empat

1070 Words
"Iki piro?" (Ini berapa?) Budhe Ngatmi mengangkat seikat kacang panjang, pada si pedagang. "Kui rong ngewu setengah," (itu dua ribu setengah,) pedagang itu kirim. "Ah, larangmen. Rong ngewu yen iki, rong ngewu setengah seng adol yo lagi koe." (Ah, mahal banget. Dua ribu kalau ini, Dua ribu lima ratus lagi kamu yang jual.) Bantah Budhe Ngatmi, melempar pelan kacang itu kembali ke tempatnya. "Ealah. Ko kononeki nyet wes larang yo bu," (ya ampun, dari sananya sudah mahal ya bu,) pedagang wanita paru baya itu wajah lelahnya, menolak ucapan Budhe Ngatmi. "Yen aku yo rak percoyo, kita tak tuku pergi yu Dalimah wae. Rak sido tuku koe," (kalau aku ya nggak percaya, sudah aku mau beli punyanya Mbak Dalimah saja. Nggak jadi beli kamu,) ujar Budhe Ngatmi, terancam. Nila hanya diam menatap interaksi kedua wanita paru itu. Di bawa, Ia membawa kantung belajaan untuk warung. Saat ini Ia dan Budhe Ngatmi memang tengah belanja sayur di pasar. Seperti biasa, Budhe Ngatmi akan banyak berdebat dengan para pedagang pasal harga sayur-mayur. "Eh, eh. Yowes rong ngewu e, yen rak koe aku wegah." (Eh, eh. Yasudah dua ribu saja, kalau bukan kaku aku nggak mau.) Pedagang wanita paru baya itu langsung mengambil kacang yang tadi sempat Budhe Ngatmi ambil. Ia masukan kacang itu ke dalam kantung kresek, sebelum diserahkan kepada Budhe Ngatmi. "Nyoh," (Ini,) terlihat sedikit tak ikhlas dari pedagang itu saat menerima uang dua ribu dari Budhe Ngatmi. "Ayo, Nihil! Uwes ya, Nem." (Ayo, Nil! Sudah ya, Nem.) Setelah diangguki malas pedagang itu, Nila dan Budhe Ngatmi berlalu keluar dari pasar. "Yen dadi wong dodol ki kudu ngono. Pinter nganyang, mudeng rak?" (Kalau jadi penjual itu harus begitu. Pintar menawar, tahu nggak?) Ini adalah salah satu ilmu yang selalu Budhe Ngatmi ingatkan pada Nila setelah selesai. Wanita itu akan terus menyatakan tentang pasar dan harga-harga bahan makanan. "Enjih Budhe," (Iya Budhe,) maka Nila hanya akan menjawab dengan mengangguk mengerti. Becak! Ujar Budhe Ngatmi saat mereka sampai di pangkalan becak. Wanita itu, dengan segera membantu Nila meletakan belanjaan ke dalam becak. *** "Wah Anak Mama udah ganteng ya?" Ujar Nila saat melihat anaknya sudah didandani Jingga. Bayi itu kini terlihat di atas kasur dengan memainkan boto-botol minyak bayi. Jingga yang melihat kakaknya masuk ke dalam kamar wanita itupun, pamit ingin membantu Budhenya yang kini sedang sibuk di dapur. "Aku bantuin Budhe dulu Mbak," setelah mendapatkan anggukan dan senyum tipis kakaknya, Jingga berlalu pergi. Nila dengan segera berjalan anak. Melihat sang Ibu yang mendekat, bayi dengan bedak cemong diwajah itu terlihat antusias. Tangan bayi itu terulur, meminta izin digendong Ibunya. Gumaman jelas terdengar dari bibir tipis Buming. "Apa hem? Mau apa?" Tanya Nila cinta, yang dibalas rengekan manja dari anaknya. Tentu saja hal itu mengundang tawa renyah bagi Nila. "Ma ... ma ..." bayi itu bergumam tak sabaran dengan merengek, tubuhnya bergerak-gerak agar Nila segera meraih ke dalam gendongannya. "Uh!" Dalam sekali ayunan, Buming sudah berada di gendongannya. Bayi itu bergumam, mulai memainkan rambut Ibunya. "Buming lapar ya?" Tanya Nila memandang wajah anaknya. Yang dibalas bayi itu dengan alis berkerut dengan pandangan mata Nila lucu. Seolah berusaha mengartikan ucapan Ibunya. Nila kembali tergelak, mulai melangkah keluar dari kamar. "Iya, Mama tahu kamua lapar." Nila tersenyum saat anaknya bergumam seolah-olah ucapannya. Sebelumnya, Nila memang sudah membelikan bubur bayi untuk anaknya yang Ia beli di pasar, sekalian belanja. Memang biasanyapun seperti itu, Ia selalu membelikan bubur bayi untuk anaknya. "Mamam!" Buming terlihat antusias dengan antusiasme bergerak tak beraturan melihat Ibunya mengambil tata cara yang biasa makan. Mungkin bayi itu memang kelaparan. "Mamam, mamam ..." Nila menirukan ucapan anaknya, dan mulai mengambil bubur menggunakan sendok bayi. Dengan antusiasme bayi laki-laki yang membuka mulutnya, ikut serta berusaha memegang sendok yang Ibunya untuk menyuapinya. Nila tersenyum senang saat anaknya terlihat lahap dalam makan makanannya. Bibir mungil merah bayi itu terlihat sangat lucu saat mengunyah makanan di dalam mulutnya. Sesekali terdengar decapan dari mulut anaknya. "Mam ..." Mencoba berusaha meraih sukses yang kini Nila pegang, saat merasakan makanan di dalam mulutnya sudah hilang Ia telan. "Iya, iya. Sabar sayang." Nila terlihat kewalahan dengan ulah anaknya yang terus bergerak tak beraturan. Barulah saat Ia memberikan suapan bubur, bayi itu mulai kembali diam mengunyah. "Ih, anak Mama benar-benar kelaparan ya?" Wanita itu benar-benar dibuat gemas dengan tingkah anaknya yang bila makan akan diam, seolah meresapi rasa dari makanan yang dimakannya. Setelah beberapa kali suapan, bahkan mangkuk bayi terlihat hanya menyisakan sedikit bubur kini. Buming baru menolak, seolah mengatakan untuk menyudahi makannya. Walaupun dipaksa Nilapun, bayi itu lebih memilih mencampakkan mukanya dari sendok makannya. "Udah kenyang ya?" Tak mau anaknya, Nila lebih memilih memasukan sisa bubur bayi itu ke dalam mulutnya. Menurut Nila bubur bayi ini hanya terasa hambar. "Wes rampung sing dulang Tole?" (Sudah selesai yang nyuapin anak lanang?) Budhe Ngatmi terlihat keluar dari dapur. Terlihat sudah rapi siap untuk berangkat ke warung. Nila mengangguk, "sampun Budhe," (sudah Budhe,) ”ujarnya. Tak lama setelah itu, Jingga juga muncul dari pintu dapur. "Ayo, ndang nyang warung e. Kene Buming karo Budhe sek, kwe aduso!" (Ayo, buruan ke warung. Sini Buming biar sama Budhe dulu, kamu mandi!) Perintah Budhe Ngatmi menerima Buming yang diberikan oleh Nila. Setelahnya Ibu dari bayi itu pergi berlalu dimana kamar mandi terletak. "Walah, putu lanang kok yo wes abot ya." (Ya ampun, cucu lanang kok ya sudah berat ya.) Ucap Budhe Ngatmi tertawa ringan, memang benar jika Buming bertambah berat. "Kulo mawon yang gendong Buming Budhe," (Saya saja yang gendong Buming Budhe,) tawar Jingga mengulurkan membantu meminta anak dari kakaknya agar masuk ke dalam gendongannya. Budhe Ngatmi menolak, dengan menjauhkan dari jangkauan Jingga karen tangan bayi itu yang terulur menerima uluran tangan Jingga. "Emoh, Budhe yo arep gendong putune Budhe kok," (Enggak, Budhe juga mau menggendong cucunya Budhe kok.) Balas Budhe Ngatmi mngajak bayi itu keluar rumah. Jingga tersenyum melihat itu. Wanita paru baya itu sangat baik, persis seperti almarhumah Ibunya. Mungkinkah jika Ibunya masih hidup, Ibunya akan dapat menerima Buming seperti Budhenya? Tapi, meskipun demikian Jingga tak menampik jika Budhenya sempat terlihat kecewa saat mendengar penuturannya dan Kakaknya yang mengatakan jika Buming hanyalah anak dari hasil pernikahan siri Nila dan mantan suaminya. Yah, pernikah siri adalah kebohongannya dan kakaknya agar Budhe Ngatmi tak lebih kecewa. Tapi, meskipun demikian Nila dan Jingga bersyukur karena warga di sekitar sini tak terlalu mempermasalahkan keberadaan mereka dan Buming. Malah, warga di sini terlihat baik kepada mereka. Selain itu, mungkin juga ketampanan dan kelucuan Buming yang membuat tetangga sekitar tak dapat menutupi rasa gemas mereka. Pasti, jika Buming diajak Budhe Ngatmi untuk keluar. Semua warga akan berebut ingin menggendong. Ah, betapa banyaknya cinta yang bayi itu dapatkan. Hannya satu-satunya yang tak bayi itu dapatkan, cinta dari cinta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD