Janji

1501 Words
Tiga tahun berlalu, kehidupan Una belum sepenuhnya membaik. Selama tiga tahun ini tak ada yang begitu spesial di kehidupannya setelah Fano pergi, semuanya seperti benar-benar musnah tak berbekas. Tidak ada senyuman, tak ada gurauan, tak ada percakapan penting, tak ada perasaan—walaupun selama tiga tahun ini ada seorang laki-laki yang begitu gencar mendekatinya. Ya. Tak bisa dibayangkan bagaimana rasa hampa yang Una rasakan sampai ia harus bersikap seperti itu. Kembali dengan sikapnya yang membosankan seperti zombie di kehidupan nyata yang hanya pulang, pergi dan tidur saja. Berulang kali Arumi dan Eliza meminta Una untuk ikhlas dan berinteraksi secara normal seperti manusia lainnya namun, berkali-kali juga mereka gagal melakukannya. Una adalah Una, gadis keras kepala yang tak mudah membuka hati ketika sudah merasa tersakiti, Una tak suka dibohongi, Una tak suka dibentak, Una juga tak suka dimanfaatkan dan nyaris segala hal tak disuka oleh Una. Una juga sering tak menyukai topik pembicaraan yang memuakkan seperti pagi ini di meja makan saat semua orang di rumahnya sedang sarapan bersama. “Una ... kamu enggak berniat untuk bekerja di perusahaan Bang Gustov? Kebetulan di sana ada lowongan untuk menjadi general manager,” gumam Eliza sembari mengambilkan lauk pauk ke mangkuk anak sulungnya—Rimaya. “Enggak tertarik.” Seperti biasa, Una akan menjawab dengan asal, dan terkesan acuh tak acuh. “Sudah tiga tahun ... mau sampai kapan kamu seperti ini karena laki-laki yang sudah enggak mungkin kamu miliki lagi, Una?” tanya Eliza. “Bukannya itu sia-sia? Sekarang kamu harus mampu bangkit ... terserah kamu ingin bekerja di mana yang penting kamu bersosialisasi sedikit.” “Benar kata Kakak kamu, Una. Sudah tiga tahun lamanya ... harusnya kamu sudah melupakan Fano,” ucap Arumi menimpali anak sulungnya. Una terdiam tak ingin menjawab perkataan mereka karena memang ia sendiri sudah bosan dengan topik pembicaraan tersebut. Sudah sering mereka mengatakan hal itu kepada Una namun, nyatanya menerima kejadian seperti itu bukanlah hal yang mudah untuk perempuan seperti Una. Una tak suka hal itu. “Di kantornya Bang Gustov juga banyak kok laki-laki tampan, baik, terus mapan,” ucap Kak Eliza. “Enggak berminat.” “Atau mau Kakak bantu cari pasangan dengan cara blind date? Ayolah Una ... jangan seperti ini terus,” ujar Eliza dengan nada sedikit memohon. “Aku sudah nyaman seperti ini, Kak, Bu. Maafkan Una karena selalu membuat kalian khawatir,” ucap Una kemudian, menyudahi sarapannya dengan mengambil sebuah tissue dapur untuk membawa roti isi miliknya. “Kamu mau ke mana?” tanya Arumi sedikit terkejut karena tiba-tiba saja Una berdiri. “Hari ini Una masuk pagi, Bu,” jawab Una singkat. “Kok mendadak kamu mengajar offline?” tanya Eliza kemudian. Tiga tahun ini Una memang memilih untuk bekerja sebagai seorang guru les di sebuah yayasan pelajaran tambahan untuk anak-anak yang memiliki masalah belajar di sekolahnya ataupun anak-anak yang akan mengikuti ujian akhir semester. Una tidak pernah bercita-cita untuk menjadi seorang guru namun, ia suka berinteraksi dengan anak-anak karena menurutnya anak-anak seumuran mereka mempunyai rasa ingin tahu yang besar, memiliki kepribadian yang khas, senang berfantasi dan berimajinasi, dan masih banyak lagi. “Una ... kalau ada orang bertanya tolong jawab, jangan diam seperti itu,” kata Arumi. “Maaf, Bu. Aku buru-buru,” jawab Una. “Masya Allah, Una. Ibu belum seles—“ “Nanti aja, Bu. Kita bisa bicara lagi nanti setelah aku pulang kerja,” potong Una segera meraih tangan Arumi dan Eliza secara bergantian untuk menciumnya. Setelah dirasa cukup, Una segera bergegas ke luar menuju garasi rumahnya. Ia akan berangkat ke yayasan tersebut hanya dengan menaiki sebuah vespa sprint yang dicat dengan pewarna lavender. Tanpa lupa memakai helm bogo miliknya, Una segera menarik pedal gas sebelum Arumi membuntutinya ke garasi. Ia sadar bahwa itu adalah tindakan tidak terpuji namun, ia terlalu bosan untuk membahas kehidupannya yang tak seindah dulu. *** Sesampainya di yayasan Una segera mempersiapkan dirinya untuk masuk ke dalam kantor pengajar untuk absen dengan fingerprint sebelum pada akhirnya mengajar beberapa murid sekolah dasar pagi ini, keadaan yayasan begitu lengang membuat suasana hati Una semakin hampa. Una hanya mendengar samar-samar candaan anak-anak dari lantai dua namun, ia tak bisa mendengarnya dengan jelas. Una menggeleng pelan sembari membenarkan posisi sling bag yang dibawanya hari itu. Beberapa buku di peluknya erat agar tidak merosot, hari itu sangat sepi sekali di lobi utama hanya ada beberapa sepeda motor dan satu mobil. Murid-murid juga belum terlihat berlarian. “Miss Naomi!” panggil seseorang dari belakang, membuat Una sedikit tertegun karena terlalu fokus dengan jalanan lurus di hadapannya. Una menoleh dengan tatapan bingung saat seorang laki-laki dengan kemeja batik parang dan celana katun hitam berlari kecil menghampirinya. Terlihat sedikit terengah karena begitu bersemangat menghampiri Una. “Pak Zidna, ada apa kok buru-buru sekali?” tanya Una. “Kebetulan bisa bertemu dengan Miss Naomi di sini, saya membawa sebuah oleh-oleh titipan Ibu saya yang baru pulang dari kampung, ketupat dan sayur untuk anda, Miss.” Laki-laki bernama Zidna itu menyodorkan sebuah rantang besi dengan gambar ayam jago kepada Una. “Lho, kok ... kenapa tiba-tiba membawakan saya oleh-oleh? Kenapa Pak Zidna repot-repot sekali membawakannya ke yayasan? Terima kasih banyak, Pak.” Dengan perasaan tidak enak Una membungkuk memberikan terima kasih kepada Zidna. “Sama-sama, Miss. Justru saya senang kalau bisa berbagi sama Miss Naomi,” balas Zidna lagi. “Sekali lagi terima kasih banyak, Pak Zidna. Kapan-kapan biar saya yang mentraktir Bapak makan siang.” Laki-laki bernama Zidna itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, hidungnya kembang kempis menahan rasa senang di dalam hatinya—ia tersenyum simpul. “Bagaimana ... kalau Miss Naomi menemani saya untuk perwakilan yayasan ini besok lusa? Kebetulan saya diutus kepala yayasan untuk ke sana ....” “Eum ... sebenarnya saya bisa, Pak. Tapi, apakah kepala yayasan menerima hal itu? Saya ini bukan guru resmi di yayasan ini,” gumam Una. “Tidak apa-apa, Miss. Justru saya diminta memilih sendiri oleh kepala yayasan,” ujar Zidna cepat. “Kalau boleh tahu itu acara apa ya, Pak?” tanya Una kemudian. “Seperti biasanya, Miss. Acara sosialisasi untuk murid-murid tingkat akhir yang akan menjalani ujian semester. Kita di minta untuk datang ke beberapa sekolah dasar,” jawab Zidna. Una mengangguk sebentar, kemudian berkata, “Kalau hanya berdua seperti ini enggak usah terlalu kaku, Pak. Kelihatannya Bapak lebih tua dari saya.” “Tapi, Miss ....” “Saya bisa kok menemani Pak Zidna ke sana. Kebetulan besok lusa saya enggak ada jadwal,” potong Una cepat, sedikit menorehkan senyum di wajah bulat orientalnya. Wajah yang sudah tiga tahun ini terlihat seperti zombie kembali menampakkan seberkas sinarnya walaupun tak lagi sama, kemungkinan Una akan segera membuat perubahan baru dalam hidupnya setelah tiga tahun lamanya diteror dengan saran dan kritik juga petuah-petuah dari Arumi dan Eliza. “Saya jemput, Miss?” tanya Zidna kemudian seketika membuat Una hampir jantungan. “Jem‐jemput?” ulang Una. “Iya, Miss. Biar saya yang jemput ke rumah, Miss Naomi. Soalnya kita langsung berangkat ke sana bersama tim yang lainnya,” jelas Zidna. Sekali lagi Una mengangguk. “Kalau begitu nanti saya kabari lagi, Miss.” “Baik, Pak Zidna. Terima kasih banyak sekali lagi, sekarang saya harus pergi ke kantor untuk check lock.” “Sama-sama, Miss. Sampai bertemu besok lusa,” jawab Zidna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD