Brak ...
Suara hempasan tas ke meja kayu terdengar cukup keras mengejutkan Marni.
“Sialan!”
“b******k!”
Pekikan dan juga kata-kata tak pantas yang terdengar dari ruang tamu, membuatnya yang sedang menghitung uang ratusan juta dari anak tirinya itu sontak bergegas meraup uang yang belum terhitung itu sekaligus dan menutupinya dengan selimut. Dia merapikan daster merah yang dia kenakan dan keluar dari kamar.
“Kenapa sih kamu, Bella?!” tangannya menggulung rambut panjang itu dengan cepat menghampiri putri kesayangannya yang sedang menggeram, berteriak seperti orang kesetanan.
“b*****t!” Teriak Bella dengan wajah memerah, menggeram menarik rambut berhighligt pink miliknya seperti orang kesetanan. “Kamu kenapa?”
Marni berdiri di depan putri kesayangannya itu, menarik tangan Bella agar tidak menyakiti dirinya sendiri, “Ngomong sama Mama, kenapa kamu marah-marah gini?!”
Bella menghentikan geramannya, napasnya naik turun menandakan amarahnya yang tak terbendung, matanya melirik mengelilingi setiap sudut rumahnya, mencari keberadaan ayahnya. Begitu dia tak menemukan beliau, sontak dia menatap Mamanya dengan tatapan berapi. “ANAK SIALAN ITU?” geramnya dengan d**a yang naik turun. Amarahnya tak terbendung saat anak sialan yang dirawat oleh mamanya itu berani melawannya di depan banyak orang dan mempermalukannya seperti tadi.
“Anak sialan?!” tanya Marni tak mengerti maksud putrinya.
“Iya, Anak sialan itu!”
“Owh .... kenapa memang dengan dia?” tanya Marni melepaskan tangan putrinya. Lalu menatap, Bella dengan tatapan biasa saja seolah kini tak terpengaruh dengan putri sialannya yang setidaknya setelah memberikan uang 200 juta itu, dia bisa sedikit berguna dan membalas budi atas kebaikannya merawat anak sialan itu dari bayi.
“Mama seharusnya tahu bagaimana dia mempermalukan aku di depan semua orang?!”
“Apa?!” Amarah Marni tak dapat terbendung saat melihat wajah sedih putrinya. Dia berkacak pinggang dengan pupil mata yang melebar.
“Seharusnya Mama lihat bagaimana sikap kurang ajarnya dia di kampus tadi. Sok banget, Sumpah. Mentang-mentang dia sudah ngasih uang itu,” rengek Bella kepada Mamanya. “Dia berani melawan aku dan mempermalukanku di depan Randi.”
“Apa?! Di depan Randi?!” pekik Marni tak dapat menahan amarahnya. “DASAR ANAK KURANG AJAR! NGGAK TAHU DI UNTUNG!”
“benerkan?!” ujar Bella kembali mengompori, Dia mendengus, kemudian menggeram kesal mengingat bagaimana kelakuan Aruna yang mempermalukannya di depan Randi, pacar kayanya.
Randi Baskoro, orang yang dia pacari selama 2 tahun terakhir itu adalah anak salah satu direksi di Edzard corp. Perusahaan nomor 1 di Indonesia dengan banyak bisnis yang mereka ekspansi baik di dalam atau luar negeri. Berbulan-bulan, dia menciptakan image baik di depan pria itu agar bisa menjadi kekasihnya, dan sekarang imagenya berubah karena sikap kurang ajar yang Aruna perlihatkan tadi.
Tangan Bella mengepal, memperlihatkan buku-buku jari. Rasanya tadi, dia ingin menghajar gadis sialan itu habis-habisan atas sikapnya tadi tapi, mengingat bahwa mereka berada di lingkungan kampus dan Randi yang memperhatikan membuatnya menahan perlakuan kakak tiri sialannya itu.
Bella melirik ke kanan dan kiri berharap Ayahnya tak ada di rumah, “Ayah belum pulang,” ujar Marni menyadari tatapan putrinya. Bella sontak menarik tangan Mamanya agar duduk di sofa yang ada di ruang tamu kecil rumah mereka.
“Kenapa sih?” ujar Marni saat anaknya itu duduk berdempetan dengannya lalu mencondongkan tubuh ke arah telinganya. “Menurut Mama, si anak sialan itu kerja di mana sampai bisa dapat duit sebanyak itu dalam sehari?”
“Bukannya kata dia, itu uang dipinjamkan oleh Bosnya?”
“Mama percaya begitu saja,” Bella menepuk pelan tangan Mamanya, membuat Beliau sontak terdiam dan memikirkannya sejenak lalu menggeleng.
“Tuh kan. Mama juga enggak percaya. Mana mungkin ada bos yang ngasih pinjaman duit sebesar itu padahal dia baru bekerja.”
“terus?”
Bella semakin mendekatkan wajahnya ke telinga mamanya, “Aku yakin anak sialan itu jual diri atau jadi simpanan Om-om tua bangka,” kata Bella mulai mengucapkan kecurigaannya. “Mama rela ngelihat dia bahagia bergelimpangan harta sementara kita Cuma dapat 200 juta?”
Mendengar ucapan putrinya, membuat Marni kembali berpikir. Pandangannya beralih ke arah pintu kamar di mana di atas ranjangnya penuh dengan uang 200 juta yang dilemparkan oleh Aruna beberapa hari yang lalu.
“Seharusnya mama bisa dapat lebih dari itu kan atas jasa mama merawat anak sialan itu,” bisik Bella menaikkan sebelah alisnya, mencoba untuk mempengaruhi mamanya agar meminta lebih dari Aruna. Tak rela melihat kakak tirinya itu hidup bahagia dan lepas tanggung jawab dari membiayai hidupnya dan keluarganya.
“Jadi menurut kamu, apa yang harus kita lakukan?”
Bella tersenyum penuh kemenangan, melihat Mamanya terpengaruh dengan hasutannya. Tubuhnya semakin merapat sebelum kemudian membisikan rencananya untuk kembali menghancurkan hidup kakak tiri sialannya itu.
“Bagus kan rencana aku?” tanya Bella menatap mamanya dengan penuh binar begitu mamanya memperlihatkan senyuman licik yang sama.
***
Derap langkah Aruna menggema ke seluruh ruangan begitu di keluar dari mobil yang menjemputnya kuliah tadi. Wajahnya dipenuhi senyuman cerah begitu Pak Amri -sopir yang menjemputnya tadi mengatakan bahwa Om Jayden baru saja pulang ke The Mansion. Debaran jantungnya berdetak cepat, rasanya tak sabar untuk menghampiri Om Jayden dan menceritakan apa saja yang terjadi di kampusnya tadi.
Langkah riangnya sontak berhenti saat di depan tangga dia melihat Pak Rudi berdiri di sana, bingung dengan dirinya yang terlihat berapi-api, sementara Aruna menundukkan badan, dengan tangan yang ada di pinggang berusaha mengatur napasnya yang ngos-ngosan karena terus berlari dari pintu depan hingga tengah rumah yang lumayan jauh.
“Pak Rudi, Om Jayden di mana?” tanya Aruna penuh semangat.
Pak Rudi yang awalnya bingung perlahan terkekeh melihat tingkahnya, namun dengan cepat dia kembali memperlihatkan wajah datar dan profesionalnya. Tubuhnya kembali tegap seperti tiang yang tak tergoyahkan, lalu tangannya menggenggam di depan mulut dan berdeham, “Ada di ruang kerjanya, No...” belum sempat beliau menyelesaikan ucapannya Aruna sudah terlebih dahulu berlari menyusuri lorong menuju ke ruang kerja milik Om Jayden.
Begitu berada di pintu putih dengan ornamen garis melingkar di pinggirannya, Aruna menghentikan langkahnya, menatap pintu itu dengan senyuman cerahnya, mengatur napasnya yang terengah. Sebelum kemudian mendorong pintu itu. “Om JAYDEN?!” pekiknya kegirangan masuk dengan sedikit terburu.
Senyumannya menjadi semakin cerah begitu melihat pria dewasa tampan yang tengah sibuk dengan berkas-berkas di depannya itu mengalihkan perhatian begitu mendengar suaranya. Keningnya yang awalnya berkerut -pusing membaca banyak laporan, kini terlihat terkekeh begitu melihat Aruna berlari menyongsong dirinya.
“Wow ... Wow ... call down, Miss,” ujarnya geli melihat tingkah Aruna yang kini berdiri di depannya di batasi oleh meja kerja.
Napas gadis itu terengah dengan bulir keringat yang membasahi wajahnya, namun senyuman cerahnya sama sekali tak berubah. Jayden meletakkan berkas yang memusingkan itu ke meja lalu mendorong tubuhnya ke sandaran kursi memperhatikan tingkah gadis muda yang akan menjadi istrinya itu.
“Om seharusnya lihat bagaimana akhirnya aku bisa kembali melawan adik tiri menyebalkan itu,” ujar Aruna dengan senyuman bangga.
Jayden menggelengkan kepalanya, tahu bagaimana gadis periang itu menahan diri selama ini untuk tidak melawan tindakan semena-mena yang dilakukan oleh keluarganya, terutama adik tirinya. “Jadi kau berhasil?”
Aruna mengangguk cepat, “Aku bahkan bisa membalas semua perkataannya,” ujarnya bangga.
“Good job. Sudah seharusnya kamu melawan mereka,” kata Jayden menatapnya. “Kau senang?”
“Banget!” pekiknya kegirangan melompat-lompat kecil membayangkan bagaimana wajah merah menahan malu di wajah Bella tadi.
Melihat senyuman yang diperlihatkan gadis kecil itu, sudut bibir Jayden terangkat sedikit. Tak menyangka tindakan kecil yang berhasil dia lakukan membuatnya menjadi begitu kegirangan seperti ini. Gadis kecil itu akan menjadi istrinya sebentar lagi, dan dia tak ingin gadis di depannya ini terlihat lemah, melihat bagaimana dia akhirnya bisa melawan orang-orang yang selalu memperlakukannya dengan tak baik entah mengapa membuat Jayden merasa bangga.
“Aku senang kau akhirnya bisa melawan mereka. ini adalah hal yang seharusnya kamu lakukan dari dulu.”
Aruna mengangguk, tubuhnya kemudian bergerak semakin maju ke depan meja kerja Jayden, memiringkan kepalanya menatap pria itu dengan tatapan berkaca. “Om tahu, begitu bertemu dengan Om. Kepercayaan diriku melonjak tajam. Rasanya sekarang aku punya backingan yang akan menolongku jika ada yang memperlakukanku dengan semena-mena.”
Jayden menatapnya dengan tatapan lega, dia menganggukkan kepalanya pelan, “Kau akan menjadi istriku, jika aku tak memperlakukanmu dengan baik, siapa lagi yang akan melakukannya.”
Iris cokelat tua milik Jayden yang menatapnya dengan penuh kelembutan membuat wajah Aruna memerah seketika. Seumur hidupnya, tak ada orang yang menatapnya dengan begitu lembut seperti ini. Biasanya dia terus mendapatkan tatapan penuh kebencian, jijik dari keluarganya atau tatapan penuh cemoohan yang diberikan oleh orang di sekitarnya.
Hanya Jayden yang memberinya tatapan seperti itu dan entah mengapa membuat debaran jantungnya menggila.
“Aruna ....”
Suara bariton milik Om Jayden memanggil namanya yang menyapa pendengaran Aruna membuat telinganya memerah. Dia melihat Jayden yang sedikit mendorong tubuhnya, membuatnya sontak berlari ke arah pria itu dan meraih tangannya, membantu pria itu untuk berdiri.
“Terima kasih.”
Aruna mengangguk, menahan debaran jantungnya yang menggila begitu telapak tangan Jayden yang besar memegang lengannya. Dia dapat merasakan rasa hangat dari telapak tangan milik Jayden yang menyentuh lengannya menyebar hingga ke hati, memberikan efek aneh di perutnya seperti kupu-kupu yang beterbangan. Aroma Parfum super mahal yang menguar dari tubuhnya membuat tubuhnya terkesiap. Aroma itu bukanlah aroma yang membuat mual melainkan aroma memabukkan yang memberikan sensasi lain yang tak dapat Aruna tolak.
Jayden berjalan tertatih menuju ke dekat sofa, Aruna terus membantunya dengan perasaan khawatir. Tatapannya mengarah ke arah kaki kanan Jayden. Matanya berkaca, sedih melihat pria sebaik Om Jayden tak bisa berjalan dengan normal seperti orang-orang lainnya.
Aruna mengangkat kepalanya saat Om Jayden berhenti melangkah dan menarik tangannya, “Kenapa?” celetuknya bingung.
“Aku tak suka kau menatapku dengan kasihan.”
Aruna mendengus, kembali menarik tangan Om Jayden agar menggenggam tangannya, “Aku bukan kasihan, tapi peduli,” gumamnya dengan begitu jujur. “Sudah aku katakan kepada Om, hidupku saja perlu dikasihani jadi buat apa aku mengkasihani Om,”
“Peduli dan Kasihan itu sama.”
“Beda dong,” elak Aruna cepat. “Rasa kasihan itu datang dari penderitaan, sedangkan peduli itu berarti care dan menjaga agar tak ada lagi penderitaan.” Aruna memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya dan menatap wajah Jayden lekat. “Ehm .... tubuhku memang kecil, tapi aku berusaha untuk menjaga Om, seperti Om menjagaku seperti ini,” ujarnya dengan senyuman cerah. Sudut matanya menyipit menciptakan eye smile cantik yang membuat Jayden terdiam.
Dia menatap lekat gadis kecil itu, “Terima kasih karena memberiku kesempatan untuk lepas dari keluargaku dan membantuku meraih masa depan. Aku berjanji tak akan pernah mengkhianati Om dan membantu Om. Katakan saja apa yang perlu aku lakukan dan aku akan menurutinya,” katanya dengan penuh semangat.
Sudut bibir Jayden kembali terangkat begitu mendengar ucapan Aruna. Sejak bertemu dengan gadis ini, entah mengapa bibirnya selalu mudah untuk membentuk senyum. “Benarkah?” tanya Jayden dengan seringai.
Wajah ceria Aruna perlahan mulai mengeluarkan kerutan melihat seringai yang Jayden perlihatkan. “Kalau begitu ayo!”
“Ayo?!” tanyanya bingung.
Jayden mengangguk. “katanya kau akan menuruti semua ucapanku kan?” ulang Jayden dengan nada menggoda.
“Iya sih, Tapi ....”
“... tidak ada tapi. Ayo! Aku harus mengajakmu ke suatu tempat,” ujarnya dengan nada misterius sedikit menarik tangan Aruna agar berjalan di sampingnya.
“Kemana?” tanyanya bingung.
“Kau akan tahu. Ikut saja,” ujarnya lagi dengan nada yang tak dapat Aruna bantah.