"Emang kalian beda berapa tahun?"
"Nggak tau, Sya. Kayaknya dokter Dimas belum ada tiga puluh."
"Berarti mentok-mentoknya jarak umur kalian sebelas tahun, kan? Sebelas tahun sih masih wajar, Nay. Belum ketuaan."
"Lisya, aku cuma diantar pulang sama dokter Dimas, bukan pacaran. Jadi plis enyahkan pikiran-pikiran buruk kamu."
Lisya memutar bola mata malas. "Apa salahnya sih coba dulu? Kalau aku bisa sih udah aku pacarin."
"Ya udah sana pacarin."
"Masalahnya dokter Dimas tuh kelihatan banget tertariknya sama kamu."
"Masa?"
"Tuh kan nggak percaya." Lisya melipat tangannya di d**a. Lisya mendadak menyuruh Naya dengan dokter Dimas karena belum tahu saja apa yang terjadi tadi malam antara Naya dengan Dean.
"Eh itu Farah bukan, sih?" Lisya menunjuk seorang perempuan yang tengah berjalan menuju restoran susyi.
Naya dan Lisya kini ada di pusat perbelanjaan. Mereka memang tidak berangkat bersama Farah karena cewek itu ingin menjenguk ibu Rio terlebih dahulu.
"Ditungguin dari tadi taunya udah di sini. Kitanya kelaperan, eh dia malah makan susyi," gerutu Lisya.
"Tuh anak pasti bohong biar bisa jalan sama Rio dulu. Nggak tahu ya cacing di perut kita udah marah-marah? Bentar, deh."
"Kamu mau kemana?" tanya Lisya ketika Naya berjalan masuk ke restoran sushi tadi. Mau tidak mau Lisya mengekor di belakangnya.
Kebetulan sekali, Farah sedang berdiri di dekat salah satu meja, jadi Naya tak perlu repot-repot mencarinya.
"Heh!" Naya menepuk lengan Farah. "Ditungguin dari tadi malah enak-enakan di sini. Tau nggak aku sama Lisya itu udah kelaperan gara-gara nungguin kamu."
Farah hanya terbengong mendengar omelan Naya.
"Kok diem aja, sih? Kenapa? Kamu di sini mau makan sama Rio, ya?"
"Nay." Seseorang memegang lengan Naya.
"Apa, sih? Bentar, dong! Aku lagi marahin Farah, nih!"
"Nay aku Farah!"
Naya menoleh. Jantungnya hampir copot saat melihat Farah sedang memegang lengannya, sementara Lisya di belakangnya berusaha menutupi wajah dengan telapak tangan.
"Saya Farha," ujar kembaran Farah yang tadi Naya kata-katai. Naya rasanya mau pura-pura pingsan saja, apalagi saat dia sadar orang-orang di meja panjang sebelah Farha tengah menatapnya. Tanpa sengaja, netra Naya bertemu dengan netra seseorang di ujung yang menatapnya tajam. Seseorang yang semalam mengantar Naya mengambil motor.
"Jadi kamu bukan Farah?" tanya Naya retoris.
"Ya bukanlah!" Farah segera menyeret Naya agar keluar dari restoran itu.
"Lo malu-maluin banget, sih!" omel Farah ketika mereka berada di depan lift yang cukup sepi.
"Ya maaf, aku kan nggak tahu. Muka kalian tuh mirip banget, badannya juga sama."
"Kamu kan tau tadi aku ke kampus pakai baju apa. Baju kita beda, Nay."
"Aku kira kamu ganti baju. Habis kamu dihubungin nggak bisa, jadinya kan aku langsung suuzon."
"Ck! Kamu juga!" Farah menunjuk ke Lisya. "Naya kok nggak dicegat? Coba aku nggak lihat, semalu apa kalian?"
"Ya maaf, Rah. Kita ngaku salah, tapi kan kita juga belum pernah ketemu Farha, makanya kita kira dia itu kamu.
"Besok-besok jangan berburuk sangka dulu sama aku, gini kan jadinya."
***
Naya baru sampai kost-kostan pukul delapan malam. Tampak Bagus, Sania, bahkan Dean sedang berkumpul di meja makan. Sepertinya meja makan dari kayu jati itu punya magnet khusus hingga semua senang berada di sana.
"Hai semuanya," sapa Naya.
"Hai Naya," balas semua orang di meja makan kecuali Dean. Lelaki itu hanya melirik Naya dan memberi senyuman miring.
"Mbak Dian, ya?" Naya menatap seorang perempuan yang duduk di sebelah Bagus. Mereka sudah sering mengobrol via chat.
"Ya ampun Nay, kamu lebih lucu aslinya daripada foto," puji Dian setelah melepas pelukannya dengan Naya.
Naya tersenyum tipis. "Mbak Dian tuh orang ke-seribu yang bilang kayak gitu. Emang aku selucu itu?"
"Iyalah, nih, pipinya tembem terus punya gigi kelinci gitu. Kamu lucu banget sampai pengin aku masukin saku."
"Ya tapi sekali-kali ada dong yang bilang aku cantik," protes Naya.
"Cantik." Suara berat dari Dean membuatnya jadi pusat perhatian. Dian bahkan sampai mengerutkan kening. Ini serius seorang Dean memuji Naya? Naya baru ingin tersenyum malu jika Dean tak melanjutkan perkataannya. "Tapi malu-maluin."
Naya menutup wajahnya dengan telapak tangan, berusaha agar tidak melihat tatapan penuh curiga yang tertuju padanya.
"Aku mau ke kamar dulu, deh!" seru Naya sebelum bergerak cepat masuk ke kamar. Begitu pintu tertutup, dia langsung mengetuk kepalanya berkali-kali. Bisa-bisanya dia lupa jika Dean turut menjadi saksi dalam kejadian memalukan tadi sore.
***
Minggu pagi begini paling pas untuk mencuci baju. Naya sudah dari tadi duduk di dekat mesin cuci. Selain baju-baju, dia juga mencuci sprei dan selimut, serta mukenah. Kost-kostan ini memang menyediakan mesin cuci bagi penghuni kost, jadi siapa pun yang ingin mencuci tinggal beli sabun saja.
Di antara penghuni kost di sini, hanya Naya dan Dean yang rajin memakai mesin cuci. Bagus dan Sania lebih senang menggunakan jasa laundry. Dian pun tampaknya tak bisa repot-repot mencuci sendiri.
"Nay, udah putaran ke berapa?"
Naya yang sedang menunggu mesin cuci sambil membaca menoleh, mendapati Sania yang menyembulkan kepalanya dari balik pintu.
"Putaran pertama, Mbak."
"Kalau gitu titip, ya? Cuma dua kaos, kok." Sania mendekati Naya dengan menenteng tas belanjaan.
"Masukin aja, Mbak."
"Oke, makasih ya," ujar Sania setelah dua kaos yang baru dibelinya semalam masuk ke mesin cuci.
Setelah mengganti air untuk kedua kali, Naya beralih ke dapur. Dia tinggal menunggu satu putaran sebelum mengeringkan dan menjemur. Pagi ini dia ingin minum teh hijau. Yah, hari-hari Naya memang penuh dengan kafein.
Naya mengangguk kecil saat melihat Dean yang membaca buku dengan bersandar di kitchen island. Naya menggigit bibir saat terbayang kejadian kemarin. Tak terhitung berapa kali dia mempermalukan diri di depan Dean.
Jadi demi menghindari tatapan Dean, Naya yang berdiri di sebelah kompor langsung menundukkan kepala. Tapi sepertinya itu akan menjadi hal paling salah yang ia lakukan pagi ini. Dalam posisinya itu, Naya bisa melihat dengan jelas bagian bawah tubuh Dean yang bersandar di kitchen island. Termasuk... Sesuatu yang menonjol di antara pahanya.
Naya melebarkan mata. Naya tidak sepolos itu untuk tidak tahu apa yang dia lihat. Posisi Dean dan celana berbahan kaos yang ia kenakan membuat sesuatu di bawah sana semakin jelas.
Morning wood atau istilah medisnya sih nocturnal penile tumescence (NTP). Adalah ereksi pada pria di pagi hari karena efek dari masa Rapid Eye Movement (REM). Naya ingat salah satu dosennya pernah menyinggung soal ini. Kondisi ini normal, malah terhitung tidak normal jika seorang lelaki tidak mengalami morning wood.
"Kenapa?" tanya Dean. Naya langsung mendongak, membuatnya melihat Dean yang menatapnya dengan dahi berkerut.
"Nggak, Mas. Aku mau... Mau... Mau bikin teh. Mas Dean rebus airnya banyak, kan?"
Mendapat anggukan Dean, Naya langsung bergerak mengambil gelas dan mengisinya dengan teh hijau. Dia melakukan dengan cepat dan tanpa menoleh-noleh ke Dean.
"Nanti kalau udah panas kasih tau, ya. Aku mau ngurus cucian dulu."
Bergegas ke tempat mencuci adalah pilihan Naya selanjutnya. Awalnya dia melakukan itu agar tidak terbayang apa yang dilihatnya tadi. Tangan Naya bergerak memindahkan cucian ke tabung yang lebih kecil untuk mengeringkan.
Semakin ingin dilupakan semakin ingat. Itu yang dialami Naya sekarang. Tiap cucian yang dipindahkannya mengingatkan pada apa yang tadi dia lihat. Naya sadar dia memang tidak sepolos itu, namun mengingat hal tadi cukup membuatnya menggigit bibir.
Setelah semua pakaian kering, Naya memindahkannya lagi ke keranjang. Dia harus membawa pakain-pakaian ini ke tempat menjemur di samping rumah, yang artinya dia harus melewati dapur. Naya mengamati sekitar dulu, jika ada Dean, dia akan berjalan dengan menunduk. Bagus! Batin Naya saat sosok Dean sudah tak ada di dapur.
Naya berjalan pelan menuju tempat menjemur. Bibirnya tersenyum melihat gelasnya telah berisi air yang kini mulai berubah warna, pasti Dean yang mengisikan. Menyadari hal itu Naya langsung balik badan, takut Dean tiba-tiba muncul. Naya berjalan mundur ke tempat cucian agar bisa melihat jika Dean tiba-tiba datang dari arah ruang makan.
Dug!
Naya terperanjat saat tubuh bagian belakangnya menabrak sesuatu. Naya melotot ketika merasakan sesuatu yang keras di bagian pinggangnya. Dengan mata terpejam, Naya membalik badan perlahan.
Semoga bukan dia, semoga bukan dia, batin Naya. Tapi hari ini dewi fortuna sedang tidak memihaknya.
"Maaf, Mas." Naya meringis, dipeluknya keranjang cucian dengan erat.
"Sakit?" tanya Dean.
"Gimana?"
"Kamu sampai meringis gitu. Sakit?"
"Nggak, cuma...," Naya menelan ludah. "your morningwood, tadi kena," lanjutnya.
Dean yang mendengar itu mendadak merasakan panas di pipinya. Dia menggigit bibir, lalu tangannya disilang di bagian depan tubuh.
"Maaf."
"Eh, nggak apa-apa, tadi cuma... Itu.. Aku... Aku jemur baju dulu." Naya dengan gerakan secepat kilat berlalu menuju tempat menjemur.
Dean masih mematung di tempatnya. Tadi dia sedang menjemur bantal di tempat jemuran. Saat kembali ke dapur, dia mendapati Naya berjalan mundur dengan kepala bergerak seperti mengawasi sesuatu. Lalu saat Naya menabraknya, Dean sampai menahan nafas.
Dean memang jarang menuntaskan ereksi paginya itu. Biasanya dia biarkan sampai berhenti sendiri. Tapi Naya kan tidak harus berterus terang seperti tadi. Lihat saja efeknya! Dean yang biasanya memasang ekspresi datar jadi menggigit bibir karena malu.
"Aw! Mas Dean gigit bibir kenapa, nih? Telinganya merah, lagi," goda Dian yang baru keluar dari kamar. Dean tak menghiraukan, hanya berdecak kesal dan langsung masuk ke kamar.
Dia pikir hari ini dia akan melihat wajah malu Naya seharian. Tapi siapa sangka, malah dia sendiri yang dibuat malu.