Tentang Superhero

1241 Words
Hari ini adalah hari pertama Ami sebagai murid baru di SMA Cendekia. SMA yang terkenal elit, rata-rata anak orang kaya bersekolah di sana. Bahkan ada anak para pejabat, anak pengusaha dan anak artis. Ada dua jalur untuk bisa memasuki sekolah ini. Jika anak orang kaya, maka donatur dari orang tua yang mempermudah segalanya. Jika dari kalangan siswa berprestasi, baik akademik maupun non-akademik, maka langsung diterima tanpa tes apa pun dan sekolah akan memberikan beasiswa sampai jenjang perguruan tinggi. Tapi, siswa yang diterima terbatas, hanya tiga ratus saja, dan dari tiga ratus itu, Ami salah satunya. Jika kalian bertanya Ami jalur yang mana, tentu pilihan pertama jawabannya. Otak sebesar biji kacang Ami sangat mustahil masuk di kalangan siswa berprestasi, bahkan sampai lebaran komodo sekalipun. Saat ini, mereka tur keliling di SMA Cendekia. Ada dua orang anggota OSIS dalam satu jurusan yang memandu mereka, memperkenalkan ruangan-ruangan dan laboratorium-laboratorium apa saja yang ada di sekolah elit ini. Ami sampai terkagum-kagum. Fasilitas di sini sangat lengkap, ada kolam renang, ada lapangan basket, ada lapangan batminton dan lapangan voly, semua itu indoor. Sedangkan yang outdoor adalah lapangan futsal. Ada juga ruang penyiaran, ruang kesenian seperti teater dan musik. Tidak sia-sia daddy-nya mengeluarkan uang banyak demi memasukkan Ami ke SMA Cendekia. Setelah dua jam berkeliling, akhirnya para murid baru diperkenankan untuk beristirahat. Ami yang belum menemukan teman memutuskan menuju mading. Di sana sudah tertempel kertas yang berisi nama-nama dan kelas X berapa yang akan mereka masuki. Beruntung tidak terlalu banyak orang, sehingga Ami tidak perlu berdesak-desakkan untuk mencari namanya. Sekitar empat menit meneliti, akhirnya Ami menemukan namanya. Di situ tertulis nama lengkap Ami, tanggal lahir, nama orang tua dan ruangan berapa yang akan Ami tempati. “Lo X IPS 3 juga?” tanya seseorang di belakang Ami saat Ami akan menjauh. Mendengar ada yang mengajaknya bicara, Ami menoleh dan menemukan cewek yang memiliki tubuh langsing dan jauh lebih tinggi darinya. “Iya.” “Sama. Kalo gitu, kita bareng aja.” Dia mengulurkan tangan. “Kenalin, gue Nadira Maira Hadid.” Mata Ami seketika melotot dan langsung menyambutnya dengan antusias. “Kamu anak artis? Delano Hadid, kan?” “Yap.” “Amira Syahla Johnson, panggil saja Ami.” “Lo juga, anak J Group, kan?” Awalnya itu adalah perusahaan kakek yang diserahkan sepenuhnya pada daddy. Daddy juga mengganti nama perusahaan tersebut dengan nama J Group atau Johnson Group. “Iya, itu perusahaan daddy.” “Oke, Ami, sekarang kita ke kelas dulu. Gue capek dan lapar.” “Iya, Dira. Eh, Ami manggil kamu Dira aja, ya? Soalnya kepanjangan kalau Nadira.” “Tentu saja,” jawab Nadira. Mereka berdua menyusuri koridor dan melihat-lihat papan nama kelas yang mereka lewati. Ternyata kelas IPS berada di paling akhir gedung. Karena jurusan utama di sekolah ini adalah IPA yang menempati gedung utama, yang kedua adalah IPB yang menempati gedung kedua dan yang ke tiga adalah IPS yang menempati gedung terakhir. Satu gedung terdiri delapan belas ruangan dan tiga lantai. Masing-masing kelas ada lima ruangan untuk kelas X, lima ruangan untuk kelas XI, dan lima ruangan untuk kelas XII. Juga difasilitasi dengan adanya satu perpustakaan. Itu untuk memudahkan para siswa yang berada di lantai tiga atau dua jika ingin meminjam buku, mereka tidak perlu capek untuk turun tangga. Kelas X IPS 3 diapit oleh kelas X IPS 2 dan X IPS 4. Ami dan Nadira masuk ke dalam ruangan yang masih kosong itu dan memilih tempat duduk sesuka hati. Kompak mereka berdua memilih bangku paling pojok di bagian tengah. Setelah menaruh tas, mereka berdua memutuskan untuk ke kantin. Kantin di SMA Cendekia pun khusus, masing-masing jurusan sudah disediakan kantin dan koperasi. Ami memilih makan sandwich sedangkan Nadira memilih makan salad. “Dira, apa bisa kenyang makan itu?” tanya Ami ketika mereka sudah duduk. Nadira tertawa mendengar pertanyaan Ami. “Tentu saja, kadang juga gue nggak abis.” “Beneran? Kalo Ami nggak akan cukup segitu.” “Kan beda, gue harus jaga penampilan, jaga bentuk tubuh. Jadi, harus memperhatikan pola makan.” Sambil menggigit sandwich, Ami mengangguk-anggukan kepalanya. Terdengar derai tawa dari arah pintu membuat Ami mengalihkan pandangannya. Hampir saja sandwich yang ada di dalam mulut Ami, Ami semburkan saat melihat wajah tidak asing. Cepat-cepat Ami meminum jus mangganya lalu berdiri. “Ngapa–” “Superhero!” Nadira melotot horor menatap Ami. Bukan hanya dirinya saja, tapi satu kantin menatap Ami dengan tatapan bingung dan bertanya-tanya. “Tuh bener, kan? Kamu Superhero?!” Ami memekik antusias. Dengan cepat Ami mendekati cowok yang dipanggilnya superhero. “Masih ingat Ami?” Kening Superhero mengernyit. “Siapa lo?” “Ini Ami yang Superhero tolong waktu itu.” “Oh, gue baru ingat. Si Mungil yang ngasih uang tiga puluh ribu itu, kan?” “Iya.” Mata Ami berbinar mengetahui Superhero mengingatnya. “Jadi, siapa nama kamu? Ami mau tau?” “Uang dua jutanya sudah ada?” Melihat dari ekpresi Ami, Superhero sudah dapat menebaknya. Dia menepuk puncak kepala Ami dua kali. “Sayangnya, kali ini juga tidak bisa.” Lagi-lagi Ami hanya bisa memandangi punggung yang berlalu begitu saja di sampingnya. Kalau Ami tau akan satu sekolah dengan superhero, Ami bertekad akan membongkar celengannya. “Dek, jangan mau ditipu sama dia.” Merasa ada yang mengajak berbicara, Ami kembali mendongak. Matanya mengerjap lambat, cowok di depannya ini juga ganteng tapi masih gantengan superhero. “Kenapa, Kak?” “Dia itu tukang porotin uang.” “Tapi, Ami pengen tau namanya. Dia sudah nolongin Ami.” “Begini saja, kalau kamu ingin tau tentang dia, tanyakan saja pada Kakak.” “Bolehkah?” “Tentu saja boleh. Tapi untuk sekarang tidak bisa dulu.” “Kenapa, Kak?” “Kakak lapar, mau makan.” “Ah ...” Ami langsung menepuk jidatnya. Ami juga belum selesai makan. “Kalau gitu nanti Ami ketemu sama Kakak.” Segera Ami menjauh. Tapi, belum ada beberapa langkah, Ami menoleh lagi. “Nama Kakak siapa? Kelas berapa?” “Immanuel Ace, kelas XII IPS 1.” “Oke.” Ami berbalik dan bersenandung kecil karena senang, Amo bahkan tidak sadar kalau masih jadi bahan perhatian orang-orang. Kalau Ami sadar pun apa Ami akan mengerti? Tentu saja jawabannya tidak! Otak Ami tidak akan sampai berpikir kalau orang-orang yang menatapnya itu adalah orang yang penasaran sekaligus mencibir, mengatakan kalau Ami kecentilan. Baru saja satu hari jadi murid SMA Cendekia, sudah berani-beraninya menyapa dua most wanted sekaligus. *** Seperti janjinya dengan Ace, jam istirahat kedua Ami gunakan untuk menemui kakak kelasnya itu. Kebetulan saat di ujung tangga lantai tiga, Ami berpapasan dengan rombongan Ace. Di sana juga ada superhero dan satu cowok yang tidak Ami tahu. “Kak Ace, bisa sekarang?” Ami menatap ketiga orang itu satu persatu. Ketika berhenti di depan superhero, Ami memandangi sedikit lama dan tersenyum sumringah. “Tentu, sekarang langsung ke perpustakaan kelas XII saja.” Ace menepuk kedua punggung sahabatnya. “Kalian duluan, nanti gue nyusul.” Dua orang itu berlalu di samping Ami. Bahkan superhero tanpa melirik padanya, itu membuat Ami menunduk. Entah kenapa, Ami tidak suka diabaikan oleh superhero. “Jadi?” Ami tersentak saat Ace menyentuh bahunya. “Ja-jadi, Kak.” “Ikut Kakak.” Mereka menaiki satu anak tangga terakhir. Menyusuri koridor lantai tiga dan berbelok memasuki ruangan dipenuhi buku, atau yang biasa di sebut perpustakaan. Ace mengambil tempat duduk paling pojok agar pembicaraan mereka tidak mengganggu siswa/siswi lain yang sedang belajar. Baru saja mendaratkan b****g, Ace diberondongi dengan pertanyaan-pertanyaan, “Namanya siapa, Kak? Apa dia satu kelas sama Kakak? Apa dia juga sudah punya pacar?” Seketika Ace terkekeh geli melihat gadis di depannya ini. “Kakak jawab, ya?” Ami mengangguk cepat. “Namanya Abiandra Putra, satu kelas sama Kakak. Untuk pacar, kayaknya sudah. Oh satu lagi, Abi suka wanita dewasa, bukan yang mungil seperti kamu.” Mendengar itu, Ami langsung murung. “Gitu, ya?” “Jangan tertarik sama dia. Kalau istilah untuk cewek, dia itu matre banget. Pasti kamu dengan mudah dimanfaatkan.” Entah kenapa, Ami tidak suka mendengar pernyataan Ace. “Kenapa Kakak menjelek-jelekkan teman Kakak?” “Bukan menjelek-jelekkan, tapi lebih menyarankan untuk hati-hati saja. Apalagi yang polos seperti kamu, mudah sekali ditipu.” “Tapi kalau Ami nggak masalah, bagaimana?” “Berarti kamu bodoh!” “Kakak adalah orang ke sepuluh yang bilang Ami bodoh.” Tawa Ace lepas begitu saja. Tiba-tiba dia merasa tertarik dengan gadis mungil di hadapannya ini. Wajah polosnya saat mengatakan bodoh itu terlihat menggemaskan sekali. “Nama kamu Ami, kan?” “Iya, Kak. Ada apa?” “Tidak ada.” Ace tersenyum sambil memandangi Ami. Menarik juga! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD