Bab 1: Tawaran Aneh dari Pria Tak Dikenal
Hari itu, hujan turun pelan membasahi trotoar. Kirana mempercepat langkahnya, menutup kepala dengan tas tangan seadanya. Jaket tipis yang dikenakannya tak mampu melindungi tubuh mungilnya dari angin dingin Jakarta sore ini.
Ia baru saja pulang dari kantor tempat kerjanya sebagai karyawan kontrak di PT RAKA Group. Gaji yang kecil dan pekerjaan yang padat membuatnya sering merasa lelah, tapi bukan itu yang membuat napasnya terasa berat malam ini.
Ia baru saja menerima kabar bahwa rumah orang tuanya akan disita tiga hari lagi. Tagihan yang menumpuk dan hutang lama yang tak terbayar membuat keluarganya nyaris kehilangan segalanya.
Saat ia baru menyalakan kompor kecil di dapur kos, ponselnya berdering. Nomor tidak dikenal.
"Hallo?" sapanya pelan.
"Apakah ini Kirana Prameswari?" suara pria, dalam dan tenang.
"Iya, saya sendiri. Ini siapa ya?" Kirana mengernyit. Ia tidak merasa sedang melamar kerja atau menghubungi siapa pun.
"Aku ingin bertemu denganmu. Ini tentang keluargamu… dan hutang ayahmu."
Kirana langsung berdiri. Hatinya mencelos. "Maaf? Kamu siapa? Bagaimana kamu tahu—"
"Kita bisa bicara langsung. Aku tidak berniat jahat. Aku hanya ingin membuat kesepakatan."
"Kesepakatan apa?"
"Menikah denganku."
Kirana terdiam. Seketika, pikirannya dipenuhi ribuan pertanyaan. Siapa orang ini? Apakah ini lelucon? Menikah?
"Apa maksud kamu?" tanyanya waspada.
"Aku akan menjelaskan kalau kamu mau bertemu. Malam ini. Di kafe dekat Stasiun Palmerah. Jam delapan malam."
Sebelum Kirana bisa menjawab, telepon sudah ditutup.
---
Kirana berdiri canggung di dalam kafe yang hampir sepi. Matanya mencari-cari sosok pria misterius itu. Ia sudah memutuskan untuk datang separuh karena penasaran, separuh karena putus asa.
"Maaf, Kirana?" suara bariton menyapanya dari belakang.
Ia menoleh. Seorang pria tinggi, memakai kemeja hitam sederhana, berdiri dengan senyum tipis. Wajahnya teduh, tapi ada aura dingin dan serius dalam sorot matanya.
"Iya… ini saya," ucap Kirana gugup.
"Aku Radit," katanya sambil duduk. "Langsung saja, aku tahu kamu sedang dalam kesulitan. Rumah keluargamu akan dilelang. Aku bisa bantu."
"Kamu siapa sebenarnya? Kenapa kamu mau bantu?"
"Aku... orang biasa. Tapi aku punya cukup uang untuk menyelesaikan hutang itu. Dengan satu syarat."
Kirana menatapnya dalam-dalam. “Syaratnya... menikah?”
Radit mengangguk. “Pernikahan kontrak. Hanya setahun. Tidak akan ada gangguan dari pihakku. Kamu tetap bisa kerja. Aku tidak akan mengganggumu. Tapi kita akan menikah secara sah di mata hukum.”
“Kenapa aku?”
“Karena kamu bukan tipe wanita yang akan mengejarku karena uang. Dan kamu butuh bantuan.”
Kirana menggeleng. “Ini gila…”
“Tidak se-gila kehilangan rumah dan membuat ibumu sakit karena stres, kan?” balas Radit dengan nada tenang.
Kirana terdiam. Bagaimana dia tahu semua itu?
“Bagaimana aku tahu aku bisa percaya kamu?” suaranya nyaris berbisik.
“Besok, aku akan kirim uang pelunasan hutang ke rekening keluargamu. Setelah itu, kita menikah minggu ini. Kalau kamu setuju, tandatangani surat ini.”
Radit mengeluarkan selembar kertas dari map hitam. Kontrak. Semua terlihat sah. Kirana memandangi kertas itu seperti melihat bom waktu.
“Aku nggak bisa langsung jawab malam ini,” gumamnya.
“Aku kasih waktu sampai besok malam.”
Radit berdiri. “Kalau kamu setuju, telepon aku. Kalau tidak, anggap pertemuan ini tidak pernah terjadi.”
Ia meninggalkan Kirana tanpa menoleh ke belakang.
---
Malam itu, Kirana tak bisa tidur. Wajah ibunya yang lelah, ayahnya yang pasrah, adiknya yang masih sekolah semuanya datang silih berganti dalam pikirannya. Di sisi lain, pria yang menawarkan ‘pernikahan dadakan’ itu jelas-jelas mencurigakan.
Tapi... kalau benar dia bisa bantu?
Pagi harinya, saat sedang menyapu halaman kecil di depan kos, ia mendapat notifikasi di HP. Transfer masuk sebesar Rp380.000.000.
Pengirim: Radit P.
Tangannya gemetar.
Benarkah ini semua?
Ia memandangi nomor pria itu. Lalu dengan napas berat, ia menekan tombol hijau.
“Halo?”
“Aku setuju.”
Setelah panggilan itu berakhir, Kirana terduduk di tepi ranjang. Pikirannya kacau, hatinya tak tenang. Apa yang baru saja ia lakukan? Apakah ini keputusan yang benar? Ia bahkan tak mengenal siapa Radit sebenarnya. Tapi uang itu... nyata.
Dan besok, rumah mereka tidak jadi disita.
“Semoga ini bukan kesalahan,” bisiknya pelan sambil memeluk lutut.
---
Keesokan harinya, Kirana sudah duduk di dalam kantor notaris bersama Radit. Tak banyak yang mereka bicarakan, hanya instruksi seperlunya. Tidak ada tatapan romantis, tidak ada senyum, apalagi genggaman tangan.
Semuanya terasa seperti transaksi bisnis. Dingin, formal, dan… cepat.
“Silakan tanda tangani di sini,” ucap notaris itu sambil menunjuk pada selembar kertas.
Tangan Kirana sempat ragu. Tapi saat ia melihat Radit duduk tenang di depannya, ia menguatkan diri.
Satu tarikan napas. Tanda tangan selesai.
Mulai hari ini, dia adalah istri seseorang. Istri dari pria yang bahkan tak ia kenal sepenuhnya. Pria yang tidak tahu makanan favoritnya, tidak tahu ia suka hujan, atau betapa ia takut kegelapan.
Radit menoleh dan hanya berkata pelan, “Mulai sekarang, kamu tinggal di apartemenku. Aku sudah siapkan ruangan sendiri untukmu.”
Kirana hanya mengangguk. “Baik…”
---
Saat memasuki apartemen Radit malam itu, Kirana nyaris membeku. Ruangan mewah berlantai marmer, pencahayaan hangat, dan pemandangan kota dari balik kaca besar semuanya terasa seperti dunia lain.
Radit menuntunnya dengan tenang. “Kamar kamu di sebelah kiri. Jangan masuk kamarku tanpa izin.”
Kirana mengangguk. “Aku mengerti.”
“Dan satu hal lagi...” Radit menatapnya dengan sorot mata yang sulit dibaca. “Di luar sana, jangan bilang siapa pun bahwa kita menikah.”
Kirana menoleh cepat. “Kenapa?”
“Aku punya alasan pribadi. Dan kamu akan tetap kerja seperti biasa di kantor. Tidak ada yang boleh tahu hubungan kita.”
“Termasuk… atasan di kantor?”
Radit tersenyum tipis. “Termasuk dia.”
Kirana tidak tahu, bahwa pria yang kini berdiri di depannya itu adalah atasannya sendiri. CEO dari perusahaan tempat ia bekerja. Tapi pria itu memilih menyembunyikan identitasnya untuk sekarang.
Dan Kirana… baru saja masuk ke dalam cerita hidup yang tidak akan pernah ia duga sebelumnya.
Malam itu, Kirana duduk di sisi ranjangnya yang empuk. Kamar apartemen itu begitu luas dan mewah, bahkan jauh lebih nyaman daripada rumah yang akan disita keluarganya. Tapi di balik semua kemewahan ini, ia merasa asing. Terlalu sunyi.
Ia membuka jendela sedikit. Angin malam menyapu wajahnya perlahan. Di kejauhan, lampu kota Jakarta berkelap-kelip, indah… tapi tidak membuat hatinya tenang.
Kirana lalu mengambil buku kecil dari dalam tasnya. Buku catatan harian yang sudah lama ia tulis, hanya saat pikirannya benar-benar kacau.
Ia membuka lembar kosong dan mulai menulis:
> Hari pertama sebagai istri dari pria asing.
Aku masih tidak percaya ini semua nyata.
Aku menandatangani surat nikah, tinggal di apartemen mewah, tapi tidak tahu siapa sebenarnya suamiku.
Lucunya, aku bahkan belum tahu nama lengkapnya sampai sekarang.
Dan besok… aku harus kembali bekerja seperti biasa.
Aku harus pura-pura kuat, padahal aku sendiri tidak tahu sedang terlibat dalam apa.
Semoga aku tidak menyesal.
Tangannya berhenti menulis. Ada rasa sesak yang tak bisa ia jelaskan. Ia bukan tipe yang mudah menangis, tapi malam itu matanya basah.
Di ruangan lain, Radit berdiri di balik pintu kamarnya yang setengah terbuka. Ia memperhatikan Kirana dari jauh. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan beban.
"Maaf, Kirana… aku belum bisa jujur padamu sekarang," bisiknya lirih.
Dan malam pun semakin larut, membawa dua orang asing yang kini terikat dalam ikatan yang tak sepenuhnya mereka pahami.
Tapi takdir sudah mulai menulis cerita mereka.