Taruhan

1123 Words
Dua hari yang lalu, setelah bubar sekolah, Jov duduk di sudut tribun. Dia baru saja mengajukan proposal penambahan dana bulanan. Sayangnya permintaan tersebut ditolak maminya. Jov tidak diperkenankan keluar dari rumah dan menyewa kamar sendiri. Jov harus menjaga Michelle kakaknya. Dalam hal ini Jov merasa tidak adil. Seharusnya dia yang dijaga Mich, bukan dia yang harus menjaga kakaknya tersebut. Mami hanya mengirim uang bulanan untuknya seperti biasa. “Kenapa lo? Putus?” Mario terkekeh setelah melempar bola basket ke tengah lapangan. Dia turut duduk di samping Jovan. Tak lama kemudian Galang menyusul. Dia meraih botol minumnya lalu turut duduk. Keringat sudah membasahi kaus oblong tanpa lengan yang dia gunakan. “Kenapa dia?” Galang menyimpan botol minumnya kembali. “Putus kayaknya.” Galang terkekeh. “Emang dia punya cewek?” Mario mengedikkan bahu. “Lo butuh cewek kayaknya, Jov.” Jovan tidak berminat menjawab. Malam ini dia terancam tidak bisa tidur lagi kalau Michelle membawa rombongan ke rumah. Kumpulan manusia tidak kuat bayar kamar hotel tersebut akan melakukan pesta dan meninggalkan jejak-jejak percintaan mereka di segala sudut ruangan. Jov pernah protes sekali, dua kali, tiga kali, sampai berkali-kali. Mich hanya menoyor kepala Jovan sambil berkata, “Diem lo anak kecil.” Saat Jov mengancam akan melaporkan kelakuan Mich sama Mami, Mich hanya tertawa. “Lapor saja. Kelakuan Mami nggak beda jauh dari yang gue buat.” Jov kangen dengan papanya. Setidaknya keadaan sangat kondusif saat papanya masih ada. Laki-laki berdarah Jawa-Betawi tersebut entah kenapa harus menikahi Mami yang mendadak liar begitu suaminya meninggal. Jov mulai akrab dengan kegaduhan dalam rumah semenjak pindah ke Bumi Sentosa. Kawasan yang ditujukan untuk kaum ekspatriat tersebut memang bebas. Asal memiliki akses card, siapa saja bisa masuk tanpa pemeriksaan. Rumah-rumah juga terpisah cukup jauh satu sama lain. Asal pesta yang diadakan tidak sampai menimbulkan keributan, masih dimaklumi untuk kawasan ini. Apalagi letak rumah Jovan berada di depan jalan utama. Seberang jalan terdapat danau buatan. Sebelah kiri rumah masih kosong. Sedangkan sisi lain sering tidak dihuni. “Lo nginep tempat gue saja kalau males pulang.” Mario menawarkan. Posisi Mario yang sering sendirian di rumah kurang lebih sama dengan Jovan. Orang tua Mario sering bepergian ke luar negeri. Ayahnya seorang CEO pada perusahaan multinasional. Menginap di rumah Mario justru memindahkan pesta ke tempat itu. Mario akan mengundang beberapa teman jika Jovan sedang menginap di sana. Itu sama saja. Dia hanya butuh tidur dengan tenang. Kondisi tubuhnya bisa drop jika dipaksa terus begadang. “Gue mau sewa flat di depan kampus. Berapa kira-kira setiap bulan?” Jovan tahu ada flat yang disewakan bulanan di area tersebut. Tidak jauh dari gedung apartemen yang tepat di seberang kampus. Flat-flat sederhana tersebut biasanya disewa oleh mahasiswa yang sedang melakukan pertukaran pelajar. Mereka hanya butuh waktu dua sampai tiga bulan di sini. Kondisi flat tersebut memang tidak semewah apartemen di sampingnya. Jovan bahkan tidak yakin tempat itu memiliki fasilitas nyaman seperti rumahnya. Namun, senyaman apa pun rumah kalau tidak bisa membuatnya cukup istirahat, apa gunanya. Jovan sadar diri memiliki kekebalan tubuh kurang dibandingkan orang lain. Dia yang harus pandai-pandai menjaga diri. Dia selalu ingat nasihat papanya supaya dia tidak kurang istirahat, tidak kurang asupan gizi, serta olahraga secukupnya. “Lo butuh uang?” Mario menyerigai. Dia bisa langsung memindahkan sejumlah uang dalam rekeningnya ke buku tabungan Jovan. Hanya saja Jov takkan setuju akan hal itu. Lalu Mario melirik Galang, masih dengan tersenyum. Dia mendapatkan satu ide yang bisa membantu kedua temannya tersebut. Sekali tepuk, dua tujuan tercapai. Galang harus dibuat cemburu supaya dia mau maju. “Kalau lo mau kasih pinjaman, tunggu gue kerja baru bisa balikin tuh uang.” Jovan mendengkus. Mario terkekeh. Jovan jelas-jelas menolak ide diberi secara cuma-cuma. Harga dirinya sebagai laki-laki pasti terluka. “Taruhan, hadiahnya dua puluh juta, deal?” Jovan langsung duduk tegak. Soal taruhan cewek dia selalu menang selama ini. Mau model cewek macam apa pun yang ditunjuk Mario dia akan jabanin. “Syaratnya apa?” Mario menyerigai lagi. “Tiga bulan. Cleonara Flora.” Detik itu juga mata Galang memicing. Hatinya tercubit saat nama itu disebut. Gadis pita ungu tersebut sudah mencuri perhatiannya sejak hari pertama MOS. Sikapnya yang setia kawan membuat Galang terkesan. Belum lagi cara Flora tertawa, seperti magic yang sangat menghipnotis. Walau gadis itu melakukannya jarang-jarang. Teramat jarang malahan. “Lo harus ikut Gal.” Mario menepuk pundak Galang yang duduk satu tingkat lebih rendah. “Sejak kapan gue ikut taruhan?” Galang langsung mengelak. “Lo memang nggak butuh uang dua puluh juta, Gal. Gue tahu. Namun, melihat Jovan ditolak cewek itu menyenangkan.” Mario terkekeh. Tidak lama kemudian terbit senyum di bibir Galang. Dia membenarkan pemikiran tersebut. Memperhatikan Flora selama ini, Galang bisa menarik kesimpulan, gadis itu susah didekati. Itu mengapa selama ini dia maju-mundur seperti pasak kayu. “Gue nggak punya uang jika ini gagal.” “Kalau gagal ceweknya buat Galang. Lo kan bisa bilang lagi prank tuh bocah. Terus, lo harus buat Galang jadian sama tuh cewek.” Bocah? Kening Jovan berkerut rapat. Sejak kapan ada aturan taruhan seperti itu. Sedangkan Galang sendiri tidak kalah kaget. “Kenapa tuh cewek harus jadian sama gue?” Mario kembali tertawa. “Itu tantangan buat Jovan. Dia harus milih, tuh. Buat dia sendiri jadian sama tuh cewek maka dua puluh juta cair, atau buat lo jadian sama tuh cewek.” “Kalau gagal dua-duanya?” “Lo utang sama gue dua puluh juta. Gue tagih saat lo sudah kerja.” Jovan mendengkus. “Lebih gampang gue pinjem duit sama lo kalau ujung-ujungnya bayar.” “Kalau mau, gue transfer sekarang.” Mario meraih tasnya. Dia hendak mengeluarkan ponsel dan langsung ditahan Jovan. “Gue terima tantangan lo. Lo mau ngasih gue duit saja ribet banget urusannya.” Mario terkekeh. Galang hanya memandang salah satu karibnya tersebut dengan kening berkerut. Dia penasaran, apa yang sedang Mario lakukan. Benar kata Jovan, dia mau ngasih uang saja ribet. “Kapan gue terima uangnya?” “Saat lo jadian gue kirim separuh. Setelah putus gue kirim separuh lagi. Palingan flat di sana lima jutaan perbulan. Mayan tuh empat bulan kabur.” Mario terkekeh lagi. Jovan sudah memikirkan matang-matang. Dia bergerak cepat dengan mencari informasi tentang nama tersebut. Namun, dia tidak menemukan apa-apa. Siapa sebenarnya gadis ini. Tidak mungkin dia meminta data dari sekolah. “Dia kelas sepuluh dua. Biasa mojok di kantin. Jarang bicara apalagi tersenyum. Kayaknya lo butuh tambahan energi untuk membuatnya setuju lo pacari.” Ucapan Galang membuat Jovan bertanya-tanya. Bagaimana Galang bisa tahu hal semacam itu? “Gue kan panitia MOS, lo mikirnya kejauhan.” Galang mendorong kening Jovan. Jovan terkekeh. “Lo saingan gue.” “Gue nggak mau lo punya hutang.” Jovan tergelak. Walau dia merasa ada yang aneh pada tatapan Galang. Tapi dia tidak tahu itu apa. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD