Execution Day

1692 Words
Happy Reading . . . *** Hingga beberapa hari berlalu, pada akhirnya hal yang Megan rencanakan itu benar-benar terjadi, dan malam ini adalah puncaknya. Di depan matanya yang kini sedang memperlihatkan sisi jahat, wanita itu dengan tersenyum senang ketika melihat incarannya yang kini sudah berada di hadapannya dengan terikat di sebuah kursi dengan mulut yang ditutup dengan lakban. "Dua pistol di kedua tanganku ini bisa memberikan rasa efek yang berbeda jika sudah menembus kepala kalian. Double-Action Revolver ini akan memberikan rasa sakit yang teramat sangat dan kesakitan itu juga yang akan mengantarkan kalian hingga menjumpai kematian. Sedangkan Desert Eagle ini mungkin tidak akan memberikan rasa sakit, namun kalian bisa langsung menjumpai kematian yang sudah menunggu karena senjata ini begitu menghancurkan. Jadi karena aku ini baik hati, aku akan memberikan kalian pilihan ingin menggunakan pistol yang mana. Dimulai darimu kakak-ku tersayang." Bersamaan dengan Megan yang dengan kasar menarik lakban yang menutupi mulut Gio, pria itu berteriak kesakitan sekaligus meneriakkan permohonannya agar adiknya itu tidak melakukan hal yang sedang bermain-main dengan nyawanya. "Aku berjanji akan memberikan apapun yang kau inginkan, tetapi jangan sakiti Corrie dan anakku." Tamparan keras pun Megan berikan dikedua pipi Gio dengan berturut-turut hingga menimbulkan suara yang sangat kencang dan membuat sudut bibir sang korban langsung terluka. "Aku menyuruhmu untuk memilih, bukannya memohon. BODOH!" Teriak wanita itu dengan geram. "Apapun Megan, apapun." Pinta Gio dengan air mata yang mulai menetes. "Nyawamu? Aku ingin nyawamu." "Kau ingin perusahaanku? Aku akan memberikan seluruh aset perusahaanku kepadamu." "Dengan kepergianmu untuk selama-lamanya, seluruh aset perusahaanmu itu otomatis akan menjadi milikku." "Aku mohon, Megan. Kita ini keluarga..." "Keluarga? Kau mengatakan kita ini keluarga? Bagaimana denganmu yang tidak pernah mempedulikanku? Apa kau pernah memperhatikanku setelah kedua orangtua kita meninggal? Bahkan dihari pemakaman Daddy, kau meninggalkanku sendirian Gio. Kau meninggalkanku yang sangat ketakutan, sedih, bingung. Lalu dimana kata 'kita adalah keluarga' yang kau maksudkan?" Tidak lama setelah Megan sedikit mengutarakan rasa kekecewaannya terhadap Gio, sebuah suara pun langsung mengembalikan sifat wanita itu yang sempat menghilang karena terlena akan kesedihan di dalam hidupnya itu. "Aku tidak menemukan keberadaan anak itu dimana pun." "Dimana Ravena?!" "Jangan, jangan sakiti dia. Kau bisa membunuhku, tetapi jangan sakiti anakku, Megan." "Cari sampai dapat!" Perintah wanita itu yang langsung membuat sang pelapor kembali melangkahkan kaki mengelilingi rumah korban yang akan menjadi tempat pengeksekusian. Dan ia adalah Venezio Evans, sang pemimpin kelompok pembunuh bayaran yang baru saja diberi kekuasaan oleh orang yang sangat berjasa untuknya, yaitu Vin. Menjadi seorang pemimpin dalam kelompok yang tidak sembarangan bukanlah impiannya. Namun hal tersebut mampu membuatnya bangga akan diri sendiri. Walau baru beberapa tahun ia bergabung dalam The Rogue's, ia sudah berada dipuncak karir tepat di usianya yang baru menginjak dua puluh tahun. Dengan sebuah kain yang menutupi setengah wajahnya hingga di bawah mata untuk menyembunyikan rupa dan identitas, Venezio kembali mengelilingi rumah tersebut namun kali ini dengan lebih teliti lagi. Dua target yang sudah berada di ruang tengah, membuat pria itu harus mencari keberadaan seorang anak yang ternyata sedang bersembunyi di suatu tempat. Setelah ia membuka dan memeriksa satu per satu ruangan di sana, Venezio tidak sengaja mendengar suara tangisan yang diredam. Pria itu mengikuti suara tersebut dan berusaha mendengarkannya dengan seksama. Hingga ia berada di dapur, suara yang ia cari ternyata semakin mendekat. Kursi meja makan pun Venezio sentuh, lalu dengan cepat ia menarik kursi tersebut untuk melihat ke bawah meja makan yang ternyata sosok yang ia cari ternyata sedang bersembunyi di sana. Venezio langsung menarik dengan paksa tangan anak perempuan berusia 8 tahun itu hingga membuat sang pemilik tangan sedikit terpekik karena rasa ketakutan yang dimilikinya. Tanpa menunggu lebih lama, pria itu sedikit menyeret tubuh Ravena Hollie, anak dari kedua orangtua yang saat ini sedang disandera dan ia akan segera menyusul nasib orangtuanya itu. Namun, Ravena justru melakukan pemberontakan dengan menarik-narik tangannya dengan paksa yang kini masih berada di dalam genggaman kuat Venezio. Tenaga Ravena yang walau hanya seorang anak perempuan berusia 8 tahun, ternyata cukup kuat dan mampu membuat genggaman tangan Venezio hampir terlepas. Untuk mencegah anak itu agar tidak sampai terlepas dari tangkapannya, dengan cepat Venezio menarik tubuh Ravena hingga mereka menjadi saling berhadapan dengan pria itu yang menatap wajah Ravena yang sudah begitu sembab akibat tangisannya yang belum juga berhenti. Namun air mata yang membasahi kedua pipi Ravena, tetap tidak menghilangkan kecantikan alami anak berusia 8 tahun. Wajah alami yang dilengkapi dengan rambut panjang bewarna hitam entah kenapa membuat Venezio tiba-tiba saja menjadi sempat terpaku dibuatnya. Belum lagi mata bewarna abu-abunya itu bertabrakan dengan mata hitam Ravena, membuat pria itu menjadi semakin merasa serba salah. "Lepaskan aku!" Cicit Ravena yang memohon dengan tetap menahan suaranya. Rasa simpati terhadap anak yang tidak bersalah itu pun juga mulai timbul di lubuk hatinya. Belum selesai atas keterpukauannya itu, tiba-tiba saja keduanya pun langsung dikejutkan dengan suara tembakan yang begitu memekakan telinga. Tembakan yang terjadi berkali-kali itu membuat tubuh Ravena menjadi semakin lemas dibuatnya. Dengan kembali meneteskan air mata, Ravena menjatuhkan diri setelah mengetahui kenyataan bahwa kedua orangtuanya itu sudah tidak bernyawa. "VENEZIO!" Sebuah teriakkan itu langsung menyadarkan kedua orang tersebut. Suara Megan yang terdengar begitu arogan tersebut membuat Venezio dengan cepat membantu Ravena untuk berdiri, dan menuntunnya menuju sebuah pintu yang mengarah ke bagian luar rumah. "Cepat. Kau harus pergi dari sini," ucap Venezio setelah ia membukakan pintu tersebut dan menyuruh Ravena untuk pergi. Sedangkan Ravena yang merasa bingung dengan sikap pria itu yang tiba-tiba saja berubah dan kini ia justru membebaskan dirinya dari malam mencekam itu, sedikit terdiam dan justru menatap mata abu-abu yang kini berada tepat di hadapannya. "Cepat pergi! Kau tidak ingin bernasib sama seperti kedua orangtuamu, bukan?" Setelah beberapa saat tatapan itu terputus, akhirnya Ravena pun berlari keluar dari rumah itu melalui pintu dapur. "VENEZIO!" Suara yang sangat kencang itu langsung mengejutkan dirinya dan keterkejutan semakin menyerang pria itu ketika ia melihat keberadaan Megan yang ternyata sudah berada di hadapannya setelah ia membalikkan tubuhnya. "Aku sudah melakukan eksekusi dan kau masih juga belum menemukan anak itu. Lalu apa yang kau lakukan di sini?" "Aku... aku mencari keberadaan anak itu. Dan aku tetap tidak bisa menemukannya," balas Venezio dengan sedikit tergugup. "Temukan dia sampai dapat sekarang juga! Aku sudah tahu sejak awal jika kau memang tidak berguna. Dan Vin telah sangat salah besar menilai dirimu yang katanya begitu sangat kompeten," ucap Megan dengan begitu angkuhnya dan ia langsung pergi meninggalkan Venezio yang kini sudah tidak mempedulikan omong kosong wanita itu. Karena kini ia sedang memperhatikan sosok Ravena yang sudah berlari menjauh dari rumah itu di malam yang mulai turun dengan rintik-rintik hujan. Sedangkan Ravena, anak perempuan berusia 8 tahun itu tidak tahu harus pergi ke mana. Ia merasa begitu ketakutan dan trauma besar pun muncul di dalam dirinya. Rumah yang sudah ia tempati selama 8 tahun itu sudah menjadikan tempat yang begitu mengerikan untuknya. Ditambah lagi dengan sosok pria bermata abu-abu itu. Walaupun ia sudah dibebaskan olehnya, tetap saja pria itu telah menjadi bagian dalam pembunuhan keji tersebut yang membuat Ravena begitu marah terhadap pria itu. Di bawah gelapnya malam dan rintik-rintik hujan yang turun semakin deras, ia yang melarikan diri ke sembarang arah hingga membuatnya tidak tahu keberadaan dirinya sendiri yang sekarang entah berada dimana. Tubuh kecil yang mulai menggigil itu semakin membuat tangisan Ravena tidak bisa berhenti. Selain memikirkan kedua orangtuanya yang sudah tidak ada dan kini ia yang hidup sebatang kara, Ravena tidak tahu harus meminta pertolongan kepada siapa. Dulu ia anak yang begitu disayang oleh Gio dan Corrie, sehingga ia tidak memiliki teman karena segala yang ia butuhkan dan inginkan sudah ia miliki tanpa adanya orang lain disekitarnya. Setelah beberapa saat menempuh perjalanan yang sudah cukup jauh dari rumahnya, Ravena mendudukkan diri di bawah pohon besar sambil memeluk dirinya sendiri yang begitu kedinginan. Bunyi gigi yang saling bergemeletuk pun mengiringi hembusan angin kencang yang menyapu tubuh kecilnya itu. Ravena begitu kedinginan hingga membuatnya hampir tidak sadarkan diri. Namun, pandangan yang sudah mulai redup itu tiba-tiba saja menangkap sebuah sosok kedua kaki yang kini sudah berdiri tepat di hadapannya. Dengan perlahan, Ravena mengangkat kepala dan meneliti postur tubuh tinggi seseorang yang tidak bisa ia lihat dengan jelas. Selain karena tidak adanya penerangan, hujan yang masih turun dengan deras pun menghalangi penglihatan Ravena sehingga ia tidak bisa melihat rupa orang itu. Hingga sebuah tangan pun terulur di depan Ravena. Uluran tangan itu membuatnya cukup bingung dan bimbang disaat yang bersamaan. Rasa bingung karena ia tidak tahu siapa sosok di hadapannya, dan rasa bimbang apakah ia harus menerima pertolongan orang itu. Ketakutan yang belum juga hilang, membuat Ravena sempat terdiam untuk berpikir sejenak. Tanpa satu pun suara atau ucapan yang terdengar, tangan itu tetap pada posisinya dengan terulur cukup lama. Hingga pada akhirnya Ravena menyambut uluran tangan besar yang ternyata dimiliki seorang pria, dan genggaman erat itu pun juga langsung bisa ia rasakan. Setelah itu Ravena pun dibawa masuk ke sebuah mobil yang terparkir tidak jauh dari pohon besar tersebut. Rasa hangat langsung merasuk ke dalam tubuh Ravena setelah ia masuk ke dalam mobil itu. Tidak lama setelah sosok yang menolongnya berada di samping Ravena, mobil tersebut langsung melaju. Walaupun rasa takut masih dirasakan, tetapi Ravena masih merasa penasaran dengan orang itu. Dengan tetap menundukkan kepala, Ravena menengok dengan perlahan untuk melihat wajah seseorang di sampingnya. Namun, belum sempat Ravena melihat dengan jelas siapa sebenarnya pria tersebut tiba-tiba saja ia dikejutkan dengan suara berat yang menyapa pendengarannya. “Apa kau tahu siapa pelaku yang membunuh kedua orangtuamu itu?” “Hhmm... a-apa?” Balas Ravena dengan tergugup. “Apa kau mengenal mereka?” 'bagaimana ia bisa tahu?’ batin Ravena yang mulai cemas dan bertanya-tanya sendiri. “Kau tidak perlu takut. Aku akan membantumu.” “ . . .”. Keterdiaman Ravena itu terjadi disaat ia sudah bisa melihat rupa pria itu. Ia terpaku akan ketampanan seseorang yang sudah menjadi malaikat penolongnya itu. Setiap sisi wajahnya yang terpahat dengan sempurna membuat Ravena seakan tidak bisa berkata-kata. “Aku akan membantu membalaskan dendam-mu kepada orang-orang jahat itu. Jadi kau tidak perlu takut, aku tidak akan menyakitimu karena aku berada di pihakmu.” “K-kau... kau siapa?” “Kau tidak perlu tahu.” “Tetapi aku ingin tahu.” “Kau bisa memanggilku Sebastian.” *** To be continued . . . 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD