya tanpa dia sadari sendiri. Menghilang? Tidak, bukan menghilang namun lebih tepatnya Aditya tak mencari sosok itu. Untuk apa Aditya mencarinya? Mengingat perempuan itu tak memiliki arti khusus untuknya. Aditya terus menanamkan hal tersebut dalam logikanya. Sangat berbeda dengan isi kepala Aditya yang terus memutar bayangan wajah sembab dan berlinang air mata dari perempuan tersebut. Ya, dialah alasan utama dibalik tangisan perempuan tersebut kala itu, beberapa bulan yang lalu. Masih terekam jelas bagaimana perempuan tersebut menangis akibat perbuatan tak terpujinya. "s**l!" umpat Aditya. Pikirannya benar-benar kacau. "Aditya lo ada masalah?" Wanita itu kembali bertanya. Dia mencoba menyentuh Aditya. "Jangan sentuh gue!" peringat Aditya dengan nada keras. "Gue tahu lo sedang suntuk. Gue akan buat mood lo balik lagi." Wanita itu malah semakin menggoda. "Sorry gue lagi pengin sendiri. Ini bayaran buat lo," kata Aditya sambil menulis nominal angka yang lumayan besar di sebuah kertas cek lalu menyerahkannya pada wanita itu. "Hahaha. Thanks. Baiklah jika ini mau lo. Gue pergi dengan senang hati." Wanita itu berucap tanpa banyak protes. Aditya tak menjawab. Wanita itu memakai kembali blazer-nya kemudian berjalan dengan santai keluar dari apartemen Aditya. Tiba-tiba handphone miliknya berbunyi, dengan terpaksa Aditya mengangkat telepon tersebut dengan mood yang buruk. "Ngapain lo ngehubungin gue?" tanya Aditya pada si penelepon. "................" "Ngapain lo nanya kabar gue? Yang jelas gue masih hidup." "................." "Gue sibuk jadi belum sempat kasih tahu lo. Sudah semingguanlah gue nyampai di sini." "..................." "Gue di apartemen. Lo ngapain tumben malam-malam begini mau ke sini?" "Datang aja sesuka lo. Tapi, sebelum lo ke sini beliin gue bir bentar di supermarket." "................." "Jangan isi protes segala lo. Beliin aja gue itu bir. Nanti gue ganti uang lo." Aditya memutus sambungan telepon begitu saja. ************* Tak berselang lama terdengar bel apartemennya berbunyi. Aditya bangun dari posisi duduknya untuk membuka pintu dengan sedikit sempoyongan. Terlihat sosok pria yang juga berusia dengan sama dengannya berdiri di depan pintu. "Mana pesanan gue?" tanya Aditya to the point. Pria tersebut hanya menggeleng lalu menyerahkan tas plastik berisi tiga kaleng bir pada Aditya. "Gila ya lo, gue datang bukannya disuruh masuk," protes pria itu. "Lo mau masuk pakai disuruh segala. Sok terhormat banget lo," cibir Aditya. Dia melangkah masuk lalu diikuti oleh pria tersebut. Aditya mengambil dompet di atas meja lalu menyerahkan beberapa lembar uang pada pria itu. "Kagak perlu lo balikan duit gue. Anggap aja itu oleh-oleh dari gue, saudara kembar lo yang baik hati." Pria tersebut menolak. "Beh belaga lo, Raka!" seru Aditya mendengar ucapan saudara kembarnya, Raka. Ya, Aditya dan Raka adalah saudara kembar. Bukan kembar dua melainkan mereka adalah kembar tiga, tapi tidak identik. Satu lagi saudara mereka yakni bernama Mahesa. Aditya merupakan terbungsu dari ketiganya dan Raka berstatus sebagai anak tengah. "Balik ke sini, lo kagak ngabarin gue. Saudara macam apaan lo," protes Raka. Kedua matanya asyik memperhatikan isi dari apartemen Aditya. Tidak ada yang berubah. Mungkin kata-kata itu mampu mewakili pendapatnya tentang keadaan apartemen Aditya sejak terakhir ia datang ke sini beberapa bulan yang lalu. Malam itu saat Raka menginjakkan kakinya di depan pintu apartemen Aditya. Sosok sahabatnya keluar dan berlari dengan wajah kusut dan berlinang air mata tanpa menyadari kehadiran Raka di sana. Sungguh jika mengingat kejadian tersebut membuat hatinya sesak. Dan, sejak saat itu pulalah dia juga sering melihat sosok sahabatnya menangis. "Gue sibuk jadi gue lupa ngabarin lo," jawab Aditya enteng. Dia meneguk satu kaleng bir sampai habis. "Ah, paling lo sibuk ke bar terus kencan sama banyak wanita. Udah ketebak." "Kenapa? Lo mau juga?" tawar Aditya. "Kagak. Gue udah nikah. Gila, asal ngomong aja lo." "Gue lupa kalau lo udah nikah. Sorry pas acara pernikahan kalian gue gak datang. Gue kagak dapat libur." "Santai, Bro. Yang penting hadiah yang lo kasih untuk pernikahan gue udah sampai. Hahaha," canda Raka. Aditya menyunggingkan smirk-nya. "Kapan lo mau nyusul gue dan Mahesa? Jangan main perempuan terus lo, Dit." "Entahlah gue belum ada kepikiran buat nikah. Saat ini, buat gue seorang perempuan hanya untuk teman kencan semalam. Tidak lebih," akui Aditya jujur. Aditya terakhir memiliki perasaan serius kepada perempuan yang salah. Perempuan itu tidak mencintainya dan malah memanfaatkan Aditya untuk menghancurkan seorang perempuan lainnya. Dengan bodohnya Aditya tidak menolak. "Perempuan bukan mainan, Dit. Ingat karma selalu berjalan." "Gue kagak peduli," balas Aditya sinis. "Pernah kagak lo mikir jika di luar sana ada seorang perempuan yang menderita akibat perbuatan lo?" tanya Raka memancing. Dia kesal dengan perilaku Aditya yang masih suka mempermainkan perempuan hingga saat ini. "Maksud lo?" Pertanyaan Raka ambigu bagi Aditya. ........... Maaf kalau banyak typo.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD