lima

1241 Words
Bima memandang rumah megah di hadapannya, terlihat keramaian di sana. Bahkan, sebuah tenda besar sudah terpasang di halaman rumah itu. Pasti saat ini orang-orang itu tengah menyiapkan pesta pernikahan Temannya, Fano. Mengabaikannya, Bima lebih memilih untuk mulai melangkah memasuki halaman rumah temannya itu. Beberapa orang yang berpapasan dengannya tersenyum tipis, menyapanya. "Fano ada Tan?" Tanya Bima pada wanita paru baya yang Ia ingat adalah Ibu dari Fano. Wanita itu terlihat tengah berkerumun entah membahas apa bersama Ibu-ibu yang lain. Farah tersenyum melihat keberadaan Bima, "Fano ada, Dia ada di kamarnya," ujarnya menunjuk rumahnya, pertanda mempersilakan Bima untuk masuk. Bima mengangguk, tanpa kata lelaki itu memasuki rumah dengan nuansa putih itu. Memang sudah menjadi kebiasaan Bima dan teman-temannya yang lain jika rumah temannya dianggap rumah mereka sendiri. Selain itu, faktor orang tua yang memang saling mengenal karena sama-sama pebisnis membuat ikatan persahabatan mereka semakin kuat. Bima terperangah, saat masuk ke dalam rumah. Rumah itu sudah didekor sedemikian rupa juga banyak hiasan bunga. Sepertinya, temannya Fano benar-benar akan menikah. Mengabaikan itu, dan kembali teringat akan tujuannya datang kemari. Bima mulai melangkah menaiki undakan tangga untuk sampai di kamar temannya. Sampai di depan pintu bercat coklat, entah kenapa tiba-tiba saja Bima merasa ragu. Mungkinkah kali ini Fano akan memberitahunya tentang keberadaan Nila? Ini bukan kali pertama Bima menanyakan keberadaan Nila kepada Fano. Sudah berkali-kali Bima datang entah di rumah lelaki itu ataupun di kantornya. Tapi, tak pernah ada jawaban memuaskan yang Bima dapatkan. Bima mulai membuka pintu kamar itu secara perlahan. Pemandangan pertama yang Ia lihat adalah, temannya Fano yang berdiri menghadap jendela kamar. Memandang pada ramainya halaman rumahnya dalam mempersiapkan pesta pernikahannya. "Apa pertanyaan yang sama lagi?" Bima menatap punggung Fano yang sama sekali tak mau repot-repot membalikan tubuhnya. Lelaki itu berbicara dengan nada suara yang terdengar mengejek. "Fan, Gue mohon. Kasih tahu Gue, di mana Nila dan Anak Gue." Permohonan itulah yang selalu Bima ucapkan pada Fano. Berharap lelaki itu mengasihaninya dan sudi memberitahu tentang keberadaan Nila dan Anaknya. Fano membalikan tubuhnya, menatap wajah Bima yang menunjukan ekspresi permohonan. Bahkan, Fano dapat melihat jika temannya itu memang tak sedang baik-baik saja. Kantung mata yang menghitam, jambang tipis di dagunya juga badan yang terlihat kurus. Benar-benar bukan Bima yang dulu digilai oleh para wanita. "Bahkan kalaupun Lo tanya seribu kali, jawaban Gue bakal tetep sama." Ujar Fano dingin, jujur saja Ia lelah terus menerus ditanya tentang keberadaan Nila dan Buming. "Gue tahu Lo bohong," lirih Bima tak percaya. "Gue inget Lo yang waktu itu nganterin mereka, TERUS GIMANA BISA LO NGGAK TAHU DI MANA MEREKA?!" Teriak Bima, Lelaki itu kini benar-benar mulai kehilangan kontrolnya, Ia sudah lelah terus menerus ditipu. Ia butuh tahu keberadaan Nila dan Anaknya sekarang. "Ya, Gue emang yang nganter. Tapi Nila waktu itu minta buat Gue turunin Dia di pinggir jalan, setelahnya Gue nggak tahu di mana Mereka sekarang." Jelas Fano, hanya memandang bagaimana saat ini Bima bersimpuh di lantai menangis memohon kepadanya. "Gimana bisa... gimana bisa..." lirih Bima tak terima, menjambak rambutnya sendiri. "Cuman Lo harapan Gue," "Lo punya kekuasaan, kenapa Lo nggak ngegunain kekuasaan Lo. Seperti saat Lo meniduri Nila juga memaksa wanita itu untuk pindah ke kantor Lo," Ingat Fano tentang dosa yang dilakukan Bima. Bima memejamkan matanya erat-erat. Meresapi nyeri yang datang saat mendengar ucapan Temannya. "Lo bener," Bima mengangguk tak menyangkal. "Tapi mereka semua nggak becus! Mereka semua bodoh! Jadi Gue mohon Fan, cuman Lo harapan Gue satu-satunya." Lanjutnya memohon kembali. "Gue rasa nggak cuman Lo yang bakal gila, Guepun juga bakal gila kalau setiap hari harus ngadepin rengekan Lo yang kaya gini." Ujar Fano kesal sendiri. "Mending Lo balik, Lo usaha cari Nila sendiri. Gue udah nggak ada urusan lagi," ujar Fano pelan, lelaki itu kembali menghadap jendela kamarnya menatap kembali pada ramainya halaman rumahnya. Bima mengernyit mendengar itu. "Bukannya Lo yang dulu selalu peduli sama Nila, kenapa sekarang Lo kaya nggak peduli lagi?" Tanya Bima bingung, frustasi. Fano memejamkan matanya. "Karena dia milih Lo," lirihnya menahan sakit karena kembali teringat akan cintanya yang berakhir ditolak oleh Nila. "A--pa," tanya Bima dengan bibir bergetar. "Lo udah denger," tanpa kata Fano berbalik lalu berlalu melewati Bima, melangkah keluar dari kamarnya. "Bima, ada apa?" Suara lembut dari Ibu Fano menyadarkan Bima dari pemikirannya. Wanita paru baya itu masuk dengan kening berkerut, saat melihat bagaimana keadaan teman dari anaknya. "Tidak ada Tante," Lelaki itu dengan segera mengusap air mata yang keluar kemudian mulai bangkit berdiri. Tersenyum tipis pada Farah yang sudah Ia anggap sebagai Ibunya sendiri. "Saya permisi," ujarnya langsung berlalu pergi. "Ada apa sebenarnya?" Tanya Farah pada dirinya sendiri bingung, pasalnya ini bukan kali pertama Bima datang ke rumahnya dalam keadaan kacau. Sebelumnya, bahkan lelaki itu pernah jauh lebih menyedihkan. Apakah ada pertengkaran anatang Fano dan Bima? Ah, entahlah, batin Farah mulai lelah menebak. *** "Mama..." Nila menyambut kedatangan Anaknya yang merangsak ke arahnya. Bayi itu memanglah sedang sangat bersemangat untuk belajar berjalan. "Ya ampun, Anak Mama udah bisa jalan. Ih, gemes, gemes!" Ujar Nila gemas, menciumi perut Anaknya. Hingga bayi satu tahun itu tertawa gemlitik. "Akh... akh..." Gumam Buming menggeliat, tangan mungilnya berusaha menghentikan aksi Ibunya dengan menjambak pelan rambut wanita itu. Nila menghentikan aksinya saat Jingga datang dari arah kamarnya. Gadis itu ikut bergabung duduk di atas tikar bersama Kakak juga Keponakannya. Ia juga dengan segera menggendong Anak Kakaknya, tapi sepertinya bayi itu tak mau. Bayi laki-laki itu lebih memilih merangkak menuju di mana mainan mobil-mobilannya berada. "Masa Jingga tadi mimpi Ibu," ujar Gadis remaja itu, tersenyum ke arah Kakanya. Nila terperangah, "apa?" Tanyanya was-was. "Ibu bilang, Jingga disuruh jagain Mbak Nila sama Buming. Disuruh buat selalu bimbing Mbak Nila, aneh ya Mbak. Masa Jingga yang disuruh bimbing Mbak," kekeh Jingga, gadis itu memandang bagaimanan mata Kakaknya yang mulai berkaca-kaca. "Katanya Mbak Nila disuruh buat selalu bahagia. Ibu sayang, sayang Mbak Nila juga Buming." Lanjutnya. Nila yang mendengar itu, tentu tak bisa membendung air matanya untuk tak meluncur bebas. Ia peluk tubuh adiknya saling manyalurkan kekuatan. Rasanya sakit, sakit. "Mangkanya Mbak Nila jangan sedih-sedih ya? Jingga ikut sedih waktu liat Mbak Nila nangis di hari ulang tahun Buming." Ujar Jingga, apa kakaknya pikir waktu itu Ia tak melihat. Saat Kakaknya menangis memeluk Buming dan mengumpati Bima. "Mama..." seolah menyadari Ibunya sedang bersedih, Buming dengan segera melempar mainannya. Merangkak cepat ke arah Nila, sebelum kemudian menangis kencang dalam gendongan Ibunya. Hua... hua... "Stt... loh Anak Mama kenapa?" Nila bangkit berdiri, menepuk-nepuk p****t anaknya. Berharap bayi laki-laki itu mau berhenti menangis. "Aku bikinin s**u dulu Mbak," Jingga yang ikut bingung dengan segera berlari ke arah dapur. Nila hanya mengangguk, tak berapa lama Jingga kembali datang membawa botol s**u anaknya. Dengan segera Nila memberikan pada Anaknya. Pada awalnya bayi laki-laki itu menolak, tapi setelah sedikit Nila paksakan akhirnya bayi itu mau juga. "Kayanya Buming udah capek Mbak," ujar Jingga. Nila mengangguk setuju. Wanita itu usap kepala Anaknya yang berkeringat. "Mbak ke kamar dulu ya?" Ujarnya kemudian yang dibalas anggukan oleh Jingga. Sampai di kamar Nila memandang anaknya yang mulai tenang saat Ia rebahkan di kasur. Bayi itu kemudian mengusap salah satu sisi wajah Ibunya, seolah memberikan kekuatan. Nila mengangguk menahan air matanya agar tak tumpah, Ia mengerti maksud Anaknya. "Iya, Mama juga sayang Buming..." Namun pada akhirnya, pertahanan Nila runtuh juga. Ia menangis, menangis memeluk anaknya. Menumpahkan rasa sakit yang Ia rasakan pada bayi mungil yang hanya diam dengan memandang polos wajah Ibunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD