tiga

1128 Words
Nila tersenyum saat kembali di ruang tamu yang juga ruang televisi itu, melihat anaknya yang sedang bermain dengan Budhenya. Bayi laki-laki itu terlihat terfokus pada truk-trukan yang minggu lalu Budhe Ngatmi belikan. Tak hanya itu, sangking senangnya Budhe Ngatmi mengetahui jika Ia memiliki Cucu waktu itu. Wanita tambun itu juga langsung membelikan mobil-mobilan warna-warni juga sebuah vespa kecil mainan yang dapat ditumpangi untuk Buming. "Loh, kok Uti di cuekin?" Tanya Nila bergabung duduk di atas karpet bawah bersama Budhe Ngatmi, Jingga juga anaknya. Bayi itu sama sekali tak mengalihkan perhatiannya dari truk mainannya. Tak tentu arah, mainan truk itu hanya Buming maju mundurkan. Bergumam tak jelas seolah membalas ucapan Ibunya, yang kini duduk di hadapannya. "Wes pinter ya Nil, Tole?" (Sudah pintar ya Nil, anak lanang?) Budhe Ngatmi mengusap kepala Buming yang dibalas dengan tolakan bayi itu, berupa kepala yang Ia juhkan dari tangan wanita paru itu. Nila memandang Budhe Ngatmi, tersenyum simpul. "Enjeh Budhe, katane Jingga juga Buming nggeh sampun ajeng saget mlaku." (Iya Budhe, katanya Jingga juga Buming juga sudah mau bisa jalan.) Beritahu Nila, diangguki Jingga yang juga memang berada di sana. "Wah, cepet ya?" (Wah cepat, ya?) Budhe Ngatmi berdecak dengan pandangan terarah pada Buming yang kini merangkak menghampiri mainannya yang lain. Nila hanya mengangguk, ikut tersenyum. "Oh ya, Ngga. Dadi kwe wes entuk sekolah durung seng pas?" (Oh ya, Ngga. Jadi kamu sudah dapat sekolah belum?) Kini Budhe Ngatmi menoleh, memandang Jingga. Jingga menghela nafas. Ia tak berpikir untuk melanjutkan sekolahnya disaat Ia sendiri hidup menumpang pada Budhenya. "Jingga boten sekolah dulu mawon Budhe," (Jingga tidak sekolah dulu saja Budhe,) ujarnya pelan. Pandangan Budhe Ngatmi terlihat tak suka, begitupun dengan Nila. "Loh, la ngopo? Sekolah kui penteng Lo." (Loh, la kenapa? Sekolah itu penting Lo.) Sarkas wanita tambun itu langsung. Nila diam, Ia cukup tahu apa yang membuat adiknya berpikir untuk tidak melanjutkan sekolahnya terlebih dulu. Ini salahnya, Ia yang menyebabkan semua ini. Semua kesulitan yang adiknya rasakan karena ulahnya. Jingga menghela nafas, "Jingga teseh dereng beradaptasi Budhe teng mriki." (Jingga masih belum beradaptasi disini Budhe.)  Alasannya kemudian. Budhe Ngatmi terlihat tidak puas dengan ucapan keponakannya. "Yen mergo konco, percoyo wong kene iki apik-apik. Rak bakal bedakne koe, mung mergo koe murid anyar." (Kalau masalah teman, percaya orang sini itu baik-baik. Tidak akan membedakan kamu, hanya karena kamu murid baru.)Jelas Budhe Ngatmi. Jingga menunduk untuk beberapa detik. Kemudian bergumam pelan yang masih dapat di dengar Budhe Ngatmi dan Nila. "Tapi Jingga belum siap." Ujar gadis itu lirih bermaksud berbicara pada dirinya-sendiri. Budhe Ngatmi menghela nafas. "Yowes yen emang rung siap, tapi taon sesok kudu gelam lanjut!" (Yasudah kalau memang belum siap, tapi tahun besok harus mau lanjut!) Peringat Budhe Ngatmi. Bruk! Kontan tiga wanita disana langsung menoleh pada sumber suara. Nila dengan segera bangkit disusul Jingga, menghampiri bayi yang kini terduduk di atas lantai. Buming terjatuh saat baru saja berusaha bangkit berdiri dengan berpegangan tembok. Tapi, siapa sangka bayi itu terjatuh, untunglah Bayi tampan itu tak menangis. "Ealah, ati-ati to Le." (Ealah, hati-hati ya Nak.) Ujar Budhe Ngatmi memandang Buming yang kini digendong Nila. Tubuh yang sedikit tambun, juga umur yang sudah tua membuat Budhe Ngatmi kesulitan jika harus bangkit berdiri cepat-cepat. "Kulo nidurin Buming dulu Budhe," (Saya tidurin Buming dulu Budhe,) pamit Nila berlalu ke kamarnya setelah mendapat anggukan kepala dari Budhenya. *** Bima memandang langit yang terlihat bersinar dengan bertaburan bintang-bintang dari jendela kaca kamarnya. Kedua tangan laki-laki itu masuk ke dalam saku celananya. Sesekali terdengar hembusan nafas berat dari bibir laki-laki itu. "Kalian dimana?" Tanya Bima memandang Bintang di langit. Bima menahan nyeri di dadanya saat teringat wajah Nila yang bersimbah air mata dan anaknya yang meronta menangis meminta ikut dengannya, yang bodohnya tak Bima gubris karena sibuk dengan rasa terkejutnya. Ah, lagi-lagi Ia menyesali hari itu. Ceklek! Bima menoleh saat mendengar suara pintu dibuka. Maka terlihatlah, Ibunya yang berdiri di ambang pintu sebelum kemudian masuk. Wanita paru baya itu membawa nampan dengan mangkuk, piring dan gelas yang terisi makanan dan minuman. Ah, lagi-lagi Ibunya membawakan makanannya ke kamarnya. Bima cukup sadar diri untuk tak makan, di meja makan di saat Ayah dan adiknya masih memusuhinya. Kedua laki-laki itu sama sekali tak berbicara padanya semenjak kepergian Nila dan adiknya. Bahkan, mereka semakin menjadi-jadi setelah kejadian dirinya yang hampir mati. Mereka pikir Bima terlalu pengecut, karena membiarkan dirinya hampir mati sebelum mendapatkan maaf dari Nila dan anaknya. "Aku tidak lapar Ma," dan kalimat itulah yang selalu Bima lontarkan setiap Ibunya datang membawakannya makanan. Wina mendengus. "Tadi pagi kamu sudah melewatkan sarapanmu dan Mama yakin siangpun kamu pasti juga tidak makan. Jadi, sekarang makan, makan malamu!" Ujarnya meletakan nampan di atas meja nakas. Kemudian menatap anaknya dengan sorot perintah. Bima menghela nafas. "Bima benar-benar sedang tidak mood makan Ma," ujarnya pelan, berharap Ibunya dapat memahaminya. Wajah Wina terlihat merah, marah. "Apa kamu mau sekarat lagi, atau kali ini ingin mati sekalian?!" Tanya Wina sarkas. "Bukan begitu Ma," Bima mengurut pelipisnya, pusing sendiri. "Lalu apa? Membiarkan kamu kelaparan, sama saja membunuh diri kamu sendiri secara perlahan." "Ma," Bima merengek, bermaksud mengatakan jika dia sedang malas mendengarkan celotehan wanita itu "Apa? Iyakan, kamu pengen mati?! Tapi apa nggak ada pemikiran kamu untuk mati setelah mendapatkan maaf dari Anakmu?!" Wina kembali bertanya. Bima hanya diam, Ia tak menjawab pertanyaan Ibunya. Seolah mengayakan jika apa yang ditanyakan Ibunya benar. Bima memang tak ingin mati dulu, sebelum mendapatkan maaf dari Nila dan Anaknya. Wina menghela nafas, kemudian mengambil duduk di sisi tempat tidur putranya. "Kalau kamu mau tahu, Mama sebenernya capek kalau harus selalu ngingetin kamu untuk makan Bim. Tapi, Mama juga nggak mau kamu mati, kalau nggak makan." Ucapnya memejamkan mata sejenak. Bima melangkah mendekati Ibunya, berlutut di hadapan wanita yang sudah melahirkannya itu. "Bima nggak akan mati sebelum mendapat maaf dari Anak Bima dan Nila Ma. Jadi, Mama tenang aja ya?" Laki-laki itu memandang mata Ibunya meyakinkan. Wina memandang mata anaknya yang mengatakan kesungguhan. "Kalau begitu buktikan, bawa Nila dan Buming kembali." Ujar Wina. Bima menggenggam telapak tangan Ibunya, menimang pelan. "Bima bakal buktiin Ma," laki-laki itu tersenyum tipis dan mengangguk pelan. Wina tanpa dapat mencegah, langsung memeluk tubuh anaknya Bima. Isakan keras terdengar dari bibir wanita paru baya itu. "Kalau begitu cepat, Mama sudah sangat rindu dengan Cucu Mama..." tangis Wina semakin kencang terdengar. Bima hanya mengangguk pelan. Tanpa kedua orang itu sadari, Adi mendengarkan dari balik pintu kamar laki-laki itu. Lelaki paru baya itu mengusap sudut matanya yang tanpa sadar sudah terkumpul cairan bening. "Papa juga menunggu..." gumamnya pelan. Adi sebenarnya tak ingin terus-menerus mendiamkan anaknya. Hanya saja menurutnya ini sebagai hukuman untuk Putra sulungnya itu. Ia hanya tak ingin dianggap orang tua yang tak tegas hingga membenarkan setiap kesalahan anaknya. Sebenarnya Adi sudah sangat ingin membantu Bima dalam menemukan Nila dan Cucunya. Tapi, Adi masih ingin melihat perjuangan Putranya. Seberapa Bima berjuang untuk memperbaiki semua kesalahan yang Ia buat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD