03

1452 Words
"Maksud lo?" pertanyaan Raka ambigu bagi Aditya. "Misalnya di luar sana ada seorang perempuan yang tengah hamil anak lo dan lo kagak tahu gimana?" perjelas Raka. "Hamil anak gue? Ckck. Jika pun ada. Perempuan tersebut pasti minta pertanggungjawaban dari gue. Dan gue sudah sering mengalami hal itu," jawab Aditya santai. "Terus?" Raka kembali bertanya. "Ya gue ajak perempuan-perempuan tersebut untuk tes DNA, hasilnya anak yang dikandung mereka bukan darah daging gue," jawab saudara kembarnya. "Ckckck. Parah lo. Tapi, apa lo benar-benar yakin di luar sana tidak ada perempuan yang tengah hamil anak lo dan dia tak ingin meminta pertanggungjawaban dari lo?" Dia memastikan. "Gue yakin," balas Aditya sambil menyalakan satu batang rokok. "Ngapain lo nanya begitu ke gue?" tanya Aditya curiga. "Kagak. Gue takut aja lo lari dari tanggung jawab," kata Raka mencari alasan. "Ckck. Lo pikir kalau ada perempuan yang hamil karena gue, terus gue bakal minta perempuan tersebut untuk menggugurkan kandungannya? Gue tidak setega itu membunuh darah daging gue sendiri,"akui Aditya. Raka lalu mempertontonkan senyumannya. "Bagus, Dit," tanggap Raka santai. "Lagian, gue enggak akan sembarangan memilih perempuan untuk mengandung anak gue," tambah Aditya lagi. "Hahaha, gue harap lo bisa jaga omongan lo yang ini," harap Raka dengan nada bercanda. "Tenang aja lo. Gue bukan orang seberengsek yang lo kira." Aditya membela dirinya sendiri. "Hahaha. Tapi, lo tetap yang terberengsek di antara gue dan Mahesa." Sindir Raka puas. "Gue pengin minta tolong sama lo, Aditya." Dia melanjutkan. "Apaan?" "Lo harus janji mau bantu gue dulu." Raka berupaya memaksa saudara kembarnya itu. "Ngapain lo maksa-maksa gue segala? Gue curiga lo punya rencana kagak baik buat gue." Aditya menuduh. "Ckck. Mana mungkin gue ingin menjerumuskan saudara gue sendiri ke hal yang tidak baik. Asal main tuduh aja lo sukanya." Raka tak terima dengan prasangka buruk Aditya. "Sorry, gue kagak maksud nuduh lo, Raka. Lo pengin gue bantuin apa?" tanya Aditya sambil meneguk sekaleng bir lagi. "Gue ada tugas kantor di Jakarta. Terus gue pengin lo bisa jaga istri gue di sini," jawab Raka dan Aditya tersedak tiba-tiba saat menenguk birnya. "Gue? Aneh-aneh aja permintaan lo." Dia menolak. "Sebenarnya gue juga malas minta tolong ke lo. Tapi, karena lo satu-satunya saudara gue yang tinggal di sini jadi gue harus minta tolong ke lo," perjelas Raka. "Gue kagak mau. Kenal sama istri lo aja gue nggak," Aditya bersikeras menolak. Yakin lo tidak kenal dengan dia, Dit? Ulang Raka di dalam hati. Jujur saja Raka memang sengaja menutup akses agar Aditya tak mengetahui wajah dan nama istrinya. Didukung juga dengan sifat Aditya yang tidak 'ingin tahu' atau kepo, mempermudah keinginan Raka sampai saat ini. "Nanti juga lo bakal kenal sama istri gue." Dia masih berupaya meyakinkan. "Sorry, gue kagak bisa bantu lo." Aditya tetap menolak. "Bentar lagi istri gue melahirkan. Masa iya lo tega biarin keponakan lo kagak ada yang jaga nanti." Aditya kembali berpikir. Sebagai saudara dia harus membantu Raka. Namun di sisi lain ia juga tak mengenal istri dari saudara kembarannya itu bahkan untuk sekadar melihat fotonya "Maklumlah saudara istri gue kagak ada yang tinggal di sini. Gue sebenarnya pengin ngajak dia ke Jakarta. Dia juga ada kerjaan di sini," Raka bersuara. "Oke. Gue bakal jaga istri lo sampai lo kembali. Tapi, gue enggak janji bisa jaga dia 24 jam penuh. Gue punya kesibukan," Aditya memutuskan. "Tenang. Dia bukan tipe perempuan manja yang harus lo jaga 24 jam secara penuh." Raka memuji sang istri di hadapan saudara kembarnya. "Kapan lo berangkat?" tanya Aditya. "Lusa pagi." "Mungkin gue akan menemui istri lo lusa malam. Gue ada rapat penting hari itu sampai malam soalnya," kata Aditya. Raka mengangguk mengerti. "Gue minta tolong lo buat ngejaga istri gue. Kalau terjadi apa-apa lo langsung bisa hubungi gue," pesan pria itu. "Gue percaya sama lo Dit," kata Raka serius. Rencana ini segera dimulai sebentar lagi. Semoga saja mereka akan sadar dengan perasaan dan kesalahan masing-masing. Raka penuh harap. ........................ Indria sedari tadi menunggu kedatangan Raka dengan rasa cemas. Dia takut terjadi sesuatu yang buruk pada pria itu. Apalagi, ponsel Raka tidak aktif saat Indria mencoba menghubunginya. "Kamu belum tidur?" tanya Raka ketika baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu. "Kamu dari mana Raka? Jam segini baru pulang," omel Indria. Dia menghampiri Raka. "Ahahaha." Pria itu tak mampu menahan tawanya melihat ekspresi cemas istrinya. "Kenapa kamu malah tertawa?" tanya Indria sedikit kesal. Tawaan Raka seakan mengejeknya. "Hahahaha, ekspresimu saat cemas jelek sekali, Indria." Dia mengejek dengan santai. "Aku mencemaskanmu sedari tadi karena kamu belum pulang. Tapi, kamu malah tertawa mengejekku." Nada suara Indria terdengar semakin kesal. "Hahaha, maafkan aku," ucap Raka sambil mengacak rambut Indria lalu memeluk wanita itu. "Lepaskan aku!" Indria berusaha meronta dalam pelukan Raka. Mau tak mau Raka melepas dekapannya. "Ibu hamil dilarang marah-marah loh," kata-kata klise yang Raka gunakan ketika wanita itu marah. "Aish, kamu selalu berkata seperti itu untuk menghentikan kemarahanku. Menyebalkan!" seru Indria sambil membalikkan badannya hendak pergi. Namun ,Raka dengan secepat kilat memeluk Indria dari belakang, menumpahkan seluruh perasaan yang kini menganggu ketentraman hatinya. "Raka...." Indria sedikit kaget dengan perlakuan Raka padanya. "Sebentar saja Indria. Aku butuh sedikit waktu untuk menenangkan perasaanku," bisik pria itu pelan. Dia memosisikan kepalanya bersandar di bahu Indria sambil menutup kedua matanya. Indria menuruti permintaan Raka. Mereka hanyut dalam pikiran masing-masing. Raka dengan kegundahan hatinya sedangkan Indria tengah mencerna maksud pelukan pria itu padanya. "Aku menyayangimu," ucap Raka ketika melepas pelukannya. Ia juga mencium pucuk kepala Indria. Indria membalikkan posisinya menghadap Raka. Mereka saling beradu pandang. "Kamu kenapa Raka?" tanya Indria serius. Namun hanya dibalas dengan senyuman oleh pria itu. "Aku lapar. Kamu harus menemaniku makan." Raka mengalihkan pembicaraan. Dia menggenggam tangan Indria lalu mereka berjalan bersama menuju meja makan. "Aku akan menghangatkan sayurnya dulu. Aku pikir kamu sudah makan di luar," kata Indria mengambil mangkuk berisi sayur bening di atas meja yang ia masak sore tadi untuk dihangatkan kembali. "Tidak. Aku ingin makan masakan dari istriku tercinta, hahaha." Sifat Raka yang suka menggoda mulai muncul. "Aish...." dengus Indria. "Biar aku saja. Ibu hamil tidak boleh kelelahan." Katanya sambil merebut mangkuk dari tangan Indria. Dia melangkah dengan cepat ke arah dapur. Wanita itu memilih untuk menunggu di meja makan saja. Lima menit berselang, Raka telah kembali ke meja makan. Dia duduk di samping Indria. "Sepertinya aku akan makan banyak malam ini dan besok karena selama tiga bulan kedepan aku tidak bisa mencicipi masakan buatanmu, Sayang," ucap Raka dengan nada menggoda. Namun tersirat keseriusan. "Hanya tiga bulan 'kan? Itu bukan waktu yang lama, Raka," tanggap Indria tenang. "Cepatlah makan! Ini sudah hampir tengah malam. Kamu butuh istirahat yang cukup Raka," lanjut wanita itu menyuruh pria di sampingnya menghabiskan makanan yang tersaji. "Hahaha, kamu cerewet sekali," komentar Raka sambil mengacak rambut Indria. "Masakanmu selalu enak Indria," pujinya setelah menyuap nasi dan lauk-pauk secara bergantian ke dalam mulutnya. Tangan kirinya menggenggam tangan kanan Indria dengan erat, seolah-olah ia tak rela melepas wanita itu. "Raka, ada apa denganmu?" tanya Indria. Dia heran dengan sikap Raka yang berbeda dari biasanya. "Aku tidak apa-apa. Lihatlah wajahku masih ganteng seperti kemarin. Tidak ada yang berubah. Hahaha." Raka melucon dan tertawa garing. "Aish...." dengus Indria. Percuma dia bertanya. Raka pasti tak akan menjawab dengan serius. "Oh ya,nkamu dari mana tadi? Tumben pulang malam," tanyanya penasaran. "Kenapa? Kamu curiga aku berselingkuh ya, Sayang?" goda Raka. Indria membulatkan bola matanya. "Bisa tidak kamu serius menjawab pertanyaanku?" Indria mulai geram dan melayangkan protes. "Hahaha, iya-iya. Tadi aku menemui seorang perempuan," jawab Raka berbohong ditambah dengan smirk di wajahnya. "Benarkah?" Indria memastikan. Dia kembali membulatkan bola matanya tanda tak percaya. "Iya dong," ucap Raka dengan ekspresi nakalnya. "Akhirnya kamu tertarik juga pada perempuan, Raka. Kamu harus segera memperkenalkanku dengan perempuan itu," pinta Indria bersemangat. "Hahaha, baru kali ini aku melihat ada seorang istri yang malah senang suaminya bertemu dengan wanita lain," sindir pria itu. "Tak apa asal kamu bahagia," ucap Indria cuek akan sindiran Raka. "Tapi,naku lebih bahagia jika bersamamu. Bagaimana?" gombalan maut terlontar oleh Raka. "Aishh...," Wanita itu mendengus untuk kesekian kalinya. "Aku bercanda, Indria. Tadi, aku menemui saudara kembarku yang akan menjagamu nanti," Raka menjelaskan. "Saudaramu yang bernama Aditya itu bukan?" tanya Indria. "Iya. Dia sudah bersedia menjagamu. Mungkin lusa malam dia akan berkunjung ke sini. Kalian belum pernah bertemu kan? Jadi, cepatlah mengakrabkan diri," pesan Raka serius. Aditya? Nama itu mengingatkan Indria dengan seorang laki-laki b******k di masa lalunya. Tetapi, dia mencoba berpikir positif karena nama Aditya bukan hanya milik laki-laki itu melainkan banyak orang. "Baiklah. Semoga aku bisa cepat akrab dengannya," ucap Indria. Bisakah kalian bersikap akrab satu sama lain? Sungguh aku ragu, Indria. "Indria...," panggil Raka dengan suara beratnya. "Kenapa?" tanya Indria. Mata mereka saling beradu. Pria itu menatap Indria lekat. "Aku menyayangimu," ucap Raka serius. Tangannya kembali menggenggam tangan sang istri. "Aku juga menyayangimu," balas Indria mengulum senyum tulus. Aku menyayangimu sebagai sahabatku, Raka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD