Aku mencengkram kuat kain sprei yang sudah berantakan ini, nafasku terengah-engah karena klimaks barusan.
Pram belum selesai, padahal aku sudah mencapai klimaksku yang ke dua, ia terus bergerak, membuatku kewalahan.
Selang sekian menit, aku mendengarnya melenguh dan menekankan miliknya dalam-dalam, tangannya sudah tidak menahan badannya, ia ambruk di atasku.
"Thanks, Ka!" Bisiknya lembut.
"Yeah, sama-sama Pram."
"Aku sayang kamu, Ka. Cuma kamu cewek yang ngertiin aku."
"Buka dulu ini borgolnya, pegel tanganku." Pintaku. Ya, tangan kananku diborgol olehnya karena ia tidak suka disentuh ketika kami sedang berhubungan.
"Oke sebentar." Pram menarik diri dari tubuhku, mengambil kunci di nakas lalu melepaskan sebelah tanganku ini.
Mengibaskan lengan yang kebas, aku menarik selimut untuk menutup tubuh telanjang kami.
"Jangan tinggalin aku ya, Ka. Aku gak bisa hidup tanpa kamu sayang." Ucap Pram lembut sambil memelukku.
Yah, begini lah dia, sering berkata manis ketika kami sudah selesai berhubungan. Dan aku senang mendengar kalimat-kalimat itu, membuatku merasa dibutuhkan, dicintai olehnya.
"Iyaaa, aku juga sayang kamu, Pram." Ucapku tulus.
"Makasi, Ka. Kamu emang cewek terbaik." Ia memperat pelukannya, menghujaniku dengan ciuman-ciuman lembut di wajah.
Goshh! Kenapa aku harus sayang dengan pria seperti ini??
*****
"Aku gak suka kamu deket sama Krisna."
"Terus gimana? Mejaku ada di sampingnya, aku harus pindah?"
"Aku takut kamu selingkuh sama dia."
"Gak akan Pram, aku gak akan selingkuh, aku sayang sama kamu." Kataku lembut, dan tulus.
"Bohong!" Serunya marah. Detik berikutnya pipiku terasa panas, ia baru saja menamparku.
Aku diam, berusaha menahan sakit yang kurasakan ini.
"Kenapa kamu harus nampar aku, Pram?" Kataku pelan, tak ingin membalas amarahnya.
"Karena kamu nyari celah kan buat selingkuh sama dia?? Iya kan?? Jujur aja?!!!" Ia mencengkram pergelangan tanganku dengan kuat.
Sebuah tamparan mendarat sekali lagi di pipiku.
Tak kuat, aku menangis. Kenapa harus seperti ini sih? Padahal 5 menit yang lalu kami masih baik-baik saja. Tapi saat panggilan dari Krisna masuk, Pram langsung bertingkah, padahal Krisna menelefon hanya untuk memberi kabar kalau fee sudah bisa diambil di bagian finance.
"Kikaa?? Kika maaf, kamu jangan nangis." Cengkraman tangannya mengendur, ia tiba-tiba saja memelukku.
"Aku capek Pram kamu selalu kaya gini." Aku melepas pelukannya, duduk di kasur karena lelah.
"Maaf, kamu tau, aku kaya gitu karena sayang sama kamu."
"Kamu nampar aku, Pram."
"Maaf!!" Pram turun, berlutut di kakiku, memegang tanganku lembut.
"Aku capek!"
"Maaf, Kika, maaf."
"Kita pisah aja ya?" Kataku dengan nyali seadanya.
"Gak, gak bisa. Tadi kamu bilang kalau kamu sayang sama aku, gak, aku gak mau pisah."
"Aku capek, Pram. Kamu selalu begini, selalu curigaan, selalu kasar sama aku."
Pram bangkit, wajahnya kini setara denganku dan ia menatapku lembut, tatapannya teduh.
"Aku sayang sama kamu, Dwika. Aku gak mau putus, aku gak bisa hidup tanpa kamu."
"Tapi kamu udah sakitin aku, Pram, dan ini bukan yang pertama."
"Maaf, aku berubah, aku janji, demi kamu! Gak ada cewek yang seluar biasa kamu, Ka. Aku janji, aku bakal berubah, apapun, apapun aku lakuin, asal kita gak pisah."
Luluh, aku mengangguk lalu memeluknya.
Pram langsung membalas pelukanku, ia bahkan sedikit mendorong agar aku merebah.
Menciumi wajahku, Pram membuka begitu saja blouse yang aku kenakan ini, melemparnya sembarang ke lantai.
Membalas perlakuannya, aku melepas kaus dari badannya dan kami pun saling melucuti pakaian masing-masing.
Pram bermain di bawahku, membuat aku memejamkan mata saking menikmati aksinya tersebut.
Enggan diborgol, alih-alih menarik rambutnya, aku menarik bantal di dekat kepalaku lalu menutup wajahku untuk meredam suara-suara yang kukeluarkan.
Pram menggunakan jarinya, lidahnya bahkan ujung hidungnya, membuatku kewalahan dengan perlakuannya itu.
"Gossh, sayang, terusin." Pintaku sambil terengah.
Ia menuruti permintaanku, memainkan jarinya lebih cepat di bawah sana dan dalam hitungan detik saja, aku merasa akan meledak.
"Ohhh gosssh!" Lenguhku sambil refleks menarik lengannya.
O... oww!!
Posisinya tiba-tiba berubah, wajahnya langsung berada di depan wajahku, terlihat marah.
"Kamu tau, aku gak suka dipegang."
"Maaf!" Kataku.
Pram membalik tubuhku, ia bahkan menampar bokongku sebelum memasukan miliknya, membuatku tersedak sedikit karena tanpa aba-aba.
Mood-ku langsung drop, aku sudah tidak menikmati karena ini merupakan posisi yang kubenci.
Aku bertahan seadanya, ketika mendengar Pram melenguh dan terasa kedutan miliknya di dalamku, aku langsung menarik diri.
"Kamu tau aku gak suka posisi itu!" Seruku.
"Itu hukuman buat kamu," balasnya cuek lalu berjalan ke kamar mandi.
Aku mengenakan kembali pakaianku, merapikan rambut, lalu cepat menghabiskan sarapan.
"Semalem aku transfer uang, buat beli obat Ayah." Kata Pram ketika ia keluar dari kamar mandi, mood-nya mungkin sudah kembali biasa.
"Oke!"
"Oke apa?"
"Oke, makasih Pram!" Aku menambahkan jawaban.
"Gitu, harus yang sopan. Kamu tuh cewek baik-baik, cewek kebanggaan aku!"
"Aku pergi, mau cari berita."
"Okee, hati-hati sayangku!" Pram mendekat, ia memelukku singkat lalu mengecup pelipisku.
"Siap."
"Semangat Dwika sayang."
*******
Aku menarik napas panjang sebelum masuk ke kawasan penjara kecil yang ada di tengah kota ini.
Ya, Bogor, berbeda dengan tempat lain yang penjaranya di tempat terpencil, kota ini malah memiliki penjara di tengah kota, berseberangan dengan Stasiun kota. Dan, kenapa pula Satrio ditahan di sini?? Harusnya ia dijauhkan dari pusat kota.
Menemui penjaga, aku mengutarakan niatku untuk bertemu dengan Satrio Pamungkas.
"Sudah ada janji sebelumnya?"
"Janji??" Aku balik bertanya, bingung.
"Saya tanya dulu kepada Sipir dalam, biasanya Mas Satrio tidak bisa dijenguk sembarangan orang."
"Oh begitu, baik Pak saya tunggu." Kataku.
Penjaga ini tidak langsung pergi, ia meminta data-dataku dulu, seperti nama, tujuan mengunjungi, dan lain sebagainya.
Selang lima belas menit, penjaga tadi datang, sambil tersenyum.
"Gimana Pak?" Tanyaku bersemangat.
"Bisa, Mbak. Tapi gak boleh bawa alat elektronik ya?"
"Oh ya, HP sama kamera saya tinggal, tapi kalau recorder boleh?"
"Maaf, itu juga ditinggal saja." Aku menelan ludah mendengar hal itu. Ini benar-benar menguji. Aku harus menulis cepat, mempertajam pendengaran dan memperluas daya ingatku.
"Oke, Pak!"
"Silahkan, barang-barangnya yang ditinggal dimasukkan loker, buku dan pulpennya boleh dibawa."
Aku mengangguk.
Penjaga ini membawaku ke bagian dalam penjara. Suasananya sangat berbeda kalau dibanding keramaian di luar. Di sini sepi, hanya ada beberapa orang yang berlalu-lalang. Selebihnya? Mungkin para tahanan sedang mengerjakan tugasnya? Aku gak tau.
Aku dibawa ke sebuah ruangan, dan saat memasukinya, jantungku sempat berhenti sesaat.
Satrio Pamungkas ada di sana, duduk santai bersandar pada kursinya, dan ketika aku masuk, ia memamerkan senyum lebar.
Dan entah kenapa, aku merasa orang ini amat sangat menarik.
*****
TBC