Disaat teman-teman sekelasnya sedang merapikan alat-alat tulisnya kedalam tas dan siap untuk pulang ke rumah masing-masing, berbeda dengan Tama.
Cewek itu masih saja diam, duduk di tempatnya sambil mengamati temannya satu per satu yang pulang. Ia melirik jam dinding kelas di samping figura pak presiden. Pukul 15.15, harusnya Tama juga sama nasibnya seperti yang lain. Pulang jam segini.
Tapi hukuman dari bu Linda harus ia laksanakan. Sebenarnya, ia bisa saja langsung pergi ke toilet cewek dan membersihkannya. Namun, ia malu karena mendapat hukuman seperti Lucas, Jaemin, Mark dan Haechan lakukan sebelumnya.
Karena di hari sebelum-sebelumnya, ia yang selalu datang paling awal. Sampai sekolah belum terbuka gerbangnya yang harus merelakan dirinya menjadi pusat perhatian dari orang yang melintasi sekolanya karena memanjat lewat pagar.
Dan sekarang, Tama jadi terkena hukuman seperti keempat teman kelasnya yang sering didapatkan.
"Lah, Tama? Lo ngapain masih duduk? Gak mau pulang lo?" Nita bertanya saat mengangkat bangkunya keatas meja.
Tama beranjak dari duduknya dan melangkah pelan menuju keluar kelas. "Ada bisnis bentaran. Kalian bertiga pulang aja duluan."
"Serius, woy!" sahut Sekar yang sudah memakai masker hitamnya, bersiap-siap ngambil motor di parkiran.
Tama menoleh sebentar dan mengangguk. "Gapapa. Duluan aja,"
Cewek itu menoleh ke sisi kiri dan sedikit mengintip kedalam kelas 12 untuk melihat kakak kelas barunya itu. Tapi hasilnya malah nihil, hanya beberapa saja kakak kelas didalamnya yang sibuk menatap layar laptop sambil ber-fangirling melihat biasnya pakai Wi-Fi sekolah.
Ia menghembus napasnya dengan lesu. Kakinya kemudian melangkah menuju toilet dengan wajah tertunduk lemas.
Pasti Taeyong sudah pulang duluan karena ingin menghindar hukuman itu. Dan terpaksa Tama harus mengerjakan dua toilet sekaligus!
"Argh, menyebalkan!" pikir Tama kesal.
Cewek itu masuk ke dalam toilet cewek. Ia mengambil satu ember dan diisi dengan air. Selagi menunggu sampai penuh, Tama menaburkan pembersih lantai dan merendam pel-an kedalamnya.
"Ck, sama aja tuh orang kayak cowok lainnya!" Tama kesal. Di perasnya kuat-kuat pel-an di tangannya dan mengepel bagian ujung toilet. "Judulnya aja cogan! Tapi nyebelin, ih!"
Tama mengepel dengan cepat dibagian pojok. Sambil misuh-misuh, dia sampai tidak sadar kalau ada orang yang ngelihatin dirinya dari tadi.
"Dasar, cowok!" Tama kesal.
"Udah belum ngomelnya?" Suara orang itu berhasil bikin Tama berhenti dari aktifitasnya. Tama memutar badan, dan matanya yang membola. "Hai." Taeyong menyapa sambil tersenyum lebar.
Cewek itu tersenyum canggung. Kedua tangannya saling memilin di belakang punggungnya. Bibirnya juga mengatup rapat. Sadar akan kebodohannya sendiri yang telah mengomel sepanjang masa.
"Udah belum? Perlu bantuan, gak? Saya udah selesai, loh," kata Taeyong sambil masuk kedalam.
Tama merhatiin gerakan cowok itu. Sampai dia sadar kalau gagang pel sudah berpindah tangan di tangan Taeyong. Matanya kembali membola.
"Kamu tunggu di luar aja." Taeyong menyahut. Ia sekarang menggantikan Tama yang mengepel toilet cewek yang seharusnya Tama kerjakan. "Jangan diem aja disitu. Kamu jaga di luar biar anak cewek yang mau masuk kamu cegat."
Tama menurut. Ia berjalan pelan sambil menunduk dengan kernyitan yang terpampang jelas di keningnya. Ia berpikir, kenapa juga ia menurut ucapan Taeyong?
Tama memutar badan. "Kak, ini kan tugas aku. Harusnya kakak aja yang nunggu di luar." Cewek itu kembali mendekat.
Aktivitas Taeyong terhenti. Ia menoleh sekilas pada Tama yang berdiri dibelakangnya. "Gak usah, biar saya aja."
"Nanti kalo Bu-"
"Biar cepet, Tama," sahut Taeyong tanpa menatap Tama.
Cewek itu mendesah ringan. Ia mengangguk dan berdiri di ambang pintu toilet dengan menatap sekitar.
Tidak sampai lima belas menit, cowok jangkung itu sudah berdiri di samping Tama yang melamun. Taeyong menepuk bahu Tama sehingga cewek itu tersadar. "Ayo, pulang!" Taeyong mengajak dan berjalan lebih dulu.
Tama mengikuti dan menyamakan langkah lebar Taeyong. Ia menatap wajah kakak kelasnya dari samping dengan alis menaut.
"Kok?" Tama bingung.
Taeyong tersenyum, lalu menoleh. "Saya antar kamu pulang."
Spontan langkah Tama berhenti bikin Taeyong ikut berhenti dan menatap Tama heran.
"Kenapa berhenti?" tanya Taeyong.
Tama menggeleng pelan dan kembali berjalan. "Gak usah, kak. Aku naik gojek aja. Lagian rumah kakak pasti jauh, 'kan?"
"Nggak. Rumah saya searah sama kamu, kok," balas Taeyong yang ikut masuk kedalam kelas Tama.
Tama memakai tas navynya dan memakai masker. "Beneran gapapa, kak?"
Taeyong mengangguk sambil tersenyum manis. "Gapapa. Daripada kamu naik gojek, mending uangnya kamu jajanin beli mi ayam."
Tama terkekeh sambil mengangguk. Taeyong yang melihatnya ikut terkekeh dan mengusap rambut Tama membuat mata Tama melotot.
Degupan jantungnya jadi semakin cepat dan darahnya berdesir kencang. Tidak menyangka kalau Taeyong berani mengusap rambutnya. Dan pipinya jadi merona karena perlakuan Taeyong. Benar-benar di luar dugaan!
Taeyong sudah berjalan lebih dulu ke parkiran. Sedangkan Tama berjalan dengan pelan menuju gerbang sekolah. Pipinya masih memanas dan Tama mengibaskan tangannya di pipinya berharap rona merah itu hilang.
Tapi usahanya sepertinya sia-sia, karena Taeyong sudah melihatnya dengan motor yang dinaikinya.
"Pipi kamu kenapa?"
"Hn?!" Tama menggeleng kikuk. Ia meringis sambil menggeleng pelan. "Kepanasan, kak."
Taeyong menengadah menatap langit yang mendung karena sehabis hujan. Hawanya aja sama sekali tidak terasa panas. Bahkan yang Taeyong rasakan hanya dingin.
"Gak panas, kok." Taeyong bergumam. Lalu kembali melihat Tama dan meletakkan punggung tangannya di kening Tama. "Jidat kamu juga gak panas."
Tama menipiskan bibirnya. Tanpa menjawab perkataan Taeyong, Tama menaiki motor Taeyong.
"Kalau kamu ngantuk, senderan aja di punggung, ya?" Taeyong sedikit menoleh ke belakang untuk melihat Tama.
Cewek itu mengangguk dan memakai helm yang diberikan Taeyong. Kedua tangannya sama sekali tidak menyentuh perut cowok itu, hanya memegang kedua bahu Taeyong sebagai pegangan.
•••
Mengernyit cukup dalam di keningnya, Tama turun dari motor Taeyong saat cowok itu memintanya turun. Di pandanginya rumah makan nasi Padang di depannya itu lalu menatap Taeyong yang menaruh helmnya diatas jok motor.
Tama lagi-lagi terkesima bagaimana melihat Taeyong sedikit mengacak-acak rambutnya dan menyisirnya dengan tangan. Pemandangan itu sangat disayangkan untuk dilewatkan.
"Kamu lapar?" tanya Taeyong sambil menatapnya.
Tama menggeleng pelan.
"Tapi aku lapar, singgah disini dulu, ya?" Taeyong bertanya dan dijawab anggukan ragu oleh Tama. Jemarinya tiba-tiba melingkup jemari Tama dan membawanya masuk. "Yuk!"
Tama melebarkan matanya, mulutnya sedikit terbuka, terkejut. Taeyong terus menggenggam jemarinya tanpa mau melepaskan sedikitpun.
Ia merunduk untuk melihat genggaman Taeyong. Pipinya lagi-lagi memanas dan perutnya terasa menggelitik di bawah sana.
Karena ini pertama kalinya tangannya digenggam oleh seorang cowok. Dan belum genap sehari, Tama sudah berhasil dibuat baper oleh Taeyong.
Matanya masih saja menatap genggaman itu selagi Taeyong memesan. Ia kemudian mendongak saat Taeyong bertanya padanya.
"Kamu mau makan apa?"
"Eum," Tama bergumam dan melarikan pandangannya dari mata Taeyong yang menatapnya tajam namun teduh. "Rendang aja, kak. Sama telur dadar juga, pake sambel merah yang banyak," katanya menyebutkan menu yang akan ia makan sambil menatap beranekan macam lauk yang menggoda iman.
Namun sedetik kemudian, Tama melototkan matanya karena sadar jika dirinya memesan lauk yang lebih dari satu. Perlahan matanya menatap Taeyong yang tidak menatapnya.
Tama juga melihat sudut bibir Taeyong yang berkedut. Dan Tama menjadi malu.
Taeyong menguraikan genggamannya dan menarik bangku untuk Tama duduk. Di perlakukan seperti itu, Tama jadi malu sendiri. Taeyong duduk dihadapannya lalu menopang dagunya dengan tangan kanannya.
Matanya menatap lurus wajah Tama yang masih memerah di pandangannya. Keningnya lagi-lagi mengerut. "Kamu beneran sakit, ya?"
Cewek itu mendongak dengan kedua alis terangkat. "Nggak, kok, kak," sergahnya sambil menggeleng.
"Muka kamu dari tadi saya perhatiin merah terus. Saya kira kamu sakit." Taeyong sedikit memiringkan kepalanya menatap cewek mungil dihadapannya.
Tama terkekeh pelan menutupi rasa gugupnya. "Emangnya kentara banget ya, kak?" Taeyong mengangguk. "Panas, kak. Makanya muka aku jadi merah gini."
"Tapi saya gak ngerasain panas sama sekali, tuh." Taeyong menyahut dengan santai. "Apa bener kamu lagi panas, ya?"
"Nggak, kak." Kali ini Tama balas dengan senyuman segaris. "Biasanya suka gini, kak."
"Oohh," Taeyong mengangguk walau sedikit ragu karena jawaban Tama.
Setelah itu, pesanan mereka berdua datang. Dengan sepiring nasi dan lauk masing-masing. Tama melirik lauk Taeyong. Ia jadi mengulum bibirnya melihat lauk Taeyong hanya satu. Sementara dirinya ada dua.
"Ayo dimakan!"
Makan kali ini, Tama sedikit terpaksa mengontrol dirinya agar tidak kelepasan. Karena biasanya, cewek itu akan makan dengan sangat lahap.
Tapi karena ada cowok, kakak kelasnya yang ganteng itu, Tama harus menguasainya agar Taeyong tidak merasa ilfil terhadapnya.
"Kayaknya nafsu makan kamu kurang, ya?" Pertanyaan itu bikin Tama mendongak. "Kamu makannya pelan banget."
Tama meringis sebentar. "Emang gini kak aku makannya. Lama." Ia terkekeh dan berteriak dalam hati.
"Sampe kapan gue mesti kayak gini??? Laper anjir!" Pikirnya.
Taeyong mengangguk paham dan kembali melanjutkan makannya. Sesekali ia lirik Tama dan tersenyum tipis.
"Kamu kalau mau nambah, bilang ya? Biar aku pesenin lagi nasinya," kata Taeyong masih tersenyum.
Tama mengangguk kikuk. Pengen sih, tapi yaa, namanya juga di depan cowok yang dia suka mesti jaga imagenya dulu.
He he he he.