04

1546 Words
Hari keberangkatan Raka ke Jakarta pun tiba. Indria bahkan telah bangun jam dua dini hari untuk menyiapkan keperluan-keperluan yang dibutuhkan oleh suaminya. Berbeda dengan Indria yang tampak sibuk, Raka masih lelap dalam tidurnya. Padahal jam enam nanti dia harus sudah berada di bandara, dan sekarang jarum jam menunjukkan pukul empat pagi. "Raka ayo cepat bangun! Kenapa kamu malas sekali sih," gerutu Indria mengguncang tubuh Raka pelan. "Aku masih mengantuk Indria," ucap Raka pelan dengan mata terpejam. "Ayolah cepat bangun! Nanti kamu terlambat tiba di bandara." Indria menarik tangan Raka memaksanya untuk bangun. Namun tak membuahkan hasil. "Iya-iya aku akan bangun," ujar pria itu sembari turun dari tempat tidur. Dia memamerkan senyuman ketika melihat wajah Indria. Cup! Sebuah kecupan singkat dari Raka mendarat di pucuk kepala istrinya. "Pagi, Sayang," sapa Raka dengan nada menggoda. "Cepatlah mandi, Raka! Berhenti menggodaku." Suruh Indria menatap kesal ke arah pria yang lebih tinggi darinya itu. "Aku memperoleh semangat karena menggodamu, lalu bagaimana bisa aku berhenti menggodamu, Sayang?" Raka malah semakin menunjukkan godaannya. "Hah sudahlah! Terserahmu saja!" rungut Indria sedikit kesal. Dia memilih untuk keluar dari kamar. Raka tak dapat menahan diri untuk tertawa terbahak-bahak. Menggoda Indria sungguh hal yang menyenangkan baginya. Dia melirik jam dinding sebentar, dia tidak memiliki banyak waktu lagi untuk bersiap-siap. Segera saja dirinya masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Kurang dari 20 menit, Raka telah selesai membersihkan diri serta berganti pakaian. Setelah itu dia menemui Indria yang sedang berada di dapur, menyiapkan sarapan kesukaannya yakni nasi goreng dan telur mata sapi. "Duduklah di sana. Jangan mendekatiku!" perintah Indria menunjuk ke arah meja makan. Kemudian, wanita itu membawa dua piring berisi nasi goreng ke meja makan. "Cepat dimakan, jangan membuang-buang waktumu!" perintah Indria lagi. Dia termasuk wanita yang cerewet, walau tak sering dia tunjukkan. "Kenapa kamu jadi bawel begini, Sayang? Hahaha." Raka merasa terhibur dengan sikap wanita yang telah resmi menjadi istrinya sejak beberapa bulan yang lalu itu. "Biasa saja," tanggap Indria cuek. Sedangkan dia masih asyik dengan tawaannya. Untuk beberapa saat, keheningan tercipta di antara mereka. Walau demikian, pandangan Raka tak lepas dari istrinya barang sedetik pun. "Kamu makan seperti siput. Lama sekali," ejeknya. Indria tak peduli, dia melanjutkan suapan nasi goreng yang tinggal beberapa sendok. .................... Tepat pukul lima pagi, Raka sudah bersiap-siap untuk berangkat ke bandara. Ia menumpang taksi. "Kenapa sekarang wajahmu kelihatan kusut, Indria? Apa kamu sakit?" tanya Raka ketika Indria mengantarnya sampai di depan pintu. "Tidak. Aku hanya kurang istirahat," jawab wanita itu meyakinkan. "Tolong jaga kondisimu. Aku tidak akan tenang di sana jika terjadi sesuatu yang buruk padamu di sini," pesan Raka serius. "Aku akan baik-baik saja di sini, Raka. Jangan cemas." Indria tersenyum sementara matanya sudah berkaca-kaca. Raka menarik Indria ke dalam pelukannya. Tangis wanita itu pun pecah. "Terima kasih, Raka. Kamu begitu baik padaku selama ini. Maaf aku kerap kali menyusahkanmu." Isaknya. Sedari tadi Indria berupaya menyembunyikan kesedihannya harus berpisah sementara waktu dengan Raka, dia merasa kesepian. "Jangan menangis, Indria. Sungguh aku tak bisa melihatmu seperti ini," pinta Raka. Dia mengeratkan dekapannya. "Aku pasti akan kesepian di sini," ucap Indria lirih. Tangisnya sudah mulai mereda. "Ehm, jadi kamu ingin aku tidak pergi, begitu? Baiklah, aku tidak akan berangkat." "Tidak. Kamu harus tetap berangkat." Indria melepas pelukan mereka tepat setelah mendengar perkataan suaminya. "Kalau aku pergi, katanya kamu kesepian, Sayang." Raka menggoda. "Tidak. Aku hanya bercanda. Sudah sana cepat berangkat." Indria mendorong tubuh pria itu menuju ambang pintu. "Kamu mengusirku ehm?" gelak tawa Raka terdengar. Detik berikutnya dia memeluk Indria lagi. "Jaga dirimu dan anak kita di sini Indria. Jangan pernah menangis jika aku tidak bersamamu. Aku yakin kamu wanita yang kuat. Aku menyayangimu. Sungguh," bisik Raka di telinga Indria. "Aku juga menyayangimu, Raka. Kamu harus segera kembali. Aku menunggumu," balas wanita itu. Raka tersenyum. Mungkinkah kita akan bisa bersama lagi, Indria? Lebih dari sekadar sahabat. ................. Aditya memijat tengkuknya. Rasa lelah menyerang seiring berakhirnya rapat yang ia hadiri selama empat jam lamanya. Laporan pertanggungjawaban yang harus ia presentasikan beserta berbagai pertanyaan muncul, mesti ia jawab dan itu cukup menguras pikirannya. Bersama dengan teman-teman kantornya. Aditya menikmati beberapa gelas beer untuk menghilangkan penat di pikirannya di sebuah bar. Semburan rokok juga tak luput keluar dari mulutnya. Namun, Aditya tidak bisa menghabiskan lebih banyak waktu di bar karena ia berjanji pada Raka untuk menemui istrinya. Ini pertama kali bagi Aditya bertemu dengan saudara iparnya. Saat mereka menikah, Aditya tak bisa hadir padahal dia berusaha mati-matian untuk mendapat izin dari kantornya saat itu, tapi tidak berhasil. Aditya mengatur laju mobilnya dengan kecepatan sangat pelan memasuki kompleks perumahan di mana kediaman Raka berada. Sudah hampir setahunan dia tak berkunjung ke rumah saudara kembarnya itu. Paling dia akan singgah jika ada pertemuan keluarga. Aditya memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah berlantai satu. Dia turun dari mobil kemudian membuka gerbang tanpa kesulitan yang berarti. Tok!! Tok!! Diketuknya pintu oleh Aditya secara terus menerus, sampai terdengar pintu dibuka dari dalam. Perlahan terlihat sosok wanita dari balik pintu, perut wanita tersebut membuncit menandakan dia tengah hamil. Deg... Betapa terkejutnya Aditya ketika menyadari wajah wanita tersebut tidak asing dan sangat ia kenali. Indria bahkan syok bukan main saat membuka pintu kemudian mendapati 'pria berengsek' yang telah menghancurkan dirinya, berdiri di depan pintu. Jadi dia adalah saudara kembar Raka? Kenapa bisa?!! Tubuh Indria bergetar hebat. Memori masa lalu bersama pria itu tiba-tiba terngiang sejalan dengan dipertemukannya mereka kembali. Aditya menatap tajam wanita yang tengah berdiri di depannya. Tanpa dia inginkan, bayangan wajah wanita itu selalu menghantui Aditya setiap saat. Dan, kini sosok tersebut bukan hanya sekadar bayangan semata. Dia benar-benar nyata. Di mata Aditya, wajah Indria tetap sama. Namun, ada yang berbeda yakni keadaan perut wanita itu sekarang membuncit. Ternyata kamulah istri dari saudara kembarku. Bahkan, kamu tengah mengandung calon keponakanku, Indria. Calon keponakan? Tak adakah ikatan batin antara seorang ayah dengan calon anaknya yang Aditya rasakan? "Indria....." Aditya menyebut nama wanita itu tanpa sadar. Setelah sekian bulan tidak berjumpa ada kecanggungan tercipta. Ralat, sebenarnya hanya Adityalah yang merasakan hal itu. Indria tidak canggungx melainkan 'muak' bertemu dengan pria berengsek ini lagi. Sungguh dia ingin bertanya pada keadaan atau Tuhan, kenapa pria berengsek ini muncul setelah sukses menanamkan luka dan rasa sakit yang begitu dalam. Adilkah ini untuk Indria? Belum cukupkah penderitaannya selama ini? Apa ia harus kembali menerima hal yang lebih menyakitkan dari sebelumnya? Sungguh berbagai pertanyaan negatif hadir di pikiran Indria. ................. "Kamu Aditya? Saudara kembar SUAMIKU?" Indria bertanya dengan memberi penekankan pada kata 'suamiku'. Dia berbicara menggunakan nada seolah mereka tak saling mengenal di masa lalu. Mulut boleh berbohong,cakan tetapi tatapan mata tidak demikian. Pancaran kedua mata Aditya tajam, dia tidak terjebak dengan aksi sandiwara Indria. Ckckck, kamu pandai berakting sekarang, Indria. Perkembanganmu sungguh pesat, sejak terakhir kita bertemu malam itu. Kemana perginya tangisan pilu yang kamu perlihatkan dulu padaku? Wajah Aditya yang awalnya datar, telah berganti. Smirk nan angkuh terukir sempurna di wajahnya. Menambah kesan seram yang sengaja dia ingin tontonkan di depan Indria. "Apa kabarmu Indria? Selamat atas pernikahan antara kamu dan Raka, saudara kembarku," ucap Aditya masih dengan smirk beserta tatapan tajam, tepat mengarah pada kedua mata Indria. Tangannya terulur untuk bersalaman dengan wanita itu. Posisi Indria seakan tersudutkan oleh tatapan menusuk Aditya. Dengan sedikit ragu, dia akhirnya membalas jabatan tangan pria berengsek tersebut. "Terima kasih," balasnya. Bersamaan dengan itu, tangannya diremas oleh Aditya. Ia hendak menyudahi acara 'jabat tangan' di antara mereka. Namun, Aditya malah memperkuat remasannya. "Lepas!" seru Indria sambil menyentakkan tangannya. Dengan terpaksa Aditya melepas tangan wanita yang ia remas. Kini, wajah Aditya menyeringai. Ada kepuasaan tersendiri yang ia rasakan ketika bertemu dengan Indria malam ini. Padahal sebelum datang ke rumah Raka, rasa lelah begitu menyelimutinya. "Sepertinya sudah lama kita tidak bertemu Indria," katanya sinis. Wanita itu tidak menjawab. "Kamu tak mempersilakan saudara iparmu untuk masuk?" tanya Aditya. Seringaian tetap terukir sempurna di wajahnya. "Silakan masuk." Persila Indria dengan nada datar. "Tidak perlu. Gue hanya datang untuk memastikan siapa istri dari saudara kembar gue. Dan gue sudah mendapat jawabannya," ujar Aditya sambil tersenyum meremehkan. Indria hanya diam. Dia sedang berusaha menahan luapan emosi agar tidak tumpah. Indria sangat ingin pria berengsek ini segera pergi. "Ckckck, ternyata istri Raka yang harus gue jaga selama dia di Jakarta adalah kamu," kata Aditya sinis. Indria tersinggung dengan perkataan yang keluar dari mulut 'berbisa' Aditya. Seolah di balik ucapannya mengandung artian 'gue harus menjaga wanita sepertimu? Yang benar saja.' "Aku juga tak menyangka saudara kembar Raka yang dia minta untuk menjagaku adalah seorang pria berengsek sepertimu!" serunya geram. Rahang wajah Aditya seketika mengeras, tangannya tak lupa juga terkepal. Tatapan Aditya kian menajam padanya, namun Indria tidak gentar. Tahan, Dit. Lo tidak boleh berbuat kasar padanya. Ingat, dia itu saudara ipar lo. Indria bagian dari keluargo lo sekarang. "Pria berengsek? Lantas bagaimana denganmu? Apa kamu ingat hal apa saja yang pernah kita lakukan, Indria? Atau perlu gue ingatkan?" Aditya melancarkan aksi balasan untuk Indria. "Untuk apa?! Itu hanya masa lalu." Emosi wanita itu terpancing. "Walaupun masa lalu. Setidaknya ada memori untuk mengingat apa yang pernah kita lakukan. Sungguh kamu tak mengingatkan Indria?" Aditya tak tanggung-tanggung untuk memborbardir pertahanan Indria. "Cukup! Tolong pergi dari sini pria berengsek!" umpat wanita itu. Dengan sekuat tenaga ditutupnya pintu lalu dikunci dari dalam. Tubuh Indria merosot ke kantai. Kakinya terasa lemas. Air mata pun sudah siap keluar dari pelupuk kedua matanya. Tuhan, kenapa harus dia yang menghancurkan perasaaku?! .........
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD