Happy Reading . . .
***
Dua Puluh Tahun Kemudian . . .
~
Suara tembakan senjata api yang sedang ditembakkan berkali-kali itu terdengar begitu memekakan telinga. Beberapa peluru yang berjatuhan dan membentur lantai menjadikan suara yang sangat disukai wanita itu. Melihat kertas yang menjadi target tembakannya sudah penuh bekas peluru yang menembus di sana, wanita itu menaruh pistol yang ia pegang lalu membuka penutup telinga yang dikenakannya.
"Sudah cukup latihan hari ini?" Tanya seorang pria yang baru saja datang dan langsung mengangkat tubuh wanita itu ke gendongannya.
Senyuman pun terbit di wajah wanita itu sambil mengeratkan kedua kakinya yang memeluk erat pinggang sang suami.
"Aku lelah, tetapi aku belum puas dengan kemampuanku." Balasnya sambil membelai lengan pria itu yang keras karena otot dan juga penuh dengan tattoo.
"Jangan memaksakan dirimu."
"Aku harus bisa mengalahkanmu yang begitu hebat ini."
"Kau ingin mengalahkanku?"
"Tentu saja. Karena kau tidak pernah terkalahkan, maka dari itu biar aku saja yang akan mengalahkanmu."
"Kau yakin bisa mengalahkanku?"
"Sebastian f**king McWallen, aku akan mengalahkanmu."
"Aku menyukaimu yang seperti ini, Sugarboo." Ucap Sebastian yang membuat sang istri tertawa.
Dan sang istri itu adalah Ravena Hollie, anak perempuan yang dua puluh tahun lalu pernah ditolong dan kini pria itu telah menikahinya juga. Perbedaan usia yang mencapai tujuh belas tahun itu tidak membuat pernikahan yang sudah berjalan sejak lima tahun yang lalu, tidak menjadikannya hambatan.
Justru Ravena merasa begitu beruntung bisa memiliki seorang pemimpin The Rotter, kelompok pembunuh bayaran yang memiliki nama besar dan begitu dicari oleh orang-orang yang tidak ingin mengotori tangannya sendiri dengan hal keji. Dan hal tersebut menjadikan Ravena begitu bahagia karena ia bisa menikah dengan pria yang sudah membuat wanita itu terpukau saat pertama kali melihatnya.
Selain dengan keterpukauannya, Ravena juga merasa Sebastian benar-benar menjadi pelindung untuknya. Setelah dirinya yang dibawa bersama pria itu, banyak hal yang terjadi. Ravena tumbuh menjadi seorang wanita yang begitu memukau dengan kecantikan alaminya, dan ia juga memiliki pribadi yang berbeda. Karena kini ia sudah menjadi wanita dewasa berusia dua puluh delapan tahun yang tidak mengenal rasa takut apalagi trauma.
"Bagaimana bisa dengan kau yang sudah berkeringat seperti ini, tetapi tubuhmu masih memberikan wangi kesukaanku?"
"Kau menyukai wangi tubuhku?"
"Aku merindukannya," balas Sebastian sambil mendudukkan tubuh Ravena di atas meja dan mulai mencumbu sang istri.
Tidak lama saat kedua insan itu sedang saling b******u, pintu ruangan latihan tembak itu terbuka namun tetap tidak menghentikan kegiatan mereka.
"Target anda sudah berada di basement, Queen."
Laporan yang diberikan oleh salah satu anak buah Sebastian itu, membuat Ravena dengan cepat sedikit mendorong tubuh sang suami.
"Ingin aku bantu?" Tawar Sebastian.
"Aku mohon, aku sudah sangat lelah."
"Tentu, Sugarboo. Ayo kita ke sana."
Sebastian menggenggam tangan Ravena untuk mengajaknya menuju basement, tempat yang selalu dijadikan lokasi eksekusi sekaligus menjadi saksi bisu dimana nyawa seseorang yang selalu berakhir di sana. Dan ya, sudah selama beberapa bulan belakangan ini Ravena membalaskan dendamnya.
Ia mencari orang-orang yang dulu terlibat dalam pembunuhan kedua orangtuanya. Sudah sebagian besar ia menghabiskan nyawa orang-orang malang itu. Dan malam ini, ia akan menyaksikan sendiri lagi bagaimana nyawa seseorang menghilang.
Lampu sorot yang sangat terang langsung menerangi seluruh ruang tersebut setelah Ravena memasukinya. Tidak jauh di depan sana, seseorang sudah diikat dengan kursi yang diduduki dan sebuah kain yang menutupi kepalanya.
Dengan menampilkan senyuman arogannya, Ravena membuka kain penutup kepala dan ia langsung menarik lakban di mulut pria itu hingga membuatnya berteriak kesakitan. Tidak sampai disitu saja, Ravena semakin memberikan kesakitan di wajah targetnya yang sudah penuh darah akan luka itu dengan menekannya.
"Kurang lebih dua puluh tahun yang lalu, di sebuah rumah kau menyaksikan sendiri bagaimana dua orang yang tidak bersalah itu dibunuh bukan? Apa kau masih mengingat teriakan memohon dan kesakitannya?"
"K-kau... kau siapa?" Balasnya dengan tergugup karena menahan rasa sakit dan takut disaat yang bersamaan.
"Kau tidak perlu tahu siapa diriku. Yang perlu kau tahu, kau harus mengingat perbuatan kejimu itu harus dibalas dengan nyawa juga."
"Ve-venezio ak... akan membalas... pe-perbuatanmu."
"Venezio akan menyusulmu, beserta anak-anak buahnya yang sudah terlebih dahulu pergi menjemput kematiannya. Jadi kau tidak perlu memikirkan balas dendam untukku?"
"Se-sebastian?" Ucap pria itu dengan terkejut setelah melihat keberadaan Sebastian di samping Ravena.
"Kau bisa melakukannya. Aku sudah muak melihat wajahnya, Darling."
Kepergian Ravena itu dibarengi dengan suara tembakan yang terdengar beberapa kali. Suara yang selalu membuat Ravena tersenyum setiap mendengarnya, karena bagi wanita itu hal tersebut adalah sebuah kepuasan.
"Kita hampir menyelesaikan misi ini. Dan besok saya ingin target terakhir dilumpuhkan," ucap Ravena kepada Ivy, sang asisten sekaligus tangan kanan yang selalu mengikuti kemana bosnya itu pergi.
"Venezio, Queen?"
"Hampir. Karena pria itu adalah target utama."
"Megan?"
"Besok siapkan kostum, karena saya sendiri yang akan turun tangan untuk target."
"Keinginan anda adalah perintah saya, Queen."
Tidak lama setelah wanita itu menyampaikan keinginannya, pintu lift yang akan mengantar menuju lantai kamarnya pun tertutup meninggalkan sang asisten di luar sana. Setelah sampai di kamar, Ravena memilih untuk pergi mandi dan berharap bisa mengendurkan syaraf otot-otot tubuhnya yang sedang tegang.
Ravena memasukkan diri lalu mesandarkan tubuh di kepala bathtub setelah ia mengisinya dengan air hangat dan bath bubble hingga busa sudah memenuhi bathtub tersebut. Wanita itu menutup mata untuk menikmati busa-busa yang seakan memijat sekaligus menutupi seluruh tubuh polosnya itu.
"Kenapa kau tidak mengajakku, Sugarboo?"
Ravena langsung membuka matanya dan melihat Sebastian yang sedang membuka seluruh pakaiannya. Hal yang selalu membuat wanita itu terpaku dibuatnya. Selain karena bentuk tubuh sang suami yang begitu sempurna dengan otot-otot kerasnya, pesona pria itu benar-benar selalu membuat Ravena meleleh akannya.
"Kau mengejutkanku, kau tahu?"
"Benarkah? Maka dari itu biasakan dirimu untuk mengunci pintumu nona," balas Sebastian sambil melangkah memasuki bathtub, lalu sedikit menindih tubuh Ravena hingga tubuh mereka yang saling melekat dan wajah yang juga saling berhadapan.
"Jika aku kunci, kau akan protes denganku."
"Kau sudah begitu mengenalku rupanya."
"Tentu saja. Kau adalah idolaku. Kau itu pahlawan sekaligus pelindungku, Sebastian. Dan tahukah kau? Aku ini sangat mencintaimu."
"Sangat?"
"Sangat, sangat."
"Sugarboo-ku ini sangat-sangat mencintaiku?"
"Kenapa kau memanggilku seperti itu?" Tanya Ravena sambil tertawa kecil dan menggigit bibirnya kecil.
"Itu panggilan kesayanganku untukmu. Lalu panggilan sayang untukku apa?"
"Darling."
"Klasik. Sudah banyak yang memiliki panggilan itu."
"Kau ini, sudah seperti anak remaja saja. Lagi pula selama ini kemana saja dirimu, yang saat ini baru meminta panggilan sayang dariku?"
"Aku tidak peduli. Kita sudah lama bersama dan aku juga sudah bosan mendengar kau yang selalu memanggil dengan namaku atau panggilan kesayangan yang sudah umum."
"Jadi kau ingin memiliki panggilan kesayangan sendiri?"
"Tentu."
"Akan aku pikirkan."
"Besok pagi setelah aku pulang, aku ingin mendengarnya."
"Nanti kau ada misi?"
"Ya. Mereka ingin aku sendiri yang mengatasinya."
"Kenapa harus kau? Mereka tidak ingin memakai anak buahmu?"
"Bayarannya setimpal, Sugarboo. Jadi aku ingin kau mengerti, okay?"
"Perasaanku langsung mengatakan tidak. Kau tidak boleh menerima misi itu, atau biarkan saja anak buahmu yang melakukannya."
"Kau sudah tidak berjanji untuk tidak ikut campur dalam pekerjaanku, bukan?"
Mendengar ucapan yang cukup menusuk ke hatinya itu hanya bisa membuat Ravena tersenyum di dalam hati saja. Wanita itu memang mengetahui pekerjaan sang suami yang berada di kelompok pembunuh bayaran, namun hanya sebatas mengetahui saja.
Dan Sebastian pun sudah selalu memperingati Ravena untuk tidak perlu mencampuri urusan pekerjaannya dengan alasan yang tidak pernah wanita itu ketahui. Dengan nada bicara yang cukup tajam dan juga kalimat yang sudah sering Ravena dengar hanya bisa membuatnya terdiam dan menerima hal seperti itu terus menerus.
"Maafkan aku."
"Pelajari kedudukanmu di sini."
"Ya," balas Ravena dengan tersenyum kecut.
"Senang bisa melihat kau yang selalu mengerti di setiap perintahku. Dan hei, berhenti menggigit bibirmu seperti itu okay?"
"Memangnya kenapa, kau ingin menggantikannya?" Tantang Ravena yang langsung mengerti jika ia harus mengganti topik pembicaraan di antara mereka.
Sebastian memang pria yang sangat sulit untuk ditebak keinginannya. Namun selama dua puluh tahun ia hidup bersama, membuat Ravena lama kelamaan menjadi semakin tahu akan setiap keinginan sang suami yang pasti akan selalu berubah-ubah setiap detiknya.
"Kau sedang menawarkan atau bertanya?"
"Apapun itu, jawabannya akan tetap sama saja bukan?"
"Berbaliklah. Aku membutuhkan suasana hati yang menyenangkan sebelum pergi menjalankan misi nanti," perintah Sebastian sambil membantu Ravena yang sedang membalikkan tubuhnya hingga wanita itu kini bertumpu pada kedua lutut dan tangannya.
"Berikan aku sedikit cumbuan," balas Ravena sambil menengokkan kepala dan memberikan tatapan memohon kepada pria itu.
"Tidak perlu, itu hanya membuang-buang waktu saja."
Tanpa menunggu lama, Sebastian langsung melakukan penetrasi tanpa memberikan kesempatan kepada Ravena untuk sekedar mempersiapkan diri ataupun menarik nafasnya walau sesaat. Sayangnya hal yang pasti akan memberikan kesakitan kepada wanita itu tidak pernah Sebastian hiraukan. Karena pria itu hanya mementingkan kepuasannya seorang diri saja tanpa memikirkan perasaan sang istri.
Sedangkan Ravena yang sudah biasa menerima rasa sakit seperti itu hanya bisa menahan teriakan sekaligus mencengkram tangannya sendiri dengan kuat-kuat. Rasa sakit yang selalu diberikan setiap percintaannya bersama sang suami seperti itu hanya bisa Ravena simpan di lubuk hati terdalamnya saja.
Bagaimana pun juga, pria itu yang dulu telah menolong dan memberikan dirinya kehidupan sampai saat ini, ditambah lagi ia begitu mencintai Sebastian. Jika hanya rasa sakit seperti itu saja, Ravena merasa hal tersebut cukup setimpal setelah banyak hal yang sudah suaminya itu lakukan untuknya.
***
"Berikan saya berita yang menyenangkan pagi ini, Ivy." Ucap Ravena sambil memperhatikan dirinya di depan cermin yang kini sudah memakai kostum penyamarannya.
"Sesuai rencana anda yang pagi ini ingin mulai misi, semalam beberapa anak buah yang sudah memulai rencana awal."
"Dengan apa?"
"Meledakkan gudang pembuatan dan penyimpanan yang berada di satu tempat."
"Berhasil?"
Ivy pun langsung melangkah menuju televisi yang berada tidak jauh darinya. Setelah menyalakan, layar televisi langsung menayangkan sebuah berita mengenai kebakaran besar di gudang yang dimaksudkannya tadi.
"Lebih dari delapan jam api besar itu sulit dipadamkan dan berita terbaru yang saya dapatkan semua bangunan di tempat itu sudah hangus dan rata dengan tanah, Queen."
"Saya senang mendengar berita itu, Ivy."
Setelah mematikan televisi, Ivy kembali menghampiri bosnya itu dan membantu Ravena yang sedang memakai rambut palsu.
"Tetapi..."
"Tetapi apa, Ivy?" Tanya Ravena dengan penasaran setelah mendengar anak buahnya itu yang menghentikan ucapannya.
"Setelah pulang dari misi tadi pagi-pagi sekali, King Sebastian mengalami luka di wajah yang cukup parah dan ia terkena tembakan."
Mendengar hal tersebut, Ravena langsung bergegas dengan sedikit berlari menuju ruang perawatan di lantai bawah. Rasa marah, sedih dan kesal mendera perasaan wanita itu di setiap langkahnya. Hingga Ravena memasuki ruangan yang selalu digunakan untuk menangani dan memulihkan kondisi seseorang yang membutuhkan perawatan, ia langsung bisa melihat keadaan Sebastian yang kini terlihat sedang mencabut sendiri peluru yang bersarang di perutnya itu.
Melihat kondisi Sebastian yang sudah seperti itu namun sang suami masih terlihat baik-baik saja, membuat Ravena langsung merasa kesal sendiri. Hingga akhirnya wanita itu bergegas meninggalkan ruang tersebut disaat matanya sudah bertatapan dengan mata Sebastian. Ravena melangkah menuju kamarnya kembali untuk melanjutkan kegiatannya yang sempat terhenti ketika ia mendengar berita tentang Sebastian yang membuatnya terkejut.
"Cepat bantu saya agar kita bisa segera bergegas, Ivy." Ucap Ravena sambil mendudukkan diri di depan meja rias.
"Anda baik-baik saja, Queen?"
"Ya. Ivy, bisakah kau ambilkan air mineral?" Pinta Ravena setelah melihat keberadaan Sebastian di belakang sana memalui kaca di hadapannya.
"Baik, Queen."
Setelah kepergian asistennya, Ravena kembali menyibukkan diri akan penampilannya itu dan mencoba mengacuhkan keberadaan Sebastian di sana.
"Semalam aku dijebak oleh The Rogue's. Yang aku kira itu adalah misi, tetapi nyatanya itu adalah sebuah jebakan."
Tidak hanya keberadaannya saja, Ravena pun memilih untuk diam dan tidak menanggapi ucapan pria itu.
"Dan aku sedikit menyesal karena tidak mendengar permintaanmu."
"Setidaknya kau sudah mendengarnya dariku," balas Ravena dengan ketus.
"Kau marah karena aku tidak mendengarkanmu?"
"Aku tidak ingin ikut campur dengan pekerjaanmu. Dan aku harus belajar akan kedudukanku di sini."
"Lalu kau ingin ke mana?"
"Megan, aku ingin melakukan eksekusi hari ini."
"Biar aku temani."
"Terserah kau saja," ucap Ravena singkat sambil beranjak dari duduknya dan melangkahkan kaki keluar dari kamar.
Langkah kaki Ravena menuju keluar mansion itu langsung diikuti oleh Sebastian. Setelah mereka di dalam mobil dan perjalanan menuju keberadaan dimana Megan pasti berada, Ravena tetap mengacuhkan sang suami yang berada di sampingnya.
"Kau bisa marah denganku, tetapi jangan pernah mengacuhkanku seperti ini." Seru Sebastian sambil merebut ponsel yang sedang menjadi pusat perhatian Ravena dan membuangnya ke sembarang arah.
"Aku tidak mengacuhkanmu. Aku hanya ingin membiarkanmu beristirahat sejenak setelah kau mengalami kejadian yang tidak kau inginkan, Sebastian."
Mendengar jawaban wanita itu, Sebastian langsung menurunkan tingkat emosi yang sudah sempat mulai naik.
"Aku tidak bermaksud untuk seperti tadi, maafkan aku." Ucap pria itu sambil menggenggam tangan Ravena.
Melihat Ravena yang masih tetap membuang pandangan darinya, Sebastian menarik pinggang sang istri hingga menempel dengan tubuhnya. Lalu ia menciumi pipi wanita itu hingga pada akhirnya Ravena menengokkan kepala dan menatap wajah Sebastian.
"Mohon sekali saja dengarkan aku. Aku hanya tidak ingin kau terluka, Sebastian. Aku mencintaimu, dan jika kau sampai kenapa-kenapa aku yang akan mati."
"Okay."
"Luka di perutmu sudah kau obati?"
"Aku sudah menutupnya dengan perban," balas Sebastian sambil mengangkat t-shirt bagian depannya dan memperlihatkan luka yang memang sudah terdapat perban di sana.
"Tetapi wajahmu belum diobati."
"Aku terburu-buru ingin berbicara denganmu."
"Dan dengan seperti ini kau menjadi terlihat seperti b******n," ucap Ravena sambil mengambil selembar tisu untuk menghapus bercak darah yang masih berada di wajah sang suami.
"Dan kau pun sangat mencintai b******n ini."
Ravena yang mendengar ucapan Sebastian pun tertawa kecil sambil memukul d**a bidang pria itu. Sepanjang perjalanan tersebut, Ravena mengobati luka di wajah Sebastian dengan memberikan alkohol yang berasal dari minuman yang selalu ada di dalam mobil. Hingga mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah bangunan yang wanita itu tuju, Ravena langsung bersiap-siap diri untuk melaksanakan misinya.
"Kita sampai. Kau siap?" Tanya Sebastian.
"Aku dilahirkan siap untuk membalaskan dendamku kepada jalang itu."
"Aku menyukai semangatmu, Sugarboo."
"Kita beraksi!" Seru Ravena sambil membuka pintu mobil dan keluar dari dalam sana.
***
To be continued . . .