Happy Reading . . .
***
Dengan segala trik yang dilakukan Ravena saat ia memasuki bangunan perusahaan Hollie's Shiner, hingga pada akhirnya wanita itu bisa berada di sebuah ruangan dimana sang target berada.
"Hello, Megan. Apa kabarmu?" Sapa Ravena sambil melangkahkan kaki menghampiri wanita itu yang sedang duduk di kursi kebesarannya.
"Siapa kau? Jangan dengan sesuka hatimu, masuk ke dalam ruangan seseorang tanpa izin."
"Lalu apa yang harus aku lakukan?"
"Kau bisa berbicara dengan sekretarisku di luar sana."
"Wanita berambut pendek dan banyak tanya itu? Aku sudah membunuhnya. Aku sungguh tidak tahan dengan suaranya yang begitu mengganggu pendengaranku itu."
Ravena yang melihat pergerakan tangan Megan yang begitu cepat mengambil gagang telepon dan menekan tombol angka-angka di sana, membuat Ravena tidak ingin kalah cepat juga langsung mengambil pistol yang ia simpan di balik rok yang dikenakan dan ia tembakkan tepat mengenai tangan Megan hingga teriakan kesakitan pun memenuhi ruangan tersebut.
"Jangan berani-beraninya kau meminta pertolongan. Untuk apa kau melakukannya jika kau saja sudah pernah menghilangkan nyawa seseorang?"
"Ap-apa yang kau inginkan?" Tanya Megan sambil menahan rasa sakit yang teramat sangat karena timah panas itu tepat mengenai tulangnya.
"Jim, Felix. Kalian tahu apa yang harus dilakukan."
Perintah Ravena terhadap kedua anak buah Sebastian yang ikut dalam misi tersebut. Dan kedua pria yang sudah menerima perintah itu langsung menghampiri Megan. Dengan paksa, mereka menyeret tubuh wanita itu hingga berada di hadapan Ravena.
Setelah tubuhnya ditundukkan dan kedua tangan yang juga dipegangi kuat oleh kedua anak buah Sebastian, Ravena menaikkan dagu Megan dengan ujung sepatu high heels-nya sehingga ia bisa menatap wajah yang sudah terlihat begitu ketakutan. Ravena yang melihat lawannya sudah lumpuh, semakin mengeluarkan senyuman kejamnya hingga membuat Megan tidak berani menatap wanita itu.
"Apakah kau merindukanku, Megan? Dua puluh delapan tahun yang lalu, apakah kau masih mengingat dengan jelas bagaimana dengan kejinya kau melakukan hal itu? Dengan teganya kau menghabisi nyawa seseorang hanya untuk ambisi omong kosongmu itu saja. Apakah kau pernah berpikir akibat yang akan kau dapatkan setelah semua hal yang kau lakukan itu?"
"Kau terlalu banyak berbicara, Sugarboo." Ucap Sebastian yang baru saja menyusul Ravena masuk ke dalam ruangan itu karena ia telah berhasil melumpuhkan penjaga-penjaga bangunan tersebut.
"Maafkan aku, aku sedikit terbawa suasana hingga-"
"Hei, tidak ada lagi kesedihan. Kau ingat itu, bukan?" Sela Sebastian sambil menggenggam kedua tangan Ravena dan menenangkannya.
"Se-sebastian..."
Panggilan Megan yang tergugup itu membuat Ravena langsung menengokkan kepala ke asal suara dan pria yang di panggilnya itu secara bergantian.
"Kau mengenal Megan?" Tanya Ravena dengan menyelidik.
"Tidak."
"Tetapi dia mengenalmu."
"Itu hanya omong kosong saja."
Dengan perasaan yang mulai marah, Ravena melepaskan tangannya dengan paksa dari genggaman Sebastian dan ia pun menghampiri Megan.
"Kau mengenal dia?"
Pertanyaan Ravena itu hanya diabaikan oleh Megan yang kini justru sedang menatap Sebastian dengan pandangan penuh arti.
"Jawab pertanyaanku bodoh!" Seru Ravena sambil mencekik leher Megan.
Namun bukannya jawaban yang Ravena dapatkan, wanita itu justru diludahi oleh Megan hingga mengenai wajahnya. Hal itu langsung membuat Ravena begitu marah, dengan rasa emosi ia pun menendang tubuh Megan hingga membuat wanita itu sampai terpental dari kedua tangannya yang sedang digenggam.
"Kau membuatku marah, jalang!" Murka Ravena yang kini sudah menginjak leher Megan di lantai dengan ujung sepatunya hingga membuat wanita itu kesulitan bernafas.
Sedangkan Megan yang sedang kesulitan bernafas itu berusaha mencakar kaki Ravena yang mencoba untuk menjauhkan dari lehernya menggunakan sebelah tangan yang tidak terluka akibat tembakan.
"Jawab pertanyaanku, jalang!" Teriak Ravena dengan suara kencang yang memenuhi ruangan itu.
"Ja-jangan pernah kau berurusan dengannya. Se-sebastian tidak sebaik yang... ya-yang kau pikirkan," balas Megan dengan terengah.
"Kenapa?"
"Di-dia pria manipulatif."
"Jangan dengarkan omong kosongnya itu, Sugarboo."
Merasakan sebuah sentuhan di bahunya, Ravena langsung menempelkan ujung pistol yang ia pegang di kening Sebastian setelah wanita itu mendengar suara sang suami yang tepat berada di belakangnya.
"Diam. Aku tidak butuh saran darimu."
"Hei, kita bisa bicarakan semuanya okay?"
"Tidak ada yang perlu dibicarakan."
Ucapan sinis Ravena itu bersamaan dengannya yang mengeluarkan pistol lain yang berada di dalam kantung jaket yang ia kenakan, dan langsung mengarahkannya tepat ke kepala Megan.
"Sampaikan salamku untuk Gio dan Corrie, katakan bahwa anaknya ini begitu merindukan mereka."
"Ra-ravena?"
"Sampai jumpa, Megan."
Timah panas yang dilepaskan Ravena dengan beberapa kali tembakan menembus kepala Megan dan membuat wanita itu langsung tidak bernyawa. Melihat targetnya itu sudah berhasil ditaklukkan, membuat Ravena meninggalkan ruangan tersebut dengan sedikit senyuman. Setelah memberikan 2 buah pistol yang masih ia genggam kepada Ivy, Ravena langsung mengambil beberapa tisu yang diberikan oleh sang asisten itu untuk membersihkan wajahnya yang sempat diludahi tadi.
"Panggil beberapa anak buah yang bersiap dan sedang tugas untuk membawa alat peledak, hancurkan tempat ini sampai rata dengan tanah. Ini perintah langsung. Dan saya ingin sore hari nanti semuanya sudah selesai."
"Bagaimana dengan orang-orang yang masih berada di dalam gedung ini, Queen?"
Ravena pun memberikan tatapan tajam kepada Ivy yang langsung membuat wanita itu terdiam.
"Baik, Queen. Perintah anda akan langsung dilaksanakan."
Setelah menyampaikan keinginannya itu, Ravena mempercepat langkahnya keluar dari gedung itu. Namun ketika ia hampir sampai di pintu keluar, sebuah suara terdeteksi indera pendengarannya. Sebastian memanggil-manggil Ravena agar dapat berhenti, tetapi wanita itu tidak menghiraukan panggilan tersebut.
Hingga ia sudah berada di dalam mobil yang sudah bersiap tepat di depan gedung tersebut, Ravena pun menutup tirai yang berada di kaca sampingnya disaat sang suami sedang berusaha membuka mobil yang sudah ia suruh sang supir untuk langsung menguncinya.
Dengan berjalannya mobil yang sedang ditumpangi, pada akhirnya Ravena bisa sedikit bernafas dengan lega karena rupanya ia sudah bisa membalaskan dendam yang ia rasakan di dalam hidupnya itu. Dan kini tinggal satu target lagi yang harus ia lumpuhkan. Tidak hanya akan dilumpuhkan, tetapi targetnya tersebut akan bernasib sama seperti orang-orang yang telah ia lubangi kepalanya.
Jangan mengadili Ravena karena ia telah menjadi wanita yang tidak berperasaan seperti itu. Selain karena ia sudah kehilangan kedua orangtuanya, wanita itu sudah dibentuk dan dibuat menjadi seseorang yang tidak memiliki perasaan hingga tidak akan pandang bulu kepada setiap orang yang sudah mencari masalah dengannya. Pikiran dan isi kepalanya itu sudah diatur oleh seorang pria yang saat ini sudah memanipulasi seluruh kehidupannya yang tidak lain-tidak bukan adalah Sebastian, suaminya sendiri.
***
Suapan terakhir Ravena masukkan ke dalam mulut dan makan malamnya pun telah selesai. Bersamaan dengan ia yang sedang meminum wine-nya, Sebastian mendudukkan dirinya di kursi yang berhadapan dengan sang istri.
"Kau tidak mengajakku makan malam?"
Bukannya menjawab pertanyaan Sebastian, wanita itu justru beranjak dari kursi meja makan dan meninggalkan sang suami yang saat ini sedang menatapnya dengan penuh kebingungan. Sedangkan Ravena dengan tidak peduli ia melenggang menuju basement mansion dimana biasanya para anak buah berkumpul di sana.
Suara riuh dari senda gurau yang berasal dari para anak buahnya itu langsung terhenti disaat suara pintu yang terbuka dan langkah kaki mendekat, memenuhi ruang tersebut.
"Kenapa berhenti? Sudah puas tertawanya?" Ucap Ravena yang membuat enam orang yang berada di sana langsung menundukkan kepalanya. "Bagaimana pekerjaan yang sudah disampaikan Ivy tadi?" Sambungnya sambil mendudukkan diri di atas sofa yang berhadapan langsung dengan beberapa anak buahnya itu.
"Sudah kami laksanakan sesuai perintah anda, Queen." Balas salah satu anak buah tersebut yang bernama Jim.
"Lalu, kenapa saya tidak menerima laporannya? Kalian sudah tidak ingin bekerja dengan saya lagi?"
"Hm... sa-saya pikir Ivy sudah memberitahu anda, Queen."
"Memangnya Ivy ikut serta dalam pelaksanaan perintah dari saya tadi?"
"Ma-maafkan kami, Queen. Kami salah."
"Memang kalian salah!" Seru Ravena dengan amarah sambil mendorong meja kayu di depannya menggunakan kaki hingga tergeser cukup jauh dan menimbulkan suara gaduh.
Itulah sosok Ravena yang sesungguhnya, penuh dengan amarah dan emosi. Dengan siapapun yang sudah membuat dirinya kecewa dan tidak puas dengan setiap keinginannya, ia akan mengeluarkan amarah hingga membuat yang terkena semburan kemarahannya itu bergidik ketakutan. Dan hanya dengan Sebastian saja wanita itu bisa luluh dan menjadi pribadi yang lemah lembut.
"Hei! Ada apa?" Tanya Sebastian yang baru saja datang dan menghampiri Ravena.
"Urusan kita belum selesai," ucap Ravena kepada ke-enam anak buah tersebut sambil beranjak dari duduknya dan melangkah keluar dari ruangan basement itu menuju lift. "IVY!" Teriaknya setelah ia berada di lantai atas.
"Ya, Queen." Balas Ivy yang sudah berada di hadapan Ravena dengan nafas tersengal karena ia yang baru saja berlari menghampiri bosnya itu.
"Siapkan pakaian renang dan antar ke belakang, saya ingin berenang."
"Maaf Queen, tetapi sekarang sudah pukul delapan malam. An-"
"Lalu apa masalahnya? Apa kau melarang saya yang ingin berenang di kolam berenang milik saya sendiri?" Sela Ravena dengan sinis.
"Tidak seperti itu, Queen. Hm... baiklah, akan saya persiapkan semuanya."
Kepergian Ivy untuk mempersiapkan dan mengambil perlengkapan berenang, membuat Ravena melangkah kembali ke lantai bawah dan menuju bagian belakang mansion dimana letak kolam berenang berada. Angin malam yang berhembus langsung menyapu tubuh wanita itu yang kini sudah duduk di kursi panjang di samping kolam berenang.
Wanita itu ingin mencari sedikit hiburan yang berharap bisa meringankan beban pikirannya yang saat ini sedang begitu berat. Ia berpikir dengan berenang, mungkin bisa membantu semua hal yang baginya sedang terasa begitu berat itu. Tidak lama setelah kedatangan Ivy, Ravena melepas t-shirt yang melekat pada tubuhnya pun dilepas dan ia langsung mengganti dengan pakaian renang bermodel dua potong.
"Handuk dan kimono anda sudah saya taruh di atas meja, Queen." Ucap Ivy yang sedang berdiri tepat di depan Ravena untuk menutupi tubuh bosnya itu yang sedang dengan seenaknya mengganti pakaian renang di tempat terbuka yang mungkin saja siapapun bisa melihatnya.
"Dimana ikat rambutnya?" Pinta Ravena sesudah ia selesai memakai pakaian renangnya.
Setelah Ivy memberikannya, ia pun mengikat rambut panjang hitam dengan gaya ekor kuda agar saat ia berenang nanti rambutnya itu tidak menutupi pandangan dan membuat dirinya merasa kesulitan sendiri.
"Siapkan coklat panas dan bawa beberapa makanan ringan ke sini," ucap Ravena sambil beranjak dari duduk dan hendak melakukan peregangan.
"Tetapi Queen..."
"Apa lagi?"
"Program diet anda, Queen?"
"Kenapa?"
"Anda pernah berpesan agar saya harus menampar wajah anda, jika anda meminta kalori lebih yang dapat membunuh program diet anda."
"Lalu kenapa kau tidak menampar saya?"
"Hm..."
"Ayo tampar saya. Saya harus sadar akan membunuh program diet saya yang ingin turun dua puluh dua pound lagi."
"Ti-tidak, Queen."
"Tampar saya Ivy."
"Ti-tidak, Queen. Sa-saya tidak berani melakukannya."
"IVY!"
Teriakkan Ravena itu langsung membuat Ivy secara refleks langsung menampar pipi kanan bosnya dengan cukup kencang hingga rasa panas pun tertinggal di sana.
"Terimakasih sudah menyadarkan saya, Ivy. Dan sekarang kau boleh pergi."
"Maafkan saya, Queen. Kalau begitu saya pergi dulu untuk menyiapkan air hangat untuk anda."
Setelah kepergian sang asisten, Ravena melakukan peregangan otot yang sempat tertunda karena permasalahan dietnya yang hampir saja akan ia langgar tadi. Beberapa gerakan ia lakukan sebelum pada akhirnya wanita itu menceburkan diri ke dalam dinginnya air kolam berenang. Dengan lincahnya ia langsung mengelilingi kolam berenang yang berukuran sangat luas itu.
Hingga Ravena cukup merasa lelah walau baru satu kali putaran ia mengitari kolam berenang tersebut, ia pun menghembuskannya sejenak dengan menepi. Namun ketika wanita itu sedang mengusap wajah karena belum bisa melihat dengan jelas akibat sisa-sisa air, ia pun langsung melihat kedua kaki yang sudah berdiri tepat di hadapannya.
"Siapa yang mengizinkanmu untuk berenang di malam hari seperti ini?" Tanya sosok tersebut yang tidak lain adalah Sebastian.
"Tidak ada," balas Ravena singkat sambil hendak melanjutkan kembali berenangnya.
Namun hal tersebut sudah lebih dahulu dihentikan oleh Sebastian yang kini telah berlutut lalu menahan lengan dingin wanita itu.
"Tubuhmu sudah sangat dingin seperti ini, Sugarboo."
"Lalu?"
"Kau ingin mencobaiku?"
"Mencoba apa?"
"Kau mengganti pakaianmu di sini?"
"Iya."
"Bagaimana jika ada yang melihat? Kau sengaja ingin memperlihatkan tubuh indahmu ini kepada mereka-mereka yang tidak bisa menahan nafsunya?"
"Siapa peduli? Lagi pula siapa di sini yang tidak bisa menahan nafsunya?"
"Kau sudah ingin menjadi jalang rupanya?"
"jalang atau apapun itu aku tidak peduli."
"Diam di tempatmu atau aku tidak akan segan-segan melubangi kepalamu!"
Kalimat yang dilontarkan dengan tenang namun terdengar sangat tajam dan begitu menyakitkan itu langsung membuat Ravena terdiam. Keterpakuannya itu bersamaan dengan Sebastian yang saat ini sedang membuka seluruh pakaiannya dengan cepat. Setelah tidak ada sehelai benang yang menutupi tubuhnya, pria itu langsung masuk ke dalam kolam berenang.
Dengan kasar dan paksa, Sebastian memutar tubuh Ravena hingga menghadap tepi kolam berenang. Ia pun menghimpit tubuhnya dengan punggung Ravena hingga wanita itu tidak bisa bergerak. Sedangkan Ravena yang merasakan setiap pergerakan Sebastian mulai merasakan gemetar di tubuhnya.
"Kenapa kau tidak pernah belajar untuk menghormati pria-mu ini, huh?" Bisik Sebastian tepat di telinga Ravena sambil menurunkan satu-satunya kain yang menutupi bagian bawah tubuh wanita itu.
"Aku sedang tidak ingin melakukannya, Sebastian." Balasnya dengan sedikit gemetar.
"Kenapa? Apa selain kau tidak pernah belajar untuk menghormati, sekarang kau juga sudah berani menolak keinginan suamimu ini?"
"Sebastian, aku mohon. Aku sedang tidak ingin melakukannya. Dan saat ini kita juga sedang berada di luar ruangan," ucap Ravena dengan nada yang mulai panik disaat setengah tubuh ke atasnya mulai dinaikkan dan diletakkan di tepian kolam berenang.
Dengan kepala yang ditempelkan di lantai dan ditahan dari belakang oleh pria itu, Ravena hanya bisa pasrah dan memohon saja karena ia sudah benar-benar tidak bisa berkutik lagi.
"Siapa peduli? Kau yang mengatakan sendiri tidak peduli dengan apapun, bukan?"
"Aku mohon..."
Setitik air mata mulai turun melewati pipinya, dan bersamaan dengan itu Ravena langsung berteriak dengan cukup kencang setelah pria itu dengan paksa telah memasukkan miliknya ke dalam milik Ravena yang sama sekali tidak siap. Dan lagi, pria itu melakukannya dengan kasar dan keras. Tidak ada sedikit rasa cinta ataupun kasih sayang di dalamnya. Ia melakukan semua itu seperti seorang pemerkosa yang tidak pernah puas akan tubuh korbannya.
"Tahan suaramu atau semua orang akan tahu, jalang." Ucapnya dengan menggeram sambil menarik rambut panjang ekor kuda Ravena.
Ravena hanya bisa mengepalkan tangan dan menggigit bibirnya kuat-kuat agar ia dapat menahan suara seperti yang diucapkan Sebastian tadi. Disaat ia merasakan kesakitan yang setiap detik semakin ia rasakan, wanita itu hanya bisa pasrah dan membiarkan air matanya mengalir. Hanya dengan hal itu saja Ravena bisa menyalurkan rasa sakit sekaligus kesedihannya.
Sebenarnya wanita itu sadar bahwa selama ini harga dirinya sebagai seorang wanita selalu direndahkan oleh pria itu. Tetapi ia bisa melakukan apa? Disaat tidak ada lagi orang lain di dunia ini yang ia miliki, pria itu sudah terlalu banyak memberikan hal untuk dirinya. Selain dengan tubuh dan rasa cinta yang ia miliki terhadap Sebastian, wanita itu tidak bisa membalas dan tidak memiliki apa-apa lagi yang dapat ia berikan untuk pria itu.
Dengan ia yang sudah tidak memiliki siapa-siapa diusianya yang ke delapan tahun, ia sudah sangat bersyukur karena masih bisa hidup dan bertahan sampai usianya yang kini sudah menginjak dua puluh delapan tahun. Dan semua itu karena Sebastian-lah yang membuat Ravena sampai saat ini masih bisa dengan nikmatnya menghirup udara segar.
***
To be continued . . .